KABARBURSA.COM - Harga kripto kompak ‘nyungsep’ di awal pekan dan bikin Bitcoin turun ke level terendah dalam tiga minggu. Ethereum pun jatuh ke titik yang terakhir kali dikunjungi pada September lalu. Semua ini gara-gara bayang-bayang perang dagang global yang bikin investor waswas dan buru-buru kabur dari aset berisiko.
Berdasarkan data Reuters yang dikutip di Jakarta, Senin, 3 Februari 2025, Bitcoin, sang raja kripto, pagi ini di Asia sempat menyentuh USD94.476,18 (sekitar Rp1,51 miliar), sebelum anjlok lebih dalam ke level USD91.441,89 (sekitar Rp1,46 miliar). Sementara itu, Ethereum yang lebih kecil ikut longsor 24 persen dan balik ke harga awal September. Saat terakhir dicek, nilainya bertengger di USD2.494,33 (sekitar Rp39,9 juta).
Di balik kemelut ini, kebijakan Donald Trump jadi pemantik utama. Presiden AS yang baru—dan selalu penuh kejutan—memutuskan mengenakan tarif impor 25 persen buat produk dari Meksiko dan Kanada, serta 10 persen buat barang dari China. Tarif ini resmi berlaku mulai Selasa.
Tak mau kalah, Kanada dan Meksiko langsung bersumpah bakal membalas, sementara China ngotot bakal menggugat kebijakan Trump ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan tensi perdagangan yang makin memanas, pasar pun ikut kebakaran.
Kripto, yang biasa diperdagangkan 24 jam tanpa jeda termasuk di akhir pekan, makin ke sini makin sensitif terhadap sentimen pasar global. Investor takut kebijakan tarif ini bakal memperlambat pertumbuhan ekonomi, menekan laba perusahaan, dan malah memperparah inflasi.
“Kripto itu satu-satunya cara buat mengekspresikan risiko di akhir pekan. Makanya, pas ada berita kayak begini, kripto jadi semacam proksi buat ketidakpastian pasar,” kata kepala riset Pepperstone, Chris Weston.
Di sisi lain, ada tekanan tambahan buat kripto setelah reli kuat yang terjadi usai kemenangan Trump di pemilu. Banyak investor berharap presiden yang dulu sempat bilang kripto itu “scam” bakal bikin regulasi lebih longgar. Tapi kenyataannya? Sejauh ini belum ada langkah konkret.
[caption id="attachment_117405" align="aligncenter" width="700"] Data perdagangan Bitcoin di TradingView menunjukkan penurunan.[/caption]
Padahal, Bitcoin sempat pecah rekor di USD107.071,86 (sekitar Rp1,71 miliar) pada 20 Januari, tepat saat Trump dilantik sebagai Presiden AS ke-47. Sejak pemilu November lalu, Bitcoin sudah naik 40 persen karena ekspektasi bahwa kebijakan Trump bakal lebih ramah kripto.
Trump sendiri kini berusaha mengubah citranya di dunia aset digital. Kalau dulu ngegas bilang kripto itu skema tipu-tipu, sekarang ia justru janji menjadikan AS sebagai “ibu kota kripto dunia.” Bulan lalu, ia bahkan membentuk tim khusus yang bakal menyusun regulasi baru buat aset digital serta menjajaki ide bikin “cadangan kripto nasional.”
[caption id="attachment_116208" align="aligncenter" width="680"] Halaman muka website kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) asal China, DeepSeek. (Foto: Tangkapan Layar/DeepSeek.com)[/caption]
CEO perusahaan penasihat keuangan global Devere Group, Nigel Green, mengatakan volatilitas pasar yang saat ini terjadi sebagian besar dipengaruhi oleh gangguan dari perusahaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan asal China, DeepSeek, seharusnya dilihat sebagai peluang untuk merancang strategi daripada bereaksi dengan kepanikan.
“Ini bukan saatnya panik, ini saatnya untuk perspektif. Fundamental Bitcoin tetap sekuat sebelumnya, dan sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa momen-momen volatilitas semacam ini sering menciptakan peluang paling signifikan bagi para investor yang berpikir ke depan,” kata Green, dikutip dari Bitcoin.com News.
Dunia teknologi baru saja diguncang oleh DeepSeek-R1, platform kecerdasan buatan (AI) open-source buatan China yang digadang-gadang bakal menantang dominasi ChatGPT dan model AI unggulan asal Amerika Serikat. Dirilis pada 20 Januari, DeepSeek-R1 langsung melejit di Apple App Store AS dan sukses bikin petinggi industri teknologi ketar-ketir.
Keberhasilan DeepSeek-R1 ini bukan sekadar pencapaian biasa. Ini jadi bukti bahwa China semakin agresif dalam persaingan AI global. Akibatnya, pasar saham teknologi mendadak gonjang-ganjing, volatilitas meningkat, dan dampaknya ikut dirasakan oleh Bitcoin. Sentimen ini memperkuat kekhawatiran tentang pergeseran kekuatan teknologi dunia dan makin memperuncing tensi geopolitik di sektor ekonomi digital.
Di tengah hiruk-pikuk ini, Green justru melihat optimisme jangka panjang untuk Bitcoin. Menurutnya, penurunan harga sementara bukanlah masalah besar bagi investor institusional yang sudah paham karakteristik aset ini. “Pemain institusional melihat Bitcoin sebagai aset strategis. Ini bukan sekadar spekulasi, tapi bagian dari diversifikasi portofolio untuk melindungi diri dari inflasi dan mempertahankan potensi pertumbuhan,” ujarnya.
Green juga mengingatkan volatilitas adalah bagian tak terpisahkan dari Bitcoin—dan justru di situlah peluang emas muncul bagi investor yang cerdas. “Dalam jangka panjang, Bitcoin selalu naik meski ada pasang surut. Investor yang tahu permainan ini akan memanfaatkannya dengan strategi yang matang,” jelasnya.
Green menegaskan fundamental Bitcoin masih solid. Kelangkaan, desentralisasi, dan adopsi yang terus meningkat tetap menjadi daya tarik utama. “Satu minggu keributan di pasar tidak akan mengubah posisi Bitcoin dalam ekosistem keuangan global,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bagaimana Bitcoin bisa jadi tameng di tengah ketegangan geopolitik dan persaingan ekonomi global yang kian memanas. Bitcoin, kata dia, tidak bergantung pada kebijakan negara mana pun. Ia beroperasi di luar batas geopolitik dan membuatnya jadi aset perlindungan di masa-masa penuh ketidakpastian.
Dengan sifatnya yang desentralisasi, Bitcoin pun menjadi alternatif menarik bagi mereka yang ingin lepas dari kendali pemerintah atau korporasi raksasa. “Investor saat ini mencari aset yang bebas dari intervensi otoritas mana pun, dan Bitcoin menjawab kebutuhan itu,” kata Green.(*)