KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengajak negara-negara ASEAN untuk lebih proaktif merespons kebijakan EU Deforestation-free Regulation (EUDR) atau UU Antideforestasi yang diterapkan Uni Eropa. Ajakan tersebut disampaikan dalam kunjungan kerjanya ke Laos, dalam pertemuan ke-24 Dewan Masyarakat Ekonomi ASEAN (24th Asean Economic Community Council–AECC Ministerial Meeting), Senin, 7 Oktober 2024.
Selama ini, Indonesia baru terlihat bergerak bersama Malaysia—produsen utama minyak sawit mentah (CPO)—dalam menyuarakan kritik atas kebijakan EUDR yang dianggap diskriminatif. Airlangga menegaskan pentingnya kerja sama seluruh anggota ASEAN untuk menghadapi tantangan ini.
"Saya mengajak semua negara anggota ASEAN untuk kompak dan proaktif merespons secara terukur kebijakan keberlanjutan dunia yang diskriminatif seperti EUDR, karena dampak negatifnya besar terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat," kata Airlangga.
EUDR, yang menjadi isu penting dalam agenda keberlanjutan, berpotensi mengganggu produksi manufaktur serta perdagangan produk berbasis kayu, tanaman, dan perkebunan. Indonesia terus berupaya membangun dukungan internasional untuk mengatasi dampak negatif tersebut.
Rencananya, pelaksanaan EUDR yang semula akan diberlakukan pada akhir Desember 2024 diundur hingga 2026. Indonesia keberatan karena kebijakan ini menggunakan data yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi faktual. Bersama Malaysia, Indonesia mengusulkan pembentukan gugus tugas bersama Uni Eropa untuk berbagi data geospasial sebagai dasar penerapan EUDR.
Selain Indonesia dan Malaysia, beberapa negara mitra internasional seperti Amerika Serikat dan Jerman juga menyatakan keberatan terhadap kebijakan ini. ASEAN pun telah menyiapkan lima prioritas keberlanjutan, seperti Implementasi Kerangka Ekonomi Sirkuler, Operasionalisasi Strategi Netralitas Karbon, dan Rencana Aksi untuk Pertanian Keberlanjutan.
Sebagai informasi, EUDR mewajibkan eksportir untuk memastikan bahwa produk seperti daging sapi, kedelai, dan karet tidak bersumber dari lahan yang mengalami deforestasi. Hal ini menyusul setelah sejumlah media asing melaporkan bahwa sejumlah produsen menilai kebijakan ini rumit dan mahal. Di negara seperti Brasil, sulit melacak asal usul ternak sapi, sementara di Indonesia dan Malaysia, alur distribusi minyak sawit yang rumit membuat sulit mengetahui sumber asli produk.
Langkah Indonesia dalam merespons kebijakan EUDR sejalan dengan upaya diplomasi yang lebih luas untuk menjaga kepentingan komoditas nasional, terutama di sektor kehutanan dan perkebunan. Setelah menggalang dukungan ASEAN, pemerintah sebelumnya menyatakan akan memfokuskan diplomasi berbasis data dengan menguraikan kondisi hutan Indonesia secara rinci, seperti yang dijelaskan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya.
Sebagai kelanjutan dari sikap Indonesia terhadap kebijakan Uni Eropa, pemerintah kini tengah menjalankan diplomasi dengan metode ilmiah untuk memperkuat posisi produk ekspor komoditas yang terancam oleh regulasi ini.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pihaknya memiliki database hutan yang terperinci melalui Simontana (Sistem Monitoring Hutan Nasional).
EUDR, yang disahkan oleh Parlemen Uni Eropa pada 31 Mei 2023, akan mencakup beberapa komoditas seperti ternak sapi, kakao, kopi, kelapa sawit, kedelai, dan kayu, serta produk turunannya seperti kulit, coklat, dan furnitur. Seperti keterangan di Jakarta, Jumat 5 April 2024.
Kemudian, komoditas-komoditas tersebut harus melewati uji tuntas (due diligence) untuk memastikan tidak berasal dari lahan yang mengalami degradasi hutan atau deforestasi. Persentase produk yang wajib melewati due diligence akan bervariasi berdasarkan penilaian risiko negara asal komoditas tersebut.
Uni Eropa telah mempublikasikan European Union Forest Observatory (EUFO) pada Desember 2023 sebagai acuan. Versi final dari peta EUFO tersebut akan dirilis pada Desember 2024.
Menurut Siti Nurbaya, penting untuk melakukan koreksi terhadap peta EUFO sebelum akhir tahun agar penilaian risiko negara Indonesia masuk dalam kategori ‘rendah’ dan bahan baku komoditas tidak diambil dari kawasan deforestasi dan degradasi lahan.
Pada Focus Group Discussion (FGD) mengenai Legalitas dan Kelestarian Sektoral pada Kawasan Hutan dalam Konteks Deforestation-Free Supply Chain, Menteri LHK menegaskan pentingnya menggunakan data dan fakta positif tentang hutan Indonesia untuk menghadapi isu deforestasi secara global.
Menteri Siti juga mengungkapkan bahwa Kementerian LHK telah berhasil mengoreksi data deforestasi yang dirilis oleh World Resources Institute (WRI), yang pada akhirnya mengakui prestasi Indonesia dalam mengurangi laju deforestasi.
Beberapa langkah korektif telah dilakukan, seperti penghentian izin di hutan primer dan lahan gambut, pencegahan kebakaran hutan secara permanen, serta berbagai instrumen FOLU Net Sink, penataan dan legalitas penggunaan kawasan hutan untuk kebun sawit, dan penegakan hukum.
Sementara itu, Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto, menjelaskan bahwa untuk komoditas kayu dan produk turunannya, Indonesia telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang setara dengan lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) dan diakui dalam EUDR.
Produk kayu yang sudah bersertifikat SVLK memenuhi syarat lisensi FLEGT dan ketentuan EUDR sesuai dengan yang diatur pada Pasal 10 butir 3.
SVLK juga telah diperbarui dengan informasi geolokasi, memungkinkan pelacakan kayu hingga ke titik penebangan. Informasi geolokasi disajikan dalam bentuk QR Code yang terdapat pada sertifikat SVLK yang menyertai produk kayu yang diperdagangkan.
Untuk memperkuat pelacakan, dilakukan integrasi sistem informasi pemanfaatan kayu mulai dari SIPASHUT, SIPUHH, SIRPBBPHH, hingga SILK.(*)