KABARBURSA.COM - Pengamat ekonomi yang juga Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap belanja modal (Capex) Pertamina yang besar. Ia menyoroti banyaknya masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan tersebut dalam situasi saat ini.
Salamuddin menjelaskan kondisi umum Pertamina dapat dilihat dari peringkat utangnya yang cenderung berisiko.
"Kondisi Pertamina secara umum tergambar dalam beberapa perkiraan utama dalam kasus peringkat utang perusahaan tersebut yang cenderung berisiko karena situasi ketidakpastian, dukungan politik, tata kelola yang lemah, terutama akuntabilitas keuangan di semua lini," ujar Salamuddin dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa, Senin, 15 Juli 2024.
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Pertamina adalah harga minyak yang makin rendah. Menurut dia, dengan harga Brent sebesar USD80/barel pada 2024 dan terus menurun hingga USD60/barel setelahnya, pendapatan hulu Pertamina akan merosot sementara sebagian besar Capex diarahkan ke hulu.
“Volume hulu akan meningkat sekitar 4 persen per tahun pada 2024-2027, menggabungkan belanja modal yang dihabiskan untuk pengembangan aset hulu. Coba lihat belanja modal pertamina 35 miliar dolar 2024-2027, mampukah mengembalikan dengan tambahan produksi setara itu?” katanya.
Selain itu, volume penjualan minyak bumi diperkirakan hanya akan meningkat sebesar 1-2 persen per tahun selama periode 2024-2027, yang berarti tidak ada transisi energi yang berarti. Dengan harga eceran bahan bakar yang tidak berubah, penerimaan hilir Pertamina tetap rendah.
"Harga eceran yang tidak berubah untuk sebagian besar bahan bakar eceran, mengingat harga minyak mentah yang tetap rendah. Dengan demikian penerimaan hilir atau penjualan BBM Pertamina tetap rendah," katanya.
Permasalahan lainnya adalah pembayaran penggantian subsidi yang tersisa sebesar USD6 miliar pada 2024 dan menurun secara bertahap menjadi USD5 miliar pada tahun 2026-2027. Salamudin mengatakan sekitar 85 persen dari kompensasi yang dibayarkan pada 4Q tahun sebelumnya dan 1Q-3Q tahun berjalan harus dibayarkan setiap tahun.
“Hal ini menghasilkan kompensasi sekitar USD8 miliar pada 2024 dan menurun secara bertahap hingga mendekati USD3 miliar pada tahun 2027," ujarnya.
Salamuddin juga menyoroti belanja modal Pertamina yang sangat besar pada beberapa tahun mendatang. Dia merinci belanja modal Pertamina sekitar USD8,5 miliar pada 2024, sementara pada 2025 naik menjadi USD10 miliar.
Belanja modal kemudian naik lagi sebesar USD11,7 miliar pada 2026 dan USD14 miliar pada 2027.
“Dalam tiga tahun setara dengan 450 juta barel minyak, setara dengan 2,5 tahun produksi minyak nasional atau setara lima tahun produksi minyak Pertamina sendiri atau setara 437 tahun setara tambahan produksi minyak Pertamina," jelasnya.
Dengan besarnya belanja modal tersebut, Salamudin mewanti-wanti Pertamina agar berhati-hati karena banyak faktor risiko di masa mendatang yang menuntut pengelolaan Capex secara benar. Beberapa di antaranya adalah ketergantungan pada dukungan APBN, risiko penurunan peringkat utang, dan potensi melemahnya dukungan negara terhadap Pertamina.
Jika Pertamina mengalami gagal bayar utang, kata Salamudin, risiko bagi negara akan sangat besar. Salamuddin mengingatkan nilai aset migas bisa merosot karena masalah perubahan iklim dan menjadi beban besar di kemudian hari. "Aset besar kemungkinan menjadi masalah karena bertentangan dengan tema zaman yakni transisi energi," pungkasnya.
Meski memiliki utang dan Capex yang besar, produksi minyak Pertamina pada 2023 mengalami peningkatan sebesar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi minyak Pertamina naik dari 514.000 Barel per Hari (BOPD) pada tahun 2022 menjadi 566.000 BOPD pada tahun 2023.
Wakil Direktur Utama PT Pertamina, Wiko Migantoro, mengungkapkan produksi minyak Pertamina pada tahun 2023 didukung oleh produksi domestik sebesar 415 MBOPD dan 151 MBOPD dari internasional. Produksi minyak domestik mengalami fluktuasi, dari 417 MBOPD menjadi 415 MBOPD, namun untuk blok di mana Pertamina berperan sebagai operator, terjadi peningkatan dari 337 MBOPD menjadi 339 MBOPD. Pertamina berhasil mengelola penurunan laju produksi minyak dari 19 persen menjadi 2 persen melalui program kerja yang produktif.
“Produksi gas domestik mengalami peningkatan 3 persen dari 2.241 MMSCFD pada tahun 2022 menjadi 2.388 MMSCFD pada tahun 2023,” ujar Wiko dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Kamis, 6 Juni 2024.
Sepanjang 2023, lanjut Wiko, Pertamina melakukan pemboran sumur secara masif sebanyak 799 sumur, meningkat 16 persen dibandingkan tahun 2022. Selain itu, Pertamina juga melakukan kerja ulang sebanyak 835 pekerjaan atau naik 31 persen dibandingkan tahun 2022 dan perawatan sumur sebanyak 32.589 pekerjaan atau 11 persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
“Saat ini Pertamina berkontribusi sebesar 69 persen lifting nasional untuk minyak dan gas sebesar 34 persen nasional,” ungkap Wiko.
Wiko juga menambahkan, aktivitas hulu migas Pertamina memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara baik secara nasional maupun daerah. Hulu migas Pertamina menyumbang sebesar USD 3 miliar dari pajak dan USD 4,2 miliar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan Pertamina mengalokasikan investasi besar di sektor hulu migas untuk menjaga laju penurunan produksi dan sekaligus meningkatkan produksi migas.
"Capex Pertamina sekitar 60 persen difokuskan di hulu migas untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional,” jelas Fadjar.
Pertamina, sebagai perusahaan yang memimpin dalam transisi energi, berkomitmen mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.(pin/nil)