KABARBURSA.COM - Para bos perusahaan migas raksasa tampaknya harus bersabar lebih lama. Keuntungan dari bisnis kilang mereka masih suram, setidaknya dalam waktu dekat. Chevron, Exxon Mobil, dan Shell baru saja merilis laporan keuangan kuartal keempat 2024 yang memperlihatkan betapa kerasnya dampak pelemahan margin kilang terhadap laba mereka.
Masalah utama adalah kapasitas penyulingan global bertambah sepanjang 2024, sementara permintaan bahan bakar justru melempem. Akibatnya, margin keuntungan dari bisnis penyulingan ikut tergerus.
Chevron, misalnya, mengalami kerugian di divisi penyulingannya—yang pertama kali sejak 2020. Tak heran, sahamnya langsung merosot 4 persen. Perusahaan minyak terbesar kedua di AS itu pun gagal memenuhi ekspektasi analis Wall Street.
“Tren pelemahan margin yang kita lihat sepanjang 2024 kemungkinan masih akan berlanjut ke 2025,” ujar CEO Chevron, Mike Wirth, dikutip dari Reuters di Jakarta, Sabtu, 1 Februari 2025.
Saat sesi konferensi pasca-rilis laporan keuangan, Wirth tidak menampik bahwa kuartal terakhir tahun lalu memang buruk. “Saya tidak akan menyebutnya badai sempurna, tapi ini kuartal di mana semuanya bergerak ke arah yang salah,” katanya.
Untuk mengatasi kondisi ini, Chevron berencana mengurangi jadwal pemeliharaan kilangnya tahun depan demi mengoptimalkan produksi.
Nasib serupa juga dialami Exxon Mobil. Perusahaan migas terbesar di AS ini melaporkan laba dari divisi kilang yang anjlok hingga 75 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Saham Exxon pun ikut melemah 2,5 persen, seiring dengan penurunan indeks sektor energi S&P 500 yang turun 2,8 persen pada Jumat.
Menurut Chief Financial Officer Exxon, Kathryn Mikells, kelebihan pasokan bahan bakar akibat bertambahnya kilang baru di berbagai negara menjadi penyebab utama lesunya bisnis penyulingan. “Ini yang kami pantau saat melihat prospek 2025,” ujarnya.
Meski begitu, Exxon masih mampu melampaui ekspektasi laba, berkat peningkatan produksi di ladang minyak Permian, AS, serta ladang minyak terbaru di Guyana.
Sementara itu, Shell juga tidak luput dari pukulan. Keuntungan kuartal keempatnya nyaris terpangkas setengahnya dibandingkan tahun sebelumnya, hanya mencapai USD3,66 miliar (sekitar Rp58,56 triliun). Penyebab utamanya tak lain dan tak bukan karena margin kilang yang makin tipis.
Meski begitu, Shell menegaskan mereka tidak akan meninggalkan bisnis penyulingan. Namun, ekspansi besar-besaran di sektor ini juga bukan pilihan. Perusahaan berbasis di Inggris ini bahkan sudah melepas asetnya di Singapura tahun lalu dan berencana menutup pabrik lainnya di Wesseling, Jerman.
Berdasarkan data dari Yahoo Finance, saham raksasa minyak dunia, yakni Exxon Mobil (XOM), Chevron (CVX), dan Shell (SHEL), kompak melemah dalam perdagangan terbaru, mencerminkan tekanan yang semakin berat di sektor energi global.
Saham Exxon Mobil ditutup di level USD106,83 (sekitar Rp1,71 juta) setelah turun 2,74 poin atau 2,5 persen dalam satu hari perdagangan. Saham ini sempat mencapai titik tertinggi USD110,53, namun kemudian merosot hingga menyentuh level terendah USD106,10 sebelum akhirnya sedikit pulih di sesi after-market ke USD106,99 (+0,16). Dengan kapitalisasi pasar mencapai USD469,5 miliar, Exxon masih menjadi salah satu pemain utama di industri energi, meski para investor tampaknya mulai was-was dengan prospek ke depan.
Chevron mengalami penurunan lebih tajam dibanding Exxon. Saham CVX anjlok USD7,13 atau 4,56 persen, ditutup di USD149,19 (sekitar Rp2,39 juta). Sepanjang perdagangan, harga sahamnya bergerak di kisaran USD148,65 - USD154,35, dengan volume transaksi mencapai 13,25 juta saham. Setelah pasar tutup, saham ini sedikit pulih ke USD149,40 (+0,21). Dengan kapitalisasi pasar USD266 miliar, Chevron masih tergolong raksasa, tetapi investor tampaknya mulai berhitung ulang dampak dari margin kilang yang melemah.
Sementara itu, Shell juga tak luput dari tekanan. Sahamnya turun USD0,80 atau 1,2 persen, ditutup di USD65,85 (sekitar Rp1,05 juta). Dalam perdagangan hari itu, saham Shell sempat mencapai titik tertinggi USD67,11, tetapi turun hingga menyentuh USD65,69 sebelum akhirnya stabil di USD65,84 setelah jam kerja. Volume perdagangan Shell jauh lebih rendah dibanding dua pesaingnya, yakni hanya 4,86 juta saham, dengan kapitalisasi pasar di USD199,1 miliar.
Sementara perusahaan minyak besar masih bisa bertahan berkat produksi minyak dan gas yang meningkat, para pemain murni di bisnis kilang justru mengalami hantaman keras. Permintaan bahan bakar yang lesu di Amerika Serikat dan China—dua konsumen minyak terbesar dunia—membuat mereka kesulitan.
Phillips 66, misalnya, mencatat penurunan laba kuartal keempat yang sangat tajam, dari USD1,26 miliar (sekitar Rp20,16 triliun) tahun lalu menjadi hanya USD8 juta (sekitar Rp128 miliar). Sementara itu, laba dari bisnis kilang Valero anjlok hingga 73 persen pada periode yang sama.
CEO Valero, Lane Riggs, memperkirakan dua kilang di AS akan tutup tahun ini. Meski demikian, ia menilai kapasitas tambahan yang terbatas setelah 2025 bisa membantu menopang margin kilang dalam jangka panjang.
Di sisi lain, investor juga mencemaskan ancaman Presiden AS Donald Trump yang berencana menerapkan tarif impor minyak mentah dari Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari. Jika benar diberlakukan, kebijakan ini dapat meningkatkan biaya operasional bagi kilang di AS.
Raksasa energi asal Prancis, TotalEnergies, dijadwalkan merilis laporan keuangan kuartal keempat pada 5 Februari, sementara perusahaan minyak Inggris, BP, akan melaporkan hasilnya pada 11 Februari.
BP sendiri sudah memberikan peringatan bahwa penurunan margin kilang serta dampak dari aktivitas perawatan dan perombakan fasilitas bisa memangkas laba mereka hingga USD300 juta (sekitar Rp4,8 triliun) secara kuartalan. Dengan tekanan yang semakin besar, bisnis penyulingan tampaknya harus melewati periode sulit sebelum bisa kembali stabil.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.