KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia mengalami tekanan signifikan setelah munculnya langkah diplomasi baru terkait perang di Ukraina. Hal ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mengambil inisiatif dengan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, serta Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.L
Langkah ini menandai upaya pertama Trump dalam memenuhi janjinya untuk mengakhiri konflik antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung sejak 2022.
Dampak dari perkembangan ini langsung tercermin dalam pergerakan harga minyak. Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi acuan pasar internasional, turun sebesar USD1,82 atau 2,36 persen menjadi USD75,18 per barel.
Tidak hanya Brent, West Texas Intermediate (WTI), patokan harga minyak di Amerika Serikat, merosot USD1,95 atau 2,66 persen menjadi USD71,37 per barel. Penurunan ini menghapus sebagian kenaikan harga yang telah terjadi selama tiga hari sebelumnya, di mana Brent naik 3,6 persen dan WTI meningkat 3,7 persen.
Penurunan harga minyak ini terjadi karena pasar mulai mengurangi premi risiko yang sebelumnya ditambahkan akibat ketidakpastian pasokan global akibat perang.
Phil Flynn, analis dari Price Futures Group, menyebut bahwa perundingan yang dimulai Trump telah menghilangkan sebagian besar faktor ketidakpastian yang selama ini mendukung harga minyak tetap tinggi.
Trump mengumumkan melalui media sosial bahwa ia dan Putin telah sepakat untuk segera memulai negosiasi, dengan langkah awal menghubungi Zelenskiy. Kantor kepresidenan Ukraina kemudian mengonfirmasi bahwa pembicaraan antara Trump dan Zelenskiy berlangsung selama sekitar satu jam.
Meskipun belum ada detail lebih lanjut, inisiatif ini disambut sebagai perkembangan positif yang dapat mengarah pada stabilisasi geopolitik dan berpotensi meredakan tekanan terhadap pasar energi global.
Di sisi lain, investor juga tengah mencermati kebijakan moneter Amerika Serikat. Ketua Federal Reserve Jerome Powell, menegaskan bahwa meskipun perekonomian AS dalam kondisi baik, bank sentral tidak akan terburu-buru dalam menurunkan suku bunga.
Hal ini diperkuat oleh laporan Departemen Tenaga Kerja AS yang menunjukkan inflasi lebih tinggi dari perkiraan pada Januari, yang memicu spekulasi bahwa pemangkasan suku bunga kemungkinan akan ditunda dari September ke Desember.
Kombinasi antara potensi perdamaian di Ukraina dan kebijakan moneter yang lebih ketat di AS menjadi faktor utama yang mendorong aksi jual di pasar minyak. Suku bunga yang lebih tinggi cenderung memperlambat aktivitas ekonomi dan berpotensi mengurangi permintaan minyak.
Selain faktor geopolitik dan kebijakan moneter, laporan terbaru dari Badan Informasi Energi (EIA) juga memberikan pengaruh terhadap pergerakan harga minyak. Stok minyak mentah AS dilaporkan meningkat lebih besar dari perkiraan pekan lalu, sementara persediaan bensin turun secara mengejutkan, dan stok sulingan mengalami kenaikan.
Di sisi lain, Rusia menghadapi tantangan dalam produksi minyaknya karena sanksi AS yang membatasi akses ke kapal tanker untuk ekspor ke Asia, serta serangan drone Ukraina yang menargetkan fasilitas kilang minyak Rusia.
Sementara itu, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mempertahankan proyeksinya bahwa permintaan minyak global akan meningkat sebesar 1,45 juta barel per hari (bph) pada 2025 dan sekitar 1,43 juta bph pada 2026. Laporan ini menegaskan bahwa meskipun ada tekanan jangka pendek, konsumsi minyak tetap akan tumbuh dalam beberapa tahun ke depan.
Di tengah dinamika ini, EIA juga memperbarui proyeksinya untuk produksi minyak mentah AS, dengan estimasi rata-rata 13,59 juta bph pada 2025, sedikit lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 13,55 juta bph.
Secara keseluruhan, pergerakan harga minyak saat ini mencerminkan kombinasi berbagai faktor, mulai dari perkembangan geopolitik yang berpotensi meredakan ketegangan global, kebijakan moneter AS yang lebih ketat, hingga dinamika pasokan dan permintaan minyak di pasar global.
Meskipun harga minyak mengalami tekanan dalam jangka pendek, proyeksi jangka panjang masih menunjukkan potensi pertumbuhan yang stabil.
Kenaikan harga minyak dunia umumnya berdampak signifikan pada emiten di berbagai sektor, terutama energi, transportasi, manufaktur, dan sektor lain yang bergantung pada bahan bakar fosil.
Pertama adalah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), salah satu perusahaan energi terbesar di Indonesia dengan bisnis hulu minyak dan gas. Kenaikan harga minyak dapat meningkatkan pendapatan dan margin keuntungan.
Sentimen positif ini juga bisa mempengaruhi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Meski berfokus pada energi panas bumi, PGEO bisa mendapatkan sentimen positif karena transisi ke energi terbarukan semakin didukung oleh volatilitas harga minyak.
PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), yang bergerak di sektor eksplorasi dan produksi minyak dan gas, tentunya diuntungkan oleh harga minyak yang lebih tinggi.
Begitu pula dengan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA). Perusahaan ini bergerak di distribusi BBM dan bahan kimia industri, dan sangat berpotensi meraih keuntungan dari meningkatnya permintaan bahan bakar.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.