KABARBURSA.COM - Pemerintah memangkas target bauran energi baru terbarukan (EBT) untuk tahun 2025 menjadi 16 hingga 17 persen. Target ini sebelumnya telah direvisi dari 23 persen menjadi 17 hingga 19 persen pada awal tahun 2024.
Kepala Balai Besar Survei dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (BBSP KEBTKE) Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Harris, mengatakan saat ini bauran EBT di Indonesia masih berada di bawah 14 persen. Angka tersebut diperkirakan tidak akan mengalami banyak perubahan hingga akhir tahun 2024.
“Tahun depan mungkin hanya di 16 hingga 17 persen, jadi belum bisa mencapai 23 persen,” ungkap Harris dalam diskusi bertajuk 'Developing National Energy Security, While Driving Indonesia's Green Economy' di BNI Investor Daily Summit 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Oktober 2024
Pemerintah sebelumnya telah mematok target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN). Untuk itu, pemerintah berencana menyesuaikan target yang lebih relevan di masa mendatang dengan merevisi aturan yang berlaku saat ini.
“Sebelum 20 hari ini, mudah-mudahan bisa ditetapkan Kebijakan Energi Nasional menggantikan PP 79/2014 yang sudah akan diganti,” kata Harris.
Pada awal tahun ini, pemerintah juga sempat mengumumkan perubahan target bauran EBT dari 23 persen menjadi 17 hingga 19 persen untuk tahun 2025. Hal ini sejalan dengan peta jalan transisi energi dalam revisi PP KEN yang menargetkan bauran energi primer EBT pada 2030 mencapai 19 hingga 30 persen. Secara bertahap, pada 2060, target bauran EBT ditetapkan mencapai 70 hingga 72 persen.
“Pada 2060 ditargetkan energi terbarukan mencapai porsi 72 persen. Tentu masih ada energi fosilnya, tetapi energi fosil yang rendah emisi seperti gas,” kata Harris.
Harris mengimbuhkan, pemerintah akan menerapkan teknologi penyerap karbon guna memastikan energi yang dimiliki dapat disiapkan dengan ketahanan dan kecukupan yang optimal.
Ia mengatakan pemerintah telah menetapkan target jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045 dan net zero carbon (NZE) pada 2060, yang dijabarkan dalam peta jalan. Langkah-langkah telah disiapkan, di antaranya mengganti energi fosil dengan energi terbarukan dari sisi suplai. Dari sisi permintaan, pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan beralih ke listrik serta bahan bakar nabati.
“P-program besar yang akan kita capai dan laksanakan untuk mengawal Indonesia menuju NZE di masa depan. Indonesia sudah berkomitmen dalam Perjanjian Paris 2016, dan kini juga sudah ada regulasi untuk NZE 2060,” kata Harris.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani sebelumnya mengungkapkan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.677 gigawatt. Namun, hingga kini, pemanfaatannya baru mencapai sekitar 14 persen, jauh dari target 23 persen yang diharapkan pada 2025. Pernyataan Rosan ini menggambarkan kesenjangan antara potensi dan realisasi energi terbarukan di Indonesia, terlebih setelah kembali ditegaskan adanya penurunan target oleh Kementerian ESDM pada Oktober 2024.
“Energi baru terbarukan itu 14 persen, padahal target kita pada tahun 2025 setahun dari sekarang itu sebetulnya adalah 23 persen. Jadi kita memang ketinggalan,” kata Rosan acara Leaders Forum ‘Menuju Indonesia Hijau: Inovasi Energi dan Sumber Daya Manusia,’ di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Selasa, 17 September 2024.
Salah satu sumber energi yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah panas bumi. Saat ini, kontribusi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hanya mencapai 3 persen dari total produksi listrik nasional. Padahal, Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia, yang sebagian besar tersimpan di Pulau Jawa.
“Potensi panas bumi kita mungkin nomor dua terbesar di dunia, terutama di Pulau Jawa. Namun, utilisasinya masih kurang dari 3 persen,” jelas Rosan.
Rosan menilai, tanpa adanya kebijakan yang mendukung, seperti pemberian insentif kepada pengusaha atau investor, potensi energi terbarukan di Indonesia akan sulit untuk berkembang. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang mampu mendorong peralihan ke energi hijau secara lebih cepat, efektif, dan efisien.
“Kita bisa beralih ke energi hijau dengan lebih cepat, lebih baik, lebih efektif dan lebih efisien,” kata Rosan.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar, mencapai 24.000 megawatt atau sekitar 40 persen dari total potensi panas bumi dunia. Namun, pengembangan energi ini terhambat, dengan hanya 11 persen atau 2.600 MW yang terpasang sejauh ini.
Jokowi mengungkapkan keheranannya mengapa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berjalan lambat, padahal investor tertarik pada energi hijau dan Energi Baru Terbarukan (EBT). “Saya sudah ke tiga lokasi PLTP, tapi pengembangan ini belum berjalan cepat,” kata Jokowi dalam acara IIGCE 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 18 September 2024.
Ternyata, proses perizinan yang panjang menjadi kendala utama. Menurut Jokowi, butuh waktu 5-6 tahun untuk membangun sebuah PLTP, dan itu pun belum tentu langsung beroperasi. Dia meminta Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, untuk mencari cara mempercepat proses perizinan ini, agar investor tertarik dan Indonesia bisa segera mendapatkan tambahan listrik hijau.
Dalam acara tersebut, Jokowi juga menyaksikan pengumuman hasil lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) serta penawaran Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi untuk tujuh Wilayah Panas Bumi. Selain itu, terdapat penandatanganan perjanjian pengembangan teknologi binary geothermal power plant dan peluncuran Commercial Operation Date (COD) untuk beberapa PLTP.(*)