KABARBURSA.COM - Laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa kemiskinan masih merajalela di sekitar kawasan industri nikel, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Maluku Utara.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Maluku Utara mencapai 6,46 persen pada Maret 2023. Angka ini meningkat 0,09 persedibandingkan September 2022, dan naik 0,23 persen dari Maret 2022. Daerah operasi pertambangan dan hilirisasi nikel juga mencatat angka kedalaman kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya.
"Basis produksi warga, termasuk lahan, pangan, dan air, telah diambil alih. Pencemaran lingkungan menurunkan produktivitas, yang berdampak pada daya beli warga," ujar Koordinator Jatam Melky Nahar dalam presentasi risetnya baru-baru ini.
Jatam merilis laporan bertajuk IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi, yang mengungkap bahwa indeks kedalaman kemiskinan di Halmahera Tengah mencapai 1,8 poin pada 2023, meningkat dari 1,36 poin pada 2022 menurut data BPS.
Jika dibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di Maluku Utara, indeks kedalaman kemiskinan Halmahera Tengah adalah yang tertinggi kedua setelah Halmahera Timur. Indeks kedalaman kemiskinan ini melampaui rata-rata nasional sebesar 1,53 poin, menandakan jurang kemiskinan yang signifikan di wilayah tersebut.
Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin besar indeksnya, semakin dalam jurang kemiskinan di daerah tersebut.
Laporan Jatam mencatat bahwa kemiskinan dan kedalaman kemiskinan di Maluku Utara terjadi meskipun wilayah ini memiliki 127 izin usaha tambang dengan luas konsesi 655.581,43 hektare (ha). Dari total izin tersebut, 62 di antaranya adalah izin tambang komoditas nikel dengan luas konsesi 239.737,35 ha.
Sebarannya di Halmahera Timur mencakup 24 izin, Halmahera Tengah 19 izin, 4 izin lintas administrasi Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, serta Halmahera Selatan 15 izin tambang. Luas konsesi dari seluruh izin tambang nikel di Halmahera Tengah mencapai 95.736,56 ha.
"Dari total luas daratan Halmahera Tengah seluas 227.683 ha, sebanyak 42 persen di antaranya dicaplok untuk pertambangan," sebut laporan tersebut.
Perusahaan nikel yang memiliki izin konsesi terluas antara lain PT Weda Bay Nickel dengan 45.065 ha yang tersebar hingga Halmahera Timur; PT Mega Haltim Mineral 13.510 ha; PT Cetara Bangun Persada 10.460 ha; PT Halmahera Sukses Mineral 7.726 ha; PT Wana Halmahera Barat Permai 3.986 ha; dan PT First Pacific Mining 2.080 ha.
Dalam situs resmi IWIP, tercatat bahwa nilai investasi yang direalisasikan adalah sebesar USD11 miliar, menyerap lebih dari 36.000 tenaga kerja, dan menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) sebesar Rp32 miliar pada 2019 - 2021.
Meski demikian, dua provinsi yang menjadi basis kegiatan penghiliran nikel, yaitu Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi pada 2023 menurut data BPS. Sulawesi Tengah, dengan luas 61.841 kilometer persegi dan populasi sekitar 3,14 juta jiwa, mencatat pertumbuhan ekonomi 11,91 persen, tertinggi di Pulau Sulawesi.
Sementara itu, Maluku Utara mencetak pertumbuhan ekonomi hingga 20,49 persen pada 2023. Provinsi ini, yang baru berdiri pada 1999 dan berpenduduk sekitar 1,31 juta jiwa, juga menjadi lokasi berbagai usaha tambang nikel. Di antaranya tambang milik PT Weda Bay Nickel yang dimiliki oleh Thingshan Group (51,2 persen), Eramet (37,8 persen), dan BUMN PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Selain itu, ada tambang nikel di Kawasi yang dikelola oleh PT Trimegah Bangun Persada, afiliasi Harita Group.
"Industri besar di kedua provinsi tersebut adalah industri olahan barang tambang, terutama feronikel. Program hilirisasi nikel memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di sana," kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyastuti, awal Februari.
Kemiskinan laten juga melanda wilayah sekitar pertambangan batu bara, seperti yang diakui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurut Kementerian ESDM, pertambangan tanpa izin (PETI) adalah salah satu penyebab anomali kemiskinan di wilayah dengan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia, Sumatra Selatan.
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis M. Idris F. Sihite menyatakan bahwa Sumatra Selatan memiliki cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia sebanyak 9,3 miliar ton. Dengan produksi batu bara pada 2023 mencapai 104,68 juta ton, provinsi ini menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp9,898 triliun, terdiri dari iuran tetap Rp66,4 miliar dan royalti Rp9,832 triliun.
Namun, tingkat kemiskinan di provinsi ini tetap tinggi. Data BPS mencatat persentase penduduk miskin di Sumatra Selatan pada Maret 2024 sebesar 10,97 persen, turun 0,81 persen poin dari Maret 2023.
Anomali ini, kata Idris, salah satunya disebabkan oleh PETI yang mengejar keuntungan sesaat tanpa memperhatikan kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab. Sumatra Selatan adalah provinsi dengan jumlah PETI terbanyak di Indonesia.
"Sumatra Selatan memiliki lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI adalah tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan sanksi pidana khusus (lex spesialis) di luar KUHP," ujar Idris. (*)