Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Raksasa Energi China Kuasai Pembangkit Bersih Malaysia

CGN bangun pembangkit gas & surya di Malaysia. Investor RI berisiko tertinggal dalam kompetisi energi bersih Asia Tenggara.

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 17 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Raksasa Energi China Kuasai Pembangkit Bersih Malaysia Seorang pekerja melakukan pemeriksaan rutin pada panel surya di pembangkit listrik tenaga fotovoltaik yang berlokasi di Kedah, Malaysia, pada 6 Juni 2024. Pembangkit ini dioperasikan oleh CGN Energy International Holdings Co., mencakup area seluas 105,2 hektare dan mulai beroperasi sejak 2019. Foto: Xinhua.

KABARBURSA.COM – Transisi energi bersih Malaysia makin ngebut berkat keterlibatan aktif perusahaan-perusahaan energi asal China. Salah satu yang paling dominan adalah China General Nuclear Power Corp (CGN) yang kini menjelma sebagai produsen listrik independen terbesar kedua di Malaysia dengan kapasitas mencapai 5,08 gigawatt dari proyek-proyek gas dan tenaga surya.

CGN, yang juga dikenal sebagai operator tenaga nuklir terbesar di China berdasarkan kapasitas terpasang, dalam beberapa tahun terakhir makin agresif mengekspor teknologi energi dan kapasitas produksinya ke luar negeri — termasuk ke Asia Tenggara dan Amerika Latin.

Menurut Presiden CGN Energy International Holdings, Zhang Chaoqun, CGN telah membangun rantai industri energi bersih yang terintegrasi. Melalui operasional internasionalnya, mereka berhasil membawa pasokan turbin angin dan peralatan panel surya buatan China ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Laos, dan Brasil, dengan total kapasitas gabungan sekitar 1,6 GW.

Salah satu proyek unggulan CGN di Malaysia adalah Pembangkit Listrik Edra Melaka Power Plant (EMPP), sebuah pembangkit tenaga gas berkapasitas 2,24 GW yang kini menjadi fasilitas gas terbesar di negara tersebut. Mengandalkan teknologi turbine gas siklus gabungan rendah karbon, EMPP mampu menyuplai sekitar 11 persen dari total kebutuhan listrik di Semenanjung Malaysia.

Selama 2024 lalu, pembangkit ini menghasilkan 13,17 miliar kWh listrik — angka yang dianggap sebagai standar efisiensi baru untuk kawasan Asia Tenggara. CGN mengklaim bahwa teknologi yang mereka gunakan memungkinkan efisiensi konversi energi listrik mencapai lebih dari 60 persen, menjadikannya salah satu yang paling canggih secara global.

Strategi Bersih, Efisien, dan Diplomatis

Pemerintah Malaysia menyebut pembangkit EMPP turut memperkuat target nasional untuk mencapai 31 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Sementara itu, analis energi menyebut kolaborasi ini sebagai skenario menang-menang: Malaysia mendapat akses ke teknologi listrik yang efisien dan rendah emisi, sementara Tiongkok berhasil menunjukkan daya saing global sektor energinya.

Kepala China Institute for Studies in Energy Policy di Universitas Xiamen, Lin Boqiang, menyebut keberhasilan operasional CGN di Malaