KABARBURSA.COM - Harga emas dunia akhirnya terkoreksi setelah mencatatkan rekor dalam lima sesi berturut-turut. Pada perdagangan Kamis waktu Amerika atau Jumat dini hari WIB, harga emas turun 1 persen karena dolar AS menguat menjelang rilis data ketenagakerjaan AS, sementara investor mulai merealisasikan keuntungan. Sebelumnya, emas terus menanjak akibat meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China.
Pergerakan harga emas spot tercatat turun 0,4 persen menjadi USD2.853,16 (sekitar Rp45,65 juta) per ons pada pukul 01:50 siang waktu AS Timur (1850 GMT), setelah sempat menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa di USD2.882,16 (sekitar Rp46,11 juta) pada Rabu. Kontrak berjangka emas AS juga melemah 0,6 persen dan ditutup di USD2.876,70 (sekitar Rp46 juta).
“Ini kombinasi dari dolar yang lebih kuat, aksi ambil untung, dan imbal hasil obligasi yang sedikit naik dari posisi terendahnya,” kata analis senior RJO Futures, Daniel Pavilonis, dikutip dari Reuters di Jakarta, Jumat, 7 Februari 2025. Ia menambahkan, pelaku pasar saat ini menanti laporan ketenagakerjaan AS.
Berdasarkan survei ekonom yang dilakukan Reuters, angka tenaga kerja nonpertanian (nonfarm payroll) diperkirakan meningkat 170.000 pekerjaan pada Januari, setelah melonjak hingga 256.000 pada Desember. Tingkat pengangguran diperkirakan tetap stabil di 4,1 persen.
Pasar tenaga kerja yang masih solid ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi AS, sekaligus memberi ruang bagi Federal Reserve untuk menunda pemangkasan suku bunga sambil mengevaluasi dampak inflasi dari kebijakan fiskal, perdagangan, dan imigrasi Presiden Donald Trump.
“Selain volatilitas pasar secara umum, kita masih menghadapi inflasi yang mulai merangkak naik. Karena itu, emas kembali diminati sebagai aset safe haven,” ujar Chief Operating Officer Allegiance Gold, Alex Ebkarian.
Ebkarian juga optimistis harga emas masih berpeluang menuju USD2.900 (sekitar Rp46,44 juta) dalam waktu dekat. “Sentimen pasar masih sangat kuat, meskipun dalam jangka pendek dolar AS memang tengah menguat,” katanya.
Secara teknikal, Relative Strength Index (RSI) emas kini berada di atas angka 70, yang mengindikasikan logam mulia ini sudah berada di zona overbought alias jenuh beli. Di sisi lain, cadangan emas di Bank of England tercatat menyusut sekitar 2 persen sejak akhir tahun lalu. Deputi Gubernur Dave Ramsden menyebut permintaan emas yang tinggi menjadi alasan berkurangnya pasokan emas di bank sentral Inggris ini.
Sementara itu, harga logam mulia lain juga mengalami fluktuasi. Harga perak turun 0,1 persen menjadi USD32,27 (sekitar Rp516.320) per ons, sedangkan palladium anjlok 1,4 persen ke USD975,59 (sekitar Rp15,6 juta). Di sisi lain, platinum justru menguat 0,7 persen menjadi USD985,98 (sekitar Rp15,77 juta).
Perburuan akan aset safe haven sebelumnya terus berlanjut selama lima hari berturut-turut. Harga emas pun melanjutkan tren kenaikan pada perdagangan Kamis dinihari WIB, 6 Februari 2025.
Emas spot tercatat menguat 0,8 persen menjadi USD2.865,61 per ons pada pukul 01.59 WIB, setelah sebelumnya menyentuh rekor tertinggi USD2.882,16 dalam sesi perdagangan awal. Sementara itu, kontrak emas berjangka di Amerika Serikat juga mengalami kenaikan sebesar 0,6 persen, ditutup pada USD2.893 per ons.
Menurut Vice President di Zaner Metals, Peter Grant, ketidakpastian yang terus menyelimuti perdagangan global, terutama akibat kebijakan tarif antara AS dan China, telah membuat pasar tetap waspada. Investor memilih emas sebagai aset perlindungan di tengah ketidakpastian ini, sehingga arus modal ke logam mulia tetap tinggi.
Ketegangan semakin meningkat setelah China membalas kebijakan tarif baru dari Washington dengan menerapkan bea masuk tambahan pada berbagai produk asal AS. Presiden Donald Trump pun menegaskan dirinya tidak melihat urgensi untuk berdialog dengan Presiden Xi Jinping guna meredakan ketegangan.
Di luar isu perang dagang, sektor logistik AS juga mengalami gangguan akibat ketegangan dengan China. Layanan pos AS (U.S. Postal Service) sempat menangguhkan pengiriman surat dan paket dari China dan Hong Kong sebelum akhirnya kembali menerima pengiriman pada Rabu.
Dari sisi kebijakan moneter, tiga pejabat tinggi Federal Reserve memperingatkan kebijakan tarif Trump dapat memicu inflasi yang lebih tinggi. Salah satu pejabat bahkan mengisyaratkan ketidakpastian terhadap prospek harga berpotensi memperlambat laju pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Sementara itu, laporan ADP National Employment menunjukkan ekonomi AS berhasil menambah 183.000 pekerjaan di sektor swasta bulan lalu, jauh melampaui estimasi para ekonom yang sebelumnya memperkirakan pertumbuhan sebesar 150.000 pekerjaan.
Perkembangan data ketenagakerjaan ini menjadi salah satu faktor yang diawasi ketat oleh pelaku pasar karena dapat memberikan petunjuk terhadap arah kebijakan moneter The Fed. Investor kini menanti laporan payrolls AS yang akan dirilis pada Jumat hari ini untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai kemungkinan perubahan suku bunga ke depan.(*)