KABARBURSA.COM - Dalam rangka mewujudkan net zero emission (NZE) di tahun 2060, pemerintah mulai merancang sejumlah rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Teranyar, pemerintah berencana pensiunkan PLTU Suralaya dengan tujuan menjaga kualitas udara di Jakarta.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam acara Hannover Messe 2023, sempat mengungkap target Indonesia bebas PLTU pada 2050. Adapun target tersebut ditetapkan demi menunjang NZE pada 2060.
Kendati begitu, rencana pensiun dini PLTU di seluruh Indonesia masih diragukan sejumlah pihak lantaran dana besar yang digelontorkan untuk pensiun dini satu PLTU. Jika mengacu pada skema awal pensiun dini PLTU Cirebon 1, dana yang dibutuhkan mencapai USD1,3 miliar atau setara Rp21 triliun.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, sendiri meragukan langkah tersebut. Pasalnya, jika mengacu pada data Dewan Energi Nasional (DEN) pada awal 2024, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia baru mencapai 13 persen dari target yang ditetapkan tahun ini sebesar 23 persen.
"Kalau melihat sampai saat ini, nampaknya sulit juga untuk bisa mencapai 100 persen pembangkit listrik energi terbarukan pada 2050," kata Fahmy kepada Kabar Bursa, Kamis, 15 Agustus 2024.
Sementara untuk melakukan pensiun dini PLTU, Fahmy memandang pemerintah tidak bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, biaya pensiun PLTU perlu melibatkan investor asing dan dana pinjaman internasional.
"Pendanaan itu tidak bisa dari APBN atau PLN tidak akan mampu membiayai pensiun dini tadi. Maka harus mencari, apakah pembiayaan dari Asian Development Bank (ADB) misalnya. Atau mengundang investor untuk membangun pembangkit yang menggunakan EBT, yang bisa menggantikan yang pensiun dini PLTU," jelasnya.
Di sisi lain, dalam menjalankan Rencana pensiun dini PLTU, pemerintah juga perlu memperhatikan nilai ekonomis, termasuk dengan rencana memensiunkan PLTU Suralaya. Pasalnya, langkah pensiun PLTU tidak bisa dilakukan seketika seandainya masih menyimpan nilai ekonomis yang tinggi.
"Kalau tidak ada yang membiayai, ya sangat sulit, karena PLTU itu di pensiunkan, kan harus ada gantinya, gantinya juga harus dalam energi baru yang terbarukan. Sehingga dengan begitu kan langsung ada penggantinya, kalau tidak, maka berpotensi akan menjadi defisit listrik," tutupnya.
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mulyanto menegaskan, mestinya pemerintah Indonesia tidak terpengaruh dengan komitmen internasional yang bersifat gimick. Adapun hal itu dia ungkap mengacu pada rencana pensiun dini PLTU sesuai dengan komitmen dunia sekaligus juga tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN).
"Saya kira, kita jangan mau didikte oleh dunia internasional dengan komitmen yang bersifat gimmick. Kita harus rasional-obyektif di atas nasional interest untuk mensejahterakan rakyat," kata Mulyanto kepada Kabar Bursa.
Mulyanto menegaskan, pemerintah mesti memegang target yang telah ditetapkannya secara realistis, yakni NZE pada 2060. Sementara saat ini, dia menyebut Komisi VII DPR RI bersama Dewan Energi Nasional tengah menggodok kebijakan energi nasional (KEN).
"Komisi VII DPR RI bersama DEN masih menggodok KEN yang salah satunya berisi target NZE tersebut. Ini belum putus," tegasnya.
Lebih jauh, Mulyanto menegaskan, target NZE 2060 tidak serta diartikan sebagai penutupan seluruh PLTU di Indonesia. Apalagi saat ini, kata dia, Indonesia memiliki program khusus terkait absorpsi karbon.
"NZE juga bukan berarti zero PLTU. Jadi netto antara emisi dan absorpsi karbon-nya zero. Karenanya kita punya target-target untuk program absorpsi karbon," tutupnya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengungkap, rencana pensiun dini PLTU menjadi urgensi yang perlu segera diterapkan pemerintah. Menurutnya, ada dua poin urgensi pensiun dini PLTU.
Pertama, kata Bondan, fakta bahwa PLTU menjadi salah satu sumber dari pencemaran udara. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebut, PLTU menyumbang 34 persen polusi udara, khususnya di DKI Jakarta.
Pada 2019, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara dan Koalisi Semesta (Ibukota) juga berhasil memenangkan gugatannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta karena melakukan pembiarkan atas perburukan kualitas udara di DKI Jakarta.
Bondan menilai, rencana penutupan PLTU Suralaya menjadi langkah yang sesuai dengan rencana aksi pemerintah terkait dengan pengendalian pencemaran udara. Begitu juga dengan gugatan yang dimenangkan di PN Jakarta Pusat.
"Jika memang ada rencana untuk menutup PLTU batubara di Suralaya, berarti sudah sesuai dengan rencana aksi pemerintah soal pengendalian pencemaran udara sesuai dengan perintah hakim dalam putusan gugatan polusi udara yang dimenangkan 3 kali (setelah banding dan kasasi) dan mengingat dampak dari PLTU," kata Bondan kepada Kabar Bursa.
Meski begitu, Bondan menekankan bahwa pengendalian polusi udara mesti tetap sasaran dan berdasar pada data akademik. Jika data menunjukkan penyebab polusi udara, kata dia, pemerintah perlu segera melakukan upaya pengendalian dan mempertimbangkan dampak kesehatan publik.
"Tentunya rencana penutupan PLTU ini sudah sejalan dengan rencanan dan janji pemerintah dalam upaya transisi energi. Tentunya harus diiringi dengan peningkatan porsi energi terbarukannya dan memberi ruang untuk itu lebih besar ketimbang solusi palsu," tegasnya.
Kendati begitu, kata Bondan, alih-alih mengurangi PLTU, pemerintah dinilai melakukan langkah yang kontra-poduktif. Pasalnya, penggunaan PLTU batubara masih diperbolehkan untuk industri, seperti smelter untuk nikel.
Berdasarkan data dari rencana PLTU industri, Bondan menyebut kapasitas energi dari batubara di industri mencapai 10.8 GW dan akan ada penambahan sekitar 14.4 GW. Hal itu kembali diperkuat melalui Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022.
Di sisi lain, Bondan juga mempertanyakan transparansi data PLN terkait emisi yang dihasilkan dari PLTU batubara. Bahkan, kata dia, Greenpeace sendiri sempat menerima penolakan kala menagih data tersebut.
"Bahkan Greenpeace pernah meminta melalui keterbukaan informasi publik, di jawab oleh PLN bahwa data emisi PLTU batubara adalah rahsia dagang," ungkapnya.
Lebih jauh, Bondan berharap rencana pensiun dini PLTU juga diiringi kebijakan yang menguatkan dengan data sebagai basis argumentasi pembentukan regulasi transisi energi.
"Menjadikan data sebagai basis argumen untuk pengambilan kebijakan khususnya mengenai transisi energi dan menjadikan dampak kesehatan dari penggunaan PLTU batubara sebagai pertimbangan agar Indonesia memiliki generasi emas seperti yang di harapkan nantinya," tutupnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.