Pada tahun 2023, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis sebuah Laporan Sintesis atas situasi iklim global terkini.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa suhu rata-rata bumi telah meningkat sebesar 1,1 derajat Celsius dan bisa melewati batas kritis 1,5 derajat Celsius jika tidak ada langkah-langkah signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Dampak dari perubahan iklim ini sangat nyata dan semakin dirasakan oleh berbagai negara, terutama negara-negara yang masyarakatnya paling rentan terhadap bencana alam.
Dalam kondisi global yang semakin mendesak ini, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menegaskan bahwa dunia kini menghadapi apa yang disebut sebagai triple planetary crisis, yakni krisis iklim, krisis polusi, dan krisis kehilangan keanekaragaman hayati.
Menurut Dolly, aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan secara berkesinambungan dan paralel dengan upaya mengurangi polusi serta menjaga keanekaragaman hayati.
Salah satu langkah konkret yang sederhana namun berdampak besar adalah menanam dan merawat pohon. Dengan langkah ini, tiga krisis besar yang mengancam bumi dapat diatasi secara bersamaan dan efisien.
Dolly juga menambahkan bahwa Belantara Foundation, selaras dengan misi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (UNSDGs) yang mengusung prinsip "No one left behind," terus mendorong kolaborasi multipihak sebagai bagian dari upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Salah satu bentuk kolaborasi ini adalah melibatkan mitra dari sektor swasta Jepang untuk berkontribusi dalam pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Pemerintah Indonesia.
Fokus kontribusi ini adalah pengurangan emisi gas rumah kaca di wilayah Pulau Sumatra, sebuah langkah yang krusial dalam upaya besar-besaran untuk melawan perubahan iklim.
Takayuki Suto, Chief Executive Officer Vanfu, menyatakan bahwa sebagai individu, ia memiliki kepedulian mendalam terhadap masalah lingkungan.
Baginya, salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis iklim adalah dengan menanam pohon. Ia menilai bahwa partisipasinya dalam penanaman pohon bersama Belantara Foundation dan pemangku kepentingan lainnya merupakan pengalaman berharga yang telah memberikan kesan mendalam.
Oleh karena itu, Vanfu berkomitmen untuk terus mendukung gerakan penanaman pohon ini dalam jangka panjang, sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Tan Ui Sian, Representative Director APPJ, juga menyoroti dampak dari kolaborasi yang telah dilakukan bersama APP Group dan Belantara Foundation melalui program Forest Restoration Project: SDGs Together sejak 2020.
Ia menjelaskan bahwa sejak dimulainya program ini, kesadaran berbagai pemangku kepentingan di Jepang terhadap perubahan iklim telah meningkat secara signifikan.
Tan juga menegaskan komitmen APPJ untuk terus memperluas partisipasi pemangku kepentingan di Jepang dalam mendukung program ini, dengan fokus pada pencapaian target SDGs ke-12 tentang pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, SDGs ke-13 terkait tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim, SDGs ke-15 untuk melindungi, memulihkan, dan mendukung penggunaan ekosistem darat yang berkelanjutan, serta SDGs ke-17 yang berfokus pada revitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.
Menurut Tan, kerja sama dengan KPHP Minas Tahura telah mencapai tahap keempat dan telah memberikan nilai tambah yang signifikan bagi pengembangan lebih lanjut dari program ini.
Ia berharap, ke depannya, program ini akan menginspirasi keterlibatan lebih banyak pihak dari berbagai negara untuk turut mendukung proyek Forest Restoration Project: SDGs Together.
Dengan memperluas kolaborasi ini, Tan yakin bahwa lebih banyak kawasan hutan yang dapat direstorasi, sehingga lebih banyak kontribusi positif yang dapat diberikan dalam upaya global melawan perubahan iklim.
Sri Wilda Hasibuan, Kepala KPHP Minas Tahura, turut memberikan pandangannya tentang pentingnya kolaborasi dalam menjaga dan merestorasi hutan. Ia menjelaskan bahwa kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim merupakan kawasan konservasi yang memiliki luas lebih dari 6.000 hektar.
Namun, akibat aktivitas ilegal seperti perambahan lahan dan pembalakan liar, sebagian besar wilayah ini telah mengalami degradasi.
Sri menekankan bahwa upaya untuk melindungi dan memulihkan kawasan hutan ini tidak bisa dilakukan sendirian. Ia sangat mengapresiasi kolaborasi dengan Belantara Foundation dan mitra Jepang dalam program Forest Restoration Project: SDGs Together.
Program ini, katanya, bertujuan untuk memulihkan ekosistem hutan yang telah rusak sehingga dapat berfungsi kembali sebagai penyangga iklim dan sekaligus mendukung pencapaian target NDC Indonesia dalam pengurangan emisi karbon, khususnya di Provinsi Riau.
Agar diketahui, Belantara Foundation adalah organisasi nirlaba global yang berbasis di Indonesia. Organisasi ini fokus pada upaya melindungi lanskap di seluruh Indonesia melalui pembangunan proyek-proyek keberlanjutan yang terletak di kawasan-kawasan yang telah disisihkan untuk konservasi, perlindungan, dan pengembangan masyarakat secara berkelanjutan. (*)