Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Laba PTBA 1Q25 Anjlok, Ambisi EBT Masih Jauh

Laba bersih PT Bukit Asam kuartal 1 2025 amblas 79 persen, sementara proyek energi baru terbarukan (EBT) yang digadang-gadang belum juga menyumbang pendapatan signifikan.

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 05 May 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Laba PTBA 1Q25 Anjlok, Ambisi EBT Masih Jauh Laba PTBA anjlok 79 persen di kuartal 1 2025, ambisi bisnis EBT belum menopang pendapatan, investor diminta waspada. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - Laba bersih PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di kuartal 1 2025 amblas tajam, bikin para pelaku pasar geleng-geleng kepala. Bayangkan saja, angkanya cuma Rp391 miliar alias anjlok 79 persen dibanding kuartal IV 2024 dan longsor 51 persen dibanding tahun lalu.

Jelas saja pasar kecewa karena angka ini jauh di bawah ekspektasi analis. Padahal, belakangan PTBA getol menebar narasi hijau. Deretan proyek energi baru terbarukan (EBT) digadang-gadang jadi wajah baru perusahaan. Tapi, sudahkah ambisi EBT ini cukup kuat menopang kinerja finansialnya?

Kalau mau dicari biang keroknya, penurunan laba PTBA di kuartal 1 2025 bukan sekadar soal harga batu bara yang melemah. Pendapatan perusahaan tercatat turun ke Rp9,9 triliun atau merosot 18 persen dibanding kuartal sebelumnya, didorong kombinasi penurunan volume produksi yang juga turun 18 persen, serta penjualan turun sebesar 17 persen. Harga jual rata-rata (average selling price/ASP) pun ikut melorot 6,7 persen.

Musim hujan disebut-sebut jadi biang utama lemahnya produksi, sebab aktivitas pertambangan dan distribusi jelas ikut tersendat.

Di sisi lain, margin laba kotor PTBA juga ikut terkikis karena beban pokok pendapatan hanya turun 6,3 persen—jauh lebih landai dibanding anjloknya pendapatan. Hal ini terjadi karena biaya kontraktor dan transportasi yang cenderung “lengket” alias sulit langsung dipangkas cepat.

Memang, ada sedikit kabar baik, yakni beban transportasi turun 7,2 persen berkat inisiatif baru PTBA yang mulai membeli bahan bakar langsung ke Pertamina untuk pengangkutan menggunakan kereta sehingga hanya perlu membayar biaya angkut ke KAI. Namun sayangnya, penghematan ini belum cukup untuk menahan gempuran penurunan pendapatan secara keseluruhan.

Bisnis EBT, Antara Narasi dan Realita


Kalau bicara soal ambisi hijau, PTBA memang sudah lama bersolek. Mereka rajin memajang portofolio EBT sebagai wajah masa depan. Ada PLTS di Bandara Soekarno-Hatta dengan kapasitas 241 kWp, hasil kerja sama dengan Angkasa Pura II yang sudah beroperasi penuh sejak Oktober 2020.

Ada juga PLTS di Jalan Tol Bali Mandara, kapasitas 400 kWp, yang sudah menyuplai listrik untuk operasional jalan tol Jasa Marga sejak 2022. Tak ketinggalan, PTBA juga membangun lima PLTS irigasi di berbagai daerah, mulai dari dari Lampung, Muara Enim, Lahat, hingga Sumatera Barat untuk membantu para petani meningkatkan produktivitas sawah.

Di atas kertas, daftar proyek ini memang panjang dan makin berkembang. PTBA kini menjalin kerja sama strategis dengan Jasa Marga untuk memperluas PLTS di ruas tol lain, menggandeng PT Timah untuk PLTS di area kapal keruk, bahkan mengincar pengembangan PLTS bersama Semen Indonesia Group (SIG). Salah satu yang paling ambisius adalah rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau PLTB berkapasitas 1,3 GW di Laut China Selatan bersama Huadian–salah satu dari lima perusahaan pembangkit listrik terbesar milik China.

Tapi, inilah realitas pahitnya, semua ambisi ini, meskipun gencar diberitakan, belum berkontribusi signifikan ke laporan laba rugi. Di laporan kuartal 1 2025, tidak ada satu pun pos pendapatan yang secara khusus muncul dari sektor EBT. Artinya, proyek-proyek ini masih lebih banyak berfungsi sebagai inisiatif jangka panjang atau penghematan biaya internal, bukan sumber pemasukan nyata yang menopang kinerja finansial.

Laba dan ambisi EBT PTBA. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa, naskah dan kurasi oleh Alpin Pulungan.

Dari kacamata analis pasar, realita bisnis PTBA saat ini masih berat sebelah karena pendapatan utamanya tetap datang dari batu bara. Berdasarkan catatan Mirae Asset Sekuritas, kontribusi sektor energi terbarukan di PTBA memang diakui masih sangat minim. Meski perusahaan terus menggaungkan proyek-proyek hijau, sejauh ini efeknya baru terasa di citra dan agenda keberlanjutan alias belum menyentuh angka pendapatan secara nyata. Ini berarti, walau geliat transisi energi makin ramai digaungkan di ruang publik, bagi pasar modal, yang dihitung tetaplah angka konkret.

Tak heran jika pada tahun lalu, usai membaca laporan keuangan kuartal I 2024, Mirae Asset Sekuritas sempat memasang rekomendasi sell untuk saham PTBA dengan target harga Rp2.500 per lembar. Kala itu, valuasi price-to-earnings (P/E) mereka dipatok sekitar 6,4 kali untuk 2024 dan turun ke 6 kali pada 2025. Rekomendasi ini mencerminkan ekspektasi pasar bahwa prospek EBT saja belum cukup kuat untuk mengangkat valuasi saham kalau bisnis inti batu bara melemah.

Ini mencerminkan ekspektasi pasar bahwa prospek EBT saja belum cukup kuat untuk mengangkat valuasi saham kalau bisnis inti batu bara melemah.

Di sisi lain, faktor-faktor makro juga ikut bermain. Harga batu bara global masih fluktuatif, sementara peralihan cuaca dari El Nino ke La Nina diperkirakan memengaruhi permintaan energi di Asia Tenggara.

Belum lagi, potensi gelombang panas di India dan China diperkirakan bakal bikin demand melonjak tajam. Tapi tetap saja, semua ini berbasis batu bara. Investor harus ekstra waspada, meskipun roadmap hijau PTBA menjanjikan, kenyataannya valuasi saham mereka saat ini tetap sangat bergantung pada kekuatan komoditas lama itu.

Pada akhirnya, PTBA memang sudah menancapkan kaki di panggung transisi energi, tapi panggung itu baru sebatas kerangka. Konstruksi besar-besaran baru saja akan dimulai. Sementara itu, batu bara tetap jadi tulang punggung yang menopang laporan laba rugi perusahaan.

Tantangannya PTBA adalah bagaimana menjaga performa keuangan di tengah fluktuasi komoditas lama, sambil pelan-pelan membuktikan bahwa ambisi hijau mereka bukan cuma narasi cantik di media, tapi benar-benar bisa berubah jadi rupiah nyata yang masuk ke kantong perseroan. Investor pun kini hanya bisa memantau, apakah janji itu akan benar-benar terpenuhi.(*)