Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Menengok Potensi SDA dan Transisi Menuju Swasembada Energi

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 21 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Menengok Potensi SDA dan Transisi Menuju Swasembada Energi

KABARBURSA.COM -Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, mendukung langkah pemerintah dalam pengembangan biofuel dan bioetanol sebagai salah satu upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Transisi energi ini juga dimaksudkan untuk memulai swasembada energi superit yang ditegaskan Prabowo dalam pidato perdananya sebagai presiden, kemarin.

Meski demikian, Yayan mengingatkan kebijakan tersebut harus tetap mempertimbangkan aspek keterjangkauan bagi masyarakat. Menurutnya, jangan sampai upaya pengembangan bioenergi bertentangan dengan kebijakan perubahan iklim dan konservasi sumber daya air, misalnya dengan pembukaan lahan hutan yang diklaim sebagai pengembangan bioenergi.

“Ini (pengembangan biofuel dan bioetanol) adalah yang paling konkret sebagai substitusi fossil fuels. Akan tetapi kebijakan ini harus affordable bagi masyarakat. Jangan sampai kebijakan bio-energy konflik dengan kebijakan perubahan iklim dan konservasi sumber daya air,” kata Yayan saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 21 Oktober 2024.

Yayan menjelaskan pengembangan bioenergi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan kelapa sawit dalam bauran bahan bakar minyak (BBM). Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan produktivitas lahan per hektare hingga mencapai 5 hingga 7 ton, lebih tinggi dari rata-rata produktivitas saat ini yang baru berkisar 3 hingga 4 ton per hektar. “Sehingga dengan strategi ini, produktivitas sawit terjaga dan ekspansi lahan sawit bisa ditekan,” katanya.

Menurut Yayan, kebijakan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 mengenai pemanfaatan kekayaan alam, yang tidak hanya harus berorientasi pada kesejahteraan hari ini, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan lintas generasi atau intergenerational equity.

Selain itu, Yayan juga menyoroti potensi energi panas bumi yang dimiliki Indonesia. Ia menyebut pemanfaatan energi ini adalah langkah yang sangat logis dan prioritas dalam mendorong transisi energi yang lebih bersih. “Untuk pengembangan panas bumi sudah tidak diragukan merupakan energi yang sangat potensial dan paling rasional untuk transisi energi yang relatif prioritas,” ujarnya.

Namun, dia mengingatkan pengembangan energi terbarukan ini tidak lepas dari kendala akuisisi lahan. Sebagian besar area yang berpotensi untuk pengembangan panas bumi berada di dekat pegunungan. Tantangannya, area ini kerap kali masuk dalam kawasan konservasi dan lahan masyarakat adat.

Menurut Yayan, diperlukan pendekatan yang humanis dan berbasis antropologi untuk mencegah konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat. Dia menyarankan agar pemerintah lebih mengedepankan kebijakan berbasis komunitas (community-based development), meskipun hal ini membutuhkan waktu yang tidak singkat dan harus ada solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Pengembangan energi panas bumi juga memerlukan biaya eksplorasi yang tinggi.

Yayan pun menekankan pentingnya pembiayaan khusus dari pemerintah agar proyek ini tidak terlalu bergantung pada investor. Kebab, hal itu dapat membuat harga energi menjadi mahal. “Mengapa? karena dengan hal ini potensi KKKS PLTP (Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) menjadi lebih rasional secara viable. Jika tidak dilakukan seperti itu, eksplorasi akan menjadi mahal dan pro-investor sehingga harga uap PLTP bisa kemahalan,” katanya.

Kesiapan Biofuel dan Bioetanol

Bahan bakar nabati (BBN) menjadi salah satu andalan pemerintah dalam meningkatkan kontribusi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Saat ini, biodiesel merupakan komoditas yang mengalami pertumbuhan paling pesat. Keberhasilan tersebut mendorong rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi biofuel lainnya, termasuk bioetanol.

Pemerintah terus berupaya mengurangi emisi karbon di berbagai sektor, dengan target jangka menengah pada 2030. Salah satu langkah utamanya adalah memperbesar bauran EBT di sektor energi untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Hingga 2025, pemerintah menargetkan EBT dapat mencapai 23 persen dari total suplai energi final di Indonesia. Saat ini, realisasi bauran EBT baru sekitar 12 persen, yang berarti masih perlu peningkatan 11 persen untuk mencapai target tersebut.

Namun, pencapaian target itu memerlukan usaha yang lebih serius. Tren peningkatan EBT yang rata-rata hanya tumbuh kurang dari 2 persen per tahun membuat target 23 persen pada 2025 tampak sulit dicapai tanpa adanya perubahan strategi yang lebih radikal.

