KABARBURSA.COM – Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia) mengungkapkan, empat bank di Indonesia menjadi pemberi kredit terbesar industri yang berkontribusi dalam perusakan lingkungan dan kerap terlibat sengketa lahan dengan masyarakat.
Direktur TuK Indonesia Linda Rosalina mengatakan, meski besaran kredit dari bank untuk perusahaan perusak lingkungan ini naik turun atau fluktuatif, namun besarannya tidak pernah menurun.
Sementara dari sisi kreditor pinjaman, kata Linda, kebanyakan berasal dari Indonesia dan jumlahnya lebih dari 40 persen. Jumlah tersebut merupakan hasil penghitungan sejak Perjanjian Paris tahun 2016.
Meski pemberi modal perusahaan perusak kelestarian lingkungan di Indonesia kebanyakan dari asing, namun menurut Linda besaran angka 40 persen adalah jumlah yang cukup besar.
“Kalau kita cek lebih detail siapa mereka adalah bank-bank KBMI 4. Kelompok dengan bank modal inti yang paling besar di Indonesia ada Mandiri, BRI, BNI dan BCA. Kita tahu bank ini juga first move di dalam kegiatan keuangan berkelanjutan,” jelas Linda kepada kabarbursa.com, Senin, 27 Oktober 2024.
Berdasarkan data dari TuK Indonesia yang diterima kabarbursa.com, Bank Mandiri menjadi yang terdepan dalam pembiayaan perusahaan perusak lingkungan. Pembiayaan yang dilakukan mencapai USD 7.617 juta. Adapun sektor yang dibiayai meliputi minyak kelapa sawit USD 3.672 juta, pulp & paper USD 3.654 juta, karet USD 282 juta dan kayu USD 9 juta.
Di urutan kedua ada Bank Rakyat Indonesia BRI dengan total pembiayaan sektor yang tak ramah lingkungan mencapai USD 6.686 juta. Sedangkan sektor yang dibiayai meliputi minyak kelapa sawit dengan besaran USD 1.608 juta, karet USD 91 juta dan kayu USD 20 juta.
Di urutan ketiga ada Bank Negara Indonesia (BNI) dengan total pembiayaan mencapai USD 5.018 juta. Modal tersebut dikuncurkan untuk sektor minyak kelapa sawit sebesar USD 2.101 juta, karet USD 67 juta dan kayu USD 2 juta.
Bank lainnya yang juga membiayai industri tak ramah lingkungan adalah Bank Central Asia (BCA). Total pembiayaan yang dikucurkan sebesar USD 6.138 juta. Sektor yang dibiayai oleh bank ini, antara lain, minyak kelapa sawit USD 2.349 juta, pulp & paper USD 3.708 juta, karet USD 72 juta dan kayu USD 8 juta.
Selain empat bank di atas, bank asal Indonesia yang juga melakukan pembiayaan di sektor yang tak ramah lingkungan adalah Bank Panin. Bank ini menggelontorkan kredit sebesar USD 2.690 juta.
Sedangkan bank asing yang menggelontorkan dana untuk perusakan alam di Indonesia adalah Malayan Banking. Bank asal Negeri Jiran ini menggelontorkan dana sebesar USD 3.321 juta.
Bank lain dari Malaysia yang juga terlibat dalam pembiayaan kotor berikutnya adalah CIMB Group dengan total pembiayaan mencapai USD 2.407 juta.
Kemudian pihak asing yang turut dalam pembiayaan di sektor yang tak ramah lingkungan lainnya adalah Jepang. Melalui perusahaan Mitsubishi UF J Financial dan Mizuko Financial. Keduanya masing-masing berkontribusi sebesar USD 3.260 juta dan USD 2.896 juta.
OJK Punya Andil Perusakan Lingkungan
Linda menilai, praktik ugal-ugalan dalam pembiayaan sektor-sektor bermasalah dan perusak lingkungan ini tidak lepas dari Otoritas Jasa Keuangan, terutama dalam perannya mengimplementasi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI).
TKBI merupakan pembaruan dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI) tahun 2022. Pada THI 2022, aktivitas ekonomi di Indonesia dibagi dalam tiga kategori, yaitu merah, kuning, dan hijau.
Kategori merah menunjukkan aktivitas yang merusak lingkungan, kuning untuk aktivitas dengan dampak netral, sedangkan hijau untuk aktivitas yang memberikan dampak positif bagi lingkungan. Namun, sejak berganti menjadi TKBI, klasifikasi ekonomi ini hanya dibagi menjadi dua kategori, yakni hijau dan transisi.
Menurut Linda, taksonomi tersebut seharusnya menjadi panduan bagi lembaga keuangan untuk membedakan industri yang sesuai dengan taksonomi lingkungan. Ia juga menjelaskan bahwa pada klasifikasi sebelumnya, merah berarti sangat merusak, hijau berarti sesuai dengan lingkungan, dan kuning berada di antara keduanya.
Namun, ia menilai adanya pengaburan dalam pengelompokan dua kategori baru ini. Hal tersebut, menurut Linda, menciptakan kerancuan terutama dalam pemberian pinjaman bank kepada perusahaan yang sebenarnya berpotensi merusak lingkungan atau memiliki konflik dengan masyarakat.
Linda juga menyebut bahwa klasifikasi baru OJK ini menimbulkan problematika karena kurang jelas dalam mengelompokkan industri berdasarkan dampak lingkungannya.
Perubahan ini, katanya, dapat merugikan banyak pihak karena memunculkan potensi praktik “greenwashing”, di mana publik dibuat percaya bahwa suatu perusahaan ramah lingkungan, padahal sebenarnya tidak.
Tidak hanya greenwashing, Linda juga menambahkan bahwa klasifikasi OJK ini bisa memicu "social washing", yang membuat perusahaan tampak seolah memiliki dampak sosial positif meski berpotensi merugikan masyarakat sekitar.
Selain itu, OJK akan mengadakan konsultasi publik untuk meninjau ulang taksonomi di sektor-sektor seperti agroforestri, pertanian, kehutanan, dan pemanfaatan lahan. Linda menyampaikan bahwa dengan memasukkan kategori transisi yang menggantikan kategori kuning dan merah, ada risiko pencampuradukan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Lebih lanjut, Linda mendesak OJK untuk mengembalikan klasifikasi ke bentuk awal dengan tiga kategori, agar ada kejelasan mengenai apakah aktivitas perusahaan berdampak merusak atau tidak bagi lingkungan. Baginya, istilah “transisi” yang digunakan saat ini berpotensi menyamarkan fakta terkait perusahaan yang beroperasi dengan dampak lingkungan negatif. Sebagai contoh, menurutnya, perusahaan sawit tanpa Hak Guna Usaha (HGU) tidak seharusnya dikelompokkan dalam kategori transisi.
Menurut Linda, klasifikasi yang kurang jelas ini bisa dimanfaatkan pihak bank untuk membiayai perusahaan perusak lingkungan, sementara pemerintah pun dinilai kurang tegas dalam menindak perusahaan-perusahaan di sektor ekstraktif yang memiliki dampak lingkungan negatif.
Selain itu, Linda mengungkapkan bahwa klasifikasi dalam THI dan TKBI bersifat sukarela dan belum mandatori. Ia juga mempertanyakan ambisi dalam pencegahan perubahan iklim jika industri perusak lingkungan masih mendapat dukungan finansial dari lembaga keuangan.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.