Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Di Balik Sertifikasi Sawit Hijau, Ada Konflik Perampasan Lahan

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 11 November 2024 | Penulis: Citra Dara Vresti Trisna | Editor: Redaksi
Di Balik Sertifikasi Sawit Hijau, Ada Konflik Perampasan Lahan

KABARBURSA.COM – Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menilai Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai sebuah organisasi nirlaba global terkait produksi minyak sawit, sudah tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan sawit di Indonesia.

Sebagai organisasi nirlaba global terkait dengan sawit, RSPO berusaha menjawab persoalan kerusakan lingkungan akibat sawit, konflik sosial, permintaan pasar yang tinggi dan tekanan dari konsumen.

TuK Indonesia menilai selama dua dekade sejak RSPO berdiri, lembaga ini gagal memenuhi misinya menjadikan industri sektor sawit bisa berkelanjutan. Sertifikasi yang dikeluarkan RSPO dianggap menjadi alat legitimasi industri sawit menutupi penghancuran lingkungan, pelecehan hak asasi manusia (HAM) dan perampasan lahan.

Direktur TuK Indonesia Linda Rosalina mengatakan, pemerintah melalui taksonomi hijau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seolah-olah melimpahkan semua tanggung jawab kerusakan lingkungan akibat perusahaan sawit kepada RSPO.

Linda menyayangkan sikap pemerintah yang buru-buru memasukkan perusahaan sawit untuk masuk ke dalam kategori hijau hanya karena perusahaan tersebut memiliki sertifikasi berkelanjutan dari RSPO.

“Anggota RSPO tidak memperhatikan proses-proses legal dan tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah, juga masih diberikan sertifikat. Makanya ini sebagai sebuah lembaga, itu sudah tidak relevan,” kata Linda kepada kabarbursa.com, beberapa waktu lalu.

Daftar Kegagalan RSPO

TuK Indonesia mencatat, ada empat kegagalan RSPO di Indonesia, yakni: tidak dapat menyelesaikan kasus masyarakat, RSPO mengabaikan isu-isu terkait kewajiban plasma, tidak memiliki concern terhadap legalitas hak guna usaha (HGU) dan mekanisme pengaduannya tidak optimal.

Terkait dengan penyelesaikan kasus masyarakat, TuK Indonesia menganggap penolakan pihak RSPO tehadap laporan masyarakat adat Kerunang-Entapang di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berkonflik selama 11 tahun dengan PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS) sebagai tindakan yang tidak manusiawi.

RSPO dianggap mengabaikan bukti yang diajukan masyarakat berupa “hukum adat derasa” dan justru menafsirkan hukum adat tersebut secara keliru. RSPO menganggap hukum adat derasa sebagai pelepasan hak atas tanah. Padahal, hukum adat tersebut hanya memiliki satu arti, yakni hak pinjam pakai.

Penyalahartian makna hukum adat derasa mengakibatkan Masyarakat Dayak Hibun yang didukung 21 ketua adat dan tumenggung di Kabupaten Sanggau melayangan somasi kepada Panel Pengaduan RSPO dan menilai RSPO melecehkan, menistakan dan mencemarkan nama baik hukum adat Dayak.

Sedangkan untuk isu-isu plasma, TuK Indonesia menyebut RSPO terlibat dalam hal pembiaran anggotanya tidak patuh terhadap hukum di Indonesia. Hal ini terkait dengan kasus yang melibatkan warga Desa Biru Maju, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimatan Tengah dengan PT Buana Artha Sejahtera (PT BAS) yang merupakan anak perusahaan Sinar mas.

“Sudah 19 tahun lamanya sejak perusahaan beroperasi (2005), PT BAS mengingkari janjinya untuk membangun kebun plasma warga. Padahal menyediakan kebun plasma adalah kewajiban bagi perusahaan,” tulis laporan TuK Indonesia.

TuK Indonesia juga mencatat RSPO juga memberikan sertifikasi yuridiksi tahap 1 kepada Pemerintah Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah setelah ada satu orang warga yang tewas tertembak peluru tajam saat demonstrasi menuntut kebun sawit plasma dari PT HMBP 1.

Kegagalan RSPO lainnya adalah terkait dengan kecukupan legalitas HGU. Dalam hal ini, TuK Indonesia menyebut RSPO abai terhadap anggotanya, PT BAS, yang tidak memiliki perizinan lengkap karena tidak mengantongi HGU.

Anggapan Sertifikasi Perusahaan

TuK Indonesia juga menyebut mekanisme pengaduan RSPO juga tidak bekerja optimal. TuK menyebut sepanjang RSPO berdiri terdapat 160 aduan.

“Dalam lima tahun terakhir (2018- 2023), terdapat 74 pengaduan terhadap RSPO. Meski belum termasuk melihat aduan-aduan yang berhasil RSPO tutup tanpa keputusan atau dismissed. Sepanjang 2018 hingga 2023, Indonesia menjadi negara dengan perkebunan sawit terdokumentasi paling bermasalah, yaitu 52 aduan,” tulis laporan Tuk Indonesia.

Terkait dengan isu yang diadukan sebanyak 38,5 persen terkait isu tenaga kerja, 12,8 persen deforestasi, 9,4 persen FPIC, 9,4 persen kasus intimidasi masyarakat lokal atau adat dan 8,5 persen kasus sengketa lahan.

“Banyaknya pengaduan yang masuk dan belum tertangani membuktikan mekanisme RSPO tidak bekerja dengan baik,” kata Linda.

Linda menyayangkan sikap pemerintah yang menganggap sertifikasi yang dimiliki perusahaan sawit sebagai indikator praktik keberlanjutan.

“Padahal kan kita pengen membuktikan bahwa itu (sertifikasi dari RSPO) tidak membuktikan atau mencerminkan keadaan sesungguhnya atau yang ada di lapangan,” ujar Linda.(*)