Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Anggaran Perlindungan Lingkungan Hidup Turun di APBN 2025: Janji Hijau yang Terlupakan?

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 20 August 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Anggaran Perlindungan Lingkungan Hidup Turun di APBN 2025: Janji Hijau yang Terlupakan?

KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia menuai kritik tajam perihal penurunan anggaran untuk fungsi Perlindungan Lingkungan Hidup (PLH) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Meskipun belanja negara cenderung meningkat dari tahun ke tahun, alokasi anggaran untuk perlindungan lingkungan justru semakin menyusut. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, di tengah gencarnya janji transformasi ekonomi hijau yang dicanangkan.

Menurut data yang dirilis oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), anggaran untuk fungsi Perlindungan Lingkungan Hidup dalam APBN 2025 hanya mencapai 0,4 persen dari total belanja negara. Ini menurun drastis dibandingkan dengan 2020, di mana anggaran mencapai 0,7 persen. Peneliti FITRA, Gulfino, mengatakan penurunan ini menjadi sinyal pemerintah belum sepenuhnya menganggap isu lingkungan hidup sebagai prioritas, meskipun retorika tentang ekonomi hijau terus digemakan.

"Anggaran perlindungan lingkungan hidup seharusnya meningkat seiring dengan komitmen pemerintah terhadap ekonomi hijau. Namun yang terjadi justru sebaliknya, anggaran ini terus menurun," ujar Gulfino dalam rilis catatan kritis FITRA terhadap RAPBN 2025 yang diterima Kabar Bursa, Selasa, 20 Agustus 2024.

Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Kelestarian Lingkungan

Penurunan anggaran ini terjadi di tengah upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor-sektor yang justru mengandalkan eksploitasi sumber daya alam (SDA). Berdasarkan Nota Keuangan R-APBN 2025, ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor-sektor seperti pertambangan, penggalian, serta kehutanan. Sektor-sektor ini, meskipun menyumbang pada pertumbuhan ekonomi, juga menyisakan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan.

Gulfino menekankan pemerintah harus memikirkan kembali model pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. "Pertumbuhan ekonomi yang hanya bergantung pada eksploitasi SDA tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menciptakan bom waktu bagi generasi mendatang. Jika pendekatan ini terus dilanjutkan, biaya pemulihan lingkungan akan jauh lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diperoleh," tegasnya.

FITRA mengkritik meskipun pemerintah sering kali berbicara tentang pentingnya transformasi hijau, kebijakan fiskal yang ada masih menunjukkan ketergantungan pada sumber daya alam. Ini terlihat dari peta kapasitas fiskal daerah yang didominasi oleh daerah-daerah dengan ekonomi ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan skala besar. Dalam jangka panjang, pendekatan ini bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga menambah beban biaya bagi pemerintah untuk pemulihan kerusakan yang terjadi.

Masa Depan Lingkungan Hidup yang Terancam

Penurunan anggaran untuk fungsi Perlindungan Lingkungan Hidup juga berarti bahwa berbagai program yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam akan terdampak. Dalam Nota APBN 2025, disebutkan kebijakan untuk Fungsi Perlindungan Lingkungan Hidup akan difokuskan pada peningkatan kualitas lingkungan hidup, pengelolaan keanekaragaman hayati, pengolahan sampah, serta penurunan emisi gas rumah kaca. Namun, dengan anggaran yang semakin terbatas, pelaksanaan program-program tersebut menjadi dipertanyakan.

Salah satu program yang dikhawatirkan terhambat adalah upaya penurunan emisi gas rumah kaca, di mana Indonesia memiliki target Nationally Determined Contribution (NDC) yang ambisius. Hingga tahun 2022, Indonesia baru mencapai 10 persen dari target penurunan emisi pada tahun 2030. Dengan anggaran yang semakin minim, pencapaian target ini bisa semakin jauh dari kenyataan.

"Jika pemerintah benar-benar serius dalam mencapai target penurunan emisi, maka anggaran untuk perlindungan lingkungan harus ditingkatkan, bukan malah dikurangi," kata Gulfino.

Rekomendasi untuk Pemerintah

FITRA bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi kembali alokasi anggaran untuk fungsi Perlindungan Lingkungan Hidup. Mereka merekomendasikan agar pemerintah tidak hanya fokus pada peningkatan pendapatan dari sektor-sektor ekstraktif, tetapi juga mulai mengalihkan perhatian pada pendapatan yang berkelanjutan, seperti pajak karbon dan pajak lingkungan.

Selain itu, Gulfino juga menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran lingkungan hidup. Menurutnya, selama ini anggaran yang dialokasikan untuk sektor ini sering kali digunakan untuk hal-hal yang kurang berdampak langsung pada kelestarian lingkungan, seperti biaya honor rapat dan koordinasi. "Anggaran lingkungan hidup harus digunakan secara efektif dan tepat sasaran, bukan sekadar untuk kegiatan administratif yang tidak memberikan dampak nyata bagi lingkungan," kritiknya.

FITRA juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan belanja yang berdampak langsung pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peningkatan ini tidak hanya penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak meninggalkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

Menurut FITRA, penurunan anggaran untuk fungsi Perlindungan Lingkungan Hidup dalam APBN 2025 menjadi cerminan bahwa komitmen pemerintah terhadap ekonomi hijau masih sebatas retorika. Tanpa alokasi anggaran yang memadai, upaya menjaga kelestarian lingkungan akan semakin sulit direalisasikan. FITRA menegaskan perlunya perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi dan anggaran negara, agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak merugikan masa depan lingkungan hidup di Indonesia.(*)