KABARBURSA.COM - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong transisi menuju industri hijau, sejalan dengan langkah sejumlah negara yang telah menerbitkan label khusus untuk industri hijau, seperti Thailand, Jepang, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan China. Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Andi Rizaldi, mengatakan upaya mendorong industri hijau telah dimulai sejak 2014.
Pada tahun tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 yang tidak hanya memberikan definisi mengenai industri hijau, tetapi juga memacu transisi melalui penghargaan bagi industri yang menerapkan prinsip berkelanjutan.
“Kami sudah menginisiasi apa yang disebut dengan definisi dari industri hijau, yaitu industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas yang mana nanti efisiensi dan efektivitas ini sebetulnya akan kembali ke industri,” kata dalam acara diskusi Tren Pertumbuhan Industri Hijau dan Persepsi Green Lifestyle Konsumen Indonesia yang digelar virtual Institute for Essential Services Reform (IESR), Jumat, 15 November 2024.
Pada prinsipnya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 berupaya mendorong industri untuk melakukan efisiensi sumber daya dan lingkungan yang pada akhirnya memberikan keuntungan bagi lingkungan hidup. Setahun setelah berlakunya UU tersebut, ia mengungkap, pemerintah mulai menyusun standar industri hijau.
Hingga saat ini, Andi menyebut Kemenperin memiliki 62 standar industri hijau yang dituangkan dalam 39 Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin). Pada tahun 2018, tutur Andi, Kemenperin juga mulai memberikan sertifikasi terhadap industri yang telah menerapkan prinsip berkelanjutan kendati produk yang dihasilkan masih relatif minim.
“Jadi sampai saat ini yang tercatat di kami, kami sudah memberikan 128 sertifikat industri hijau kepada industri yang sudah mengimplementasikan standar industri hijau Industri produknya sendiri masih sangat minim,” ungkapnya.
Minimnya produk hijau disebabkan oleh standar industri hijau yang hingga kini belum menjadi kewajiban. Berbeda dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat wajib, standar industri hijau masih bersifat sukarela. Meski demikian, sejumlah perusahaan telah menyadari penerapan standar industri hijau memberikan manfaat, tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi konsumen.
Sejalan dengan itu, pemerintah telah memberikan apresiasi kepada perusahaan yang menerapkan prinsip industri hijau sejak 2010. “Sampai saat ini pun kami tetap memberikan apresiasi itu, namun dengan penambahan standar bahwa perusahaan itu harus juga sudah mengimplementasikan standar industri hijau untuk produknya,” kata Andi.
Sebagai bentuk komitmen mendorong transisi ke industri hijau, Andi mengaku pemerintah tengah menyusun regulasi yang memberikan keuntungan bagi perusahaan. Ke depan, kata Andi, Kemenperin akan merumuskan insentif bagi perusahaan yang menerapkan standar industri hijau dalam produknya.
“Jadi kalau saat ini yang ada dana insentif untuk Tingkat Kandungan Dalam Negeri atau TKDN di dalam pengadaan pemerintah, di dalam pengadaan Pemda, maupun pengadaan BUMN, ke depan kami coba akan mengimplementasikan apa yang disebut dengan pengadaan pemerintahan berkelanjutan atau sustainable public governance,” ungkapnya.
Dengan regulasi tersebut, pemerintah pusat maupun daerah, dan BUMN diwajibkan membeli produk ramah lingkungan yang diproduksi industri dalam negeri. Di samping itu, Kemenperin juga akan membentuk regulasi yang disusun bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. “Satu konsep di mana pendanaan untuk industri hijau itu nanti akan lebih mudah jadi saat ini mungkin industri ada kendala,” katanya.
“Konsep pendanaan nanti yang sedang dirumuskan oleh teman-teman di Pusat Industri Hijau, kami harap pendanaan ini akan lebih mudah diakses sebagai insentif dari pemerintah yang ingin melakukan, kepada perusahaan yang ingin melakukan transisi dari industri existing menjadi industri hijau,” tambahnya.
Andi mengungkapkan, saat ini ada beberapa perusahaan baja yang menerapkan industri hijau. Industri baja dalam negeri saat ini telah menerapkan carbon footprint atau jejak karbon untuk menghitung jumlah total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktivitas manusia atau organisasi.
“Sebagian dari pelaku usaha itu sudah menyadari akan pentingnya industri hijau, misalnya sekarang salah satu perusahaan baja kita sudah mulai melakukan apa yang disebut dengan carbon footprint dalam rangka persiapan tahun 2026,” kata Andi.
Di sisi lain, industri manufaktur Indonesia juga mulai menerapkan transisi energi dengan mengurangi emisi dari tiap proses produksinya. Andi mengatakan sempat mengunjungi salah satu produsen keramik yang menerapkan inovasi hijau. Kendati tidak begitu ekstrem, inovasi yang diterapkan produsen keramik terbukti berpengaruh terhadap lingkungan pabrik.
Andi mengatakan sejumlah perusahaan telah berinovasi dengan memasang alat penyedot debu. Inovasi tersebut membuat kondisi pabrik terlihat bersih, jauh dari kesan penuh debu dan kotoran seperti yang sering dibayangkan. Menurutnya, implementasi yang disebut sebagai prinsip hijau ini sekaligus meningkatkan efisiensi.
Pasalnya, kata dia, debu yang dikumpulkan bisa kembali didaur ulang sebagai bahan baku produksi. “Jadi itu yang kita sebut dengan sirkuler ekonomi, bahwa apa yang kita sebutkan waste itu sebenarnya bukan waste tetapi sebetulnya adalah bahan baku yang dapat didaur ulang kembali,” katanya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.