Berdasarkan data Handbook of Energy Economic Statistics of Indonesia (HEESI) 2022, dari sembilan jenis EBT yang dikembangkan, hanya biofuel yang menunjukkan peningkatan signifikan. Pada 2011, kontribusi biofuel dalam suplai energi final Indonesia hanya 0,19 persen, jauh di bawah tenaga air dan panas bumi yang masing-masing menyumbang 2,32 persen dan 1,26 persen. Namun, sebelas tahun kemudian, situasi berubah drastis. Biofuel tumbuh pesat menjadi sumber EBT terbesar di Indonesia, dengan kontribusi 4,23 persen pada 2022. Sebaliknya, tenaga air dan panas bumi cenderung stagnan dengan masing-masing kontribusi 3 persen dan di bawah 2 persen.

Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa bahan bakar nabati, terutama yang berbasis biomassa, berpotensi menjadi EBT utama di Indonesia. Pemerintah berencana untuk terus menggenjot produksi biofuel, yang didukung oleh beberapa faktor pendukung seperti ketersediaan bahan baku dan kebijakan yang memfasilitasi pengembangannya.

Di sisi lain, untuk bioetanol, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 yang menargetkan percepatan swasembada gula nasional serta penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Aturan ini mencakup perluasan lahan tebu, peningkatan produktivitas, dan diversifikasi tanaman penghasil bioetanol, seperti padi, jagung, singkong, dan sorgum.

Direktur Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan luas lahan dan kualitas hasil panen tebu di Indonesia. Saat ini, produksi bioetanol hanya mencapai sekitar 40 ribu kiloliter (KL) per tahun. Target pemerintah pada 2030 adalah mencapai produksi sebesar 1,2 juta KL, yang diproyeksikan mampu mengurangi impor BBM hingga 60 persen.

Salah satu langkah untuk mencapai target tersebut adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu per hektar, yang saat ini baru sekitar 70,7 ton. Menurut data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), angka ini masih lebih rendah dibandingkan puncak produktivitas pada 2010 yang mencapai 81,8 ton per hektar. Semakin tinggi produktivitas tebu, semakin besar pula pasokan molase yang dapat diolah menjadi bioetanol.

Pemerintah telah menyiapkan 700 ribu hektare lahan baru untuk budidaya tebu hingga tahun 2028. Namun, tantangan dalam merealisasikan target ini cukup kompleks, mulai dari penyiapan benih hingga pembangunan pabrik gula dan fasilitas pengolahan bioetanol.

"Tadi disampaikan kalau kita betul-betul bisa menyiapkan 700 ribu hektare, kita kan mandiri, kita kan swasembada gula dalam 5 tahun ke depan, dan akan saya siapkan yang 700 ribu itu," ujar Presiden Jokowi saat meninjau Kebun Tebu Temu Giring, Mojokerto, Jawa Timur, pada 4 November 2022, lalu. Hingga saat ini, baru sekitar 180 ribu hektare lahan yang disiapkan, dengan target total 700 ribu hektare.

Selain itu, pengembangan energi panas bumi juga diakui sebagai salah satu langkah strategis untuk memperbesar bauran EBT. Potensi panas bumi di Indonesia sangat besar dan dipandang sebagai solusi yang rasional dalam transisi energi. Namun, tantangan utama pengembangan panas bumi adalah akuisisi lahan di sekitar pegunungan yang umumnya merupakan kawasan konservasi atau lahan adat. Pemerintah didorong untuk mengadopsi pendekatan berbasis komunitas guna menghindari konflik dengan masyarakat setempat.

Selain persoalan lahan, biaya eksplorasi panas bumi yang tinggi juga memerlukan pembiayaan khusus dari pemerintah agar tidak bergantung sepenuhnya pada investor. Dengan demikian, harga energi dari panas bumi bisa lebih kompetitif.

"Mengapa? karena dengan hal ini potensi KKKS PLTP menjadi lebih rasional secara viable. Jika tidak dilakukan seperti itu, eksplorasi akan menjadi mahal dan pro-investor sehingga harga uap PLTP bisa kemahalan,” kata Edi Wibowo.

Prabowo Targetkan Swasembada Energi

Prabowo sebelumnya menyoroti pemanfaatan sejumlah tanaman yang dapat menjadi salah satu sumber alternatif BBM sebagai salah satu upaya kemandirian swasembada energi. “Kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi,” kata Prabowo dalam pidato perdananya sebagai Presiden Republik Indonesia, di Gedung MPR/DPR, Jakarta Pusat, Minggu, 20 Oktober 2024.

Prabowo menambahkan, tanaman seperti kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, hingga jagung adalah beberapa contohnya. Pemerintahannya nanti akan fokus memanfaatkan seluruh potensi yang ada demi meraih swasembada energi. “Seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin. Kita juga punya energi bawah tanah geothermal yang cukup,” ujarnya.

Melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari sawit, serta bioethanol dari tebu dan singkong, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Prabowo optimistis program biodiesel B50 dan campuran ethanol E10 dapat terwujud pada 2029.