KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, memamerkan pencapaian baru Indonesia dalam industri nikel.
Produk nikel Indonesia kini telah berhasil masuk ke dalam bursa logam dunia, yakni London Metal Exchange (LME).
Pencapaian ini menandai sejarah baru bagi Indonesia dalam sektor industri nikel.
"Saya juga mau laporkan bahwa untuk pertama kalinya, Indonesia berhasil masuk ke LME di London. Selama ini, kita sering diabaikan, tetapi sekarang Indonesia dapat mewujudkan mimpi saya untuk menetapkan harga nikel di dunia,” ujar Luhut saat Rapat Kerja Banggar di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Juni 2024.
Lebih lanjut, Luhut mengungkapkan, bahwa masuknya nikel Indonesia ke bursa LME telah membuat Australia merasa tertinggal dan marah.
Sebagai informasi, Australia termasuk dalam lima negara penghasil nikel terbesar di dunia.
"Itu sebabnya Australia marah. Kita mampu, bangsa ini hebat. Selama ini kita sering diremehkan, tetapi sekarang kita bisa membuktikan kemampuan kita," ujarnya.
Luhut juga menyebut bahwa Indonesia berhasil meraup pendapatan sebesar USD40 miliar dari komoditas nikel pada tahun 2023. Angka ini terus meningkat secara signifikan sejak tahun 2014.
Untuk diketahui, London Metal Exchange (LME) baru saja menyetujui pencatatan merek nikel olahan pertama dari Indonesia dengan kode "DX-zwdx" pada akhir Mei lalu.
LME merupakan bursa berjangka dan opsi terbesar serta tertua di dunia untuk perdagangan logam industri, termasuk aluminium, tembaga, nikel, dan seng.
Pencapaian ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam industri nikel Indonesia dan membuka peluang lebih besar untuk ekspor nikel olahan ke pasar global.
Hal ini juga mengindikasikan peningkatan daya saing Indonesia di kancah internasional, khususnya dalam sektor komoditas logam.
Dengan masuknya produk nikel ke LME, Indonesia diharapkan dapat memainkan peran lebih besar dalam menentukan harga nikel di pasar dunia, sehingga memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara.
Di kesempatan itu Luhut juga menceritakan soal perkembangan terbaru terkait perlawanan Indonesia dalam gugatan Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait larangan ekspor nikel Indonesia. Menurut Luhut, Uni Eropa mulai menyadari bahwa Indonesia memiliki hak atas pengelolaan sumber daya alamnya, termasuk nikel.
"Mereka sudah mulai mengakui bahwa kita punya hak untuk itu. Tapi mereka minta agar produk turunannya jangan dilarang ekspor. Ya memang kita tidak melarang," ujar Luhut.
Lebih lanjut, Luhut menekankan bahwa larangan ekspor nikel mentah merupakan langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.
Dengan mengolah nikel menjadi produk turunan seperti stainless steel, Indonesia dapat meningkatkan nilai ekspor dan daya saing di pasar global.
Kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong investasi dalam industri pengolahan nikel di dalam negeri, sehingga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Luhut mengungkapkan bahwa hasil perlawanan Indonesia dalam gugatan WTO akan memberikan dampak positif jangka panjang bagi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia.
Jika Indonesia berhasil mempertahankan haknya, hal ini akan menjadi preseden penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan kedaulatan ekonomi.
Dengan demikian, Luhut berharap, agar semua pihak, termasuk Uni Eropa, dapat menghormati keputusan Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya. Indonesia bertekad untuk terus memperjuangkan hak-haknya di forum internasional, demi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Sementara itu, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Wafid, mengungkapkan bahwa Indonesia masih memiliki 100 titik lokasi potensi nikel yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Potensi ini menunjukkan peluang besar bagi industri pertambangan nikel di Indonesia.
“Saat ini, kami telah mengidentifikasi ada 100 titik potensi nikel. Satu di Sumatera bagian utara, lima lokasi di Kalimantan, serta beberapa di Sulawesi, Maluku, dan Papua,” kata Wafid di kantor Kementerian ESDM, Selasa, 4 Juni 2024.
Wafid menjelaskan bahwa 100 titik tersebut masih berupa potensi yang memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Namun, sebagian besar titik potensi nikel di Sulawesi terletak di luar wilayah izin usaha pertambangan atau greenfields.
“Di Sulawesi, daerah nikel memang paling banyak, dan masih ada banyak area yang belum dieksplorasi,” ujarnya.
Pihaknya terus melakukan eksplorasi untuk menemukan keberadaan atau potensi mineral strategis dan kritis sesuai dengan amanat Menteri ESDM Arifin Tasrif.
“Kami akan terus melakukan eksplorasi, termasuk di Bledug Kuwu dan lokasi lainnya,” ujarnya.
Pada awal tahun ini, Badan Geologi melaporkan bahwa Indonesia memiliki wilayah seluas 2 juta hektare (Ha) yang berpotensi mengandung nikel. Dari total tersebut, hanya 800 ribu Ha yang telah ditambang atau dieksploitasi.
“Potensi nikel di Indonesia masih sangat luas. Dari formasi potensi nikel seluas 2 juta Ha, baru 800 ribu Ha yang telah menjadi izin usaha pertambangan (IUP),” kata Sekretaris Badan Geologi, Rita Susilawati, dalam konferensi pers daring pada Jumat, 19 Januari 2024.
Jika mengacu pada data tersebut, sisa lahan potensi nikel yang belum dieksplorasi berjumlah 1,2 juta Ha. Berdasarkan data Badan Geologi, total cadangan bijih nikel Indonesia saat ini mencapai 5 juta ton dengan jumlah sumber daya sebanyak 17,33 juta ton.
Direktur Pembinaan Program Minerba Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), Tri Winarno, juga menyebutkan pada November 2023 bahwa Indonesia masih memiliki cadangan nikel hingga lima miliar ton. Data ini menunjukkan potensi besar yang masih dapat dikembangkan dan dieksplorasi lebih lanjut.
Keberadaan potensi nikel yang besar ini menegaskan pentingnya upaya eksplorasi dan pengembangan industri nikel di Indonesia.
Dengan potensi yang ada, Indonesia dapat terus meningkatkan produksi nikel dan memperkuat posisinya sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.
Upaya eksplorasi dan pengembangan ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor pertambangan. (*)