KABARBURSA.COM - Kecerdasan buatan (AI) terus menjadi topik hangat di dunia teknologi, terutama dengan hadirnya ChatGPT yang kini semakin populer sebagai sumber informasi. Namun, meski memberikan kemudahan dan kecepatan dalam menjawab berbagai pertanyaan, ada dampak lingkungan yang cukup signifikan yang dihasilkan dari penggunaan teknologi ini. Berdasarkan laporan dari The Economic Times, penggunaan ChatGPT selama setahun bisa menghabiskan energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik Selandia Baru selama empat bulan, atau Nigeria selama empat bulan. Jumlah ini mencapai sekitar 10 terawatt-jam (TWh) dalam satu tahun.
Jika dibandingkan, satu kali permintaan (query) kepada ChatGPT menghabiskan sekitar 2,9 watt-jam, hampir sepuluh kali lebih besar dibandingkan satu pencarian di Google yang hanya membutuhkan 0,3 watt-jam. Kebutuhan komputasi untuk AI seperti ChatGPT terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat. Laporan tersebut menunjukkan setiap 100 hari, kebutuhan energi untuk tugas-tugas AI meningkat antara 26 hingga 36 persen, sebuah angka yang menunjukkan pertumbuhan eksponensial.
Laporan itu juga memprediksi pada 2028, daya komputasi yang diperlukan untuk mendukung teknologi AI akan menyamai konsumsi energi Islandia pada 2021. Lebih lanjut, Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan pada 2026, konsumsi energi dari industri AI akan meningkat sepuluh kali lipat dari konsumsi saat ini. Hal ini menyoroti betapa besarnya dampak energi dari perkembangan teknologi AI yang semakin pesat.
Selain mengonsumsi energi yang besar, teknologi AI seperti ChatGPT juga menambah tekanan pada sumber daya air. Pusat data yang menjadi tulang punggung pengoperasian teknologi AI membutuhkan air dalam jumlah besar untuk menjaga suhu server agar tetap stabil melalui proses pendinginan. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Microsoft, salah satu perusahaan teknologi terbesar yang terlibat dalam pengembangan AI, mengalami peningkatan konsumsi energi sebesar 34 persen hanya dalam setahun. Selama periode yang sama, perusahaan ini mengonsumsi 6,4 juta meter kubik air, naik dari 4,7 juta meter kubik sebelumnya.
Hanya dengan menjalankan beberapa tugas AI yang sederhana, data center bisa menghabiskan setengah liter air. Dengan semakin kompleksnya model-model AI, penggunaan air diperkirakan akan terus meningkat. Pada 2027, permintaan global terhadap teknologi AI diperkirakan dapat menarik antara 4,2 hingga 6,6 miliar meter kubik air tawar—jumlah ini setara dengan hampir separuh konsumsi air di seluruh Inggris.
Berbagai pemimpin industri teknologi telah memberikan tanggapan atas tantangan lingkungan yang ditimbulkan oleh teknologi AI. Sam Altman, pendiri OpenAI, perusahaan pengembang ChatGPT, menekankan pentingnya terobosan energi dalam menghadapi peningkatan kebutuhan daya untuk AI. Dia mengusulkan pemanfaatan energi matahari dan fusi nuklir sebagai solusi potensial untuk mengatasi krisis energi yang dipicu oleh teknologi ini.
Sementara itu, Elon Musk juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap krisis energi yang bisa muncul akibat tingginya konsumsi daya teknologi AI. Menurutnya, dunia mungkin perlu mempertimbangkan jeda dalam pengembangan AI atau mengalihkan fokus ke sumber energi yang lebih berkelanjutan. “Kita perlu menemukan cara yang lebih ramah lingkungan untuk mendukung perkembangan AI atau kita akan menghadapi krisis energi yang serius,” ujar Musk, dikutip dari Times of India, Selasa, 1 Oktober 2024.
Meskipun tantangan energi yang dihadapi oleh teknologi AI sangat besar, beberapa perusahaan teknologi besar justru melihat AI sebagai bagian dari solusi untuk masalah lingkungan. Satya Nadella, CEO Microsoft, menyebutkan beberapa inisiatif AI untuk Kebaikan (AI for Good) yang diimplementasikan di Mesir dan Kenya. Program ini bertujuan untuk memanfaatkan kecerdasan buatan dalam membantu ketahanan lingkungan di negara-negara tersebut. Nadella percaya AI dapat digunakan untuk memecahkan masalah lingkungan global dengan cara yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Di tengah perkembangan pesat kecerdasan buatan, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana memastikan teknologi ini berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan lebih jauh. Kebutuhan energi dan air yang semakin besar dari pusat data dan perangkat AI yang semakin kompleks menjadi perhatian serius. Selain itu, laju peningkatan komputasi AI yang sangat cepat menambah tekanan pada sumber daya global.
Dengan pertumbuhan eksponensial ini, penting untuk menemukan solusi yang dapat meminimalkan dampak lingkungan dari perkembangan AI. Pengembangan sumber energi alternatif, seperti energi matahari dan fusi nuklir yang disarankan oleh Sam Altman, serta upaya untuk mengurangi konsumsi air oleh pusat data, menjadi sangat penting untuk keberlanjutan teknologi ini di masa depan.
Terlepas dari tantangan yang ada, AI telah terbukti memiliki potensi besar dalam memberikan manfaat positif, terutama dalam memecahkan masalah lingkungan dan sosial. Namun, tanpa pendekatan yang hati-hati dan berkelanjutan, perkembangan teknologi ini bisa mengarah pada krisis sumber daya yang lebih besar di masa mendatang.(*)