Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wakil Ketua MPR Soroti Ketergantungan Energi Impor

komitmen dekarbonisasi nasional maksimal tahun 2060.

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 23 April 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Pramirvan Datu
Wakil Ketua MPR Soroti Ketergantungan Energi Impor Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau MPR RI, Moh Eddy Dwiyanto Soeparno di Bursa Efek Indonesia. Foto: Desty/KabarBursa.com

KABARBURSA.COM – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau MPR RI, Moh Eddy Dwiyanto Soeparno, memaparkan sejumlah data bagaimana komitmen Indonesia mendukung dekarbonisasi namun masih ketergantungan dengan energi impor.

Ia menyebut pentingnya transformasi energi sebagai pondasi utama untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar delapan persen per tahun, sekaligus memenuhi komitmen dekarbonisasi nasional maksimal tahun 2060. 

Eddy menyampaikan bahwa Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya energi yang luar biasa besar, baik dari sektor energi terbarukan maupun energi fosil. Potensi energi terbarukan nasional mencapai 3.600 gigawatt, dan sekitar 3.300 gigawatt di antaranya bersumber dari tenaga surya.

 “Angka ini menunjukkan betapa besar kapasitas energi bersih yang bisa kita hasilkan,” ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta dalam acara CarboNex 2025 pada Selasa, 22 April 2025.

Namun, di tengah potensi tersebut, Eddy menyoroti ironi besar yang tengah dihadapi Indonesia, yakni ketergantungan tinggi terhadap energi impor. Indonesia masih mengimpor sekitar satu juta barel minyak mentah per hari, termasuk 75 persen kebutuhan LPG nasional. Selain itu, produk turunan seperti diesel, kerosin, dan minyak tanah juga masih didatangkan dari luar negeri. Menurut Eddy, ketergantungan impor ini sangat berisiko terhadap keberlanjutan energi nasional, terutama jika Indonesia ingin mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. “Energi adalah penggerak utama ekonomi, dan kita harus mandiri dalam memenuhinya,” ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan energi domestik yang terus meningkat, pemerintah telah merancang Kebijakan Energi Nasional yang diturunkan ke dalam Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Dalam periode ini, Indonesia menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 71 gigawatt. Di antara rencana tersebut, teknologi baru seperti Battery Energy Storage System (BESS) akan berperan penting untuk menopang pembangkit berbasis energi surya. “Karena sifatnya yang tidak stabil, solar power harus didukung baterai,” tutur Eddy.

Selain menyoroti transisi energi, Eddy juga menekankan pentingnya pengembangan ekosistem ekonomi karbon yang berkelanjutan. 

Menurutnya, Indonesia memiliki kekuatan besar dari sisi solusi berbasis alam maupun rekayasa teknologi. Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, memiliki lahan gambut dan mangrove yang luas, serta potensi besar dalam teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini, meskipun masih tergolong baru, dinilainya sangat penting sebagai lisensi investasi bagi pelaku industri hidrokarbon maupun energi terbarukan. 

Ia juga menekankan bahwa ekonomi karbon berpotensi menjadi sumber pendapatan negara yang besar di luar pajak, royalti, dan penerimaan negara bukan pajak lainnya. “Kita harus manfaatkan potensi ini, bukan hanya untuk emisi, tapi juga sebagai instrumen ekonomi baru,” tegasnya. 

Eddy menyatakan dukungan penuh terhadap pengembangan ekosistem perdagangan karbon di dalam negeri, yang diyakini akan membawa manfaat besar bagi industri nasional sekaligus mendorong posisi Indonesia sebagai pemain penting dalam perekonomian rendah karbon global.

Ia mengajak semua pihak untuk bersinergi dalam memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional. 

Pedoman Prinsip Hijau

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus fokus dalam meningkatkan nilai tambah manufaktur di Indonesia, salah satunya ditempuh dengan berpedoman pada prinsip-prinsip industri hijau yang berkelanjutan untuk menciptakan masa depan tanpa karbon.

Kemenperin menargetkan industri manufaktur di Indonesia dapat mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050, sepuluh tahun lebih awal dari target nasional tahun 2060.

Apabila dibandingkan dengan negara peers di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-12 Leading Manufacturing Countries di dunia pada tahun 2023, di atas Rusia dan Turki. Selain itu, nilai Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia pada tahun 2023 mencapai USD255 miliar, meningkat USD14 miliar (5,83 persen) dari nilai MVA Indonesia pada tahun 2022.

Selama lima tahun terakhir (2019-2023), Nilai MVA Indonesia terus menunjukkan peningkatan dengan tren sebesar 4,47 persen. Tren MVA Indonesia ini berhasil mengungguli Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea, Prancis, dan Inggris.

“Upaya penerapan prinsip-prinsip industri hijau di Indonesia terlihat perkembangannya dari data The Green Future Index 2023. Indonesia berada di peringkat ke-49 dunia sebagai negara yang bertransisi menuju energi, industri, pertanian, dan masyarakat yang ramah lingkungan melalui investasi pada energi terbarukan, inovasi, dan kebijakan ramah lingkungan. Peringkat Indonesia ini naik 21 peringkat dari posisi 70 di tahun 2022,” jelas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat membuka Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS), di Jakarta, Kamis, 19 September 2024.

Upaya dekarbonisasi sektor industri tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak, khususnya dari para pelaku industri. Kemenperin memberikan apresiasi kepada sembilan asosiasi industri atas deklarasi dukungan mereka dalam mencapai target NZE pada tahun 2050.(*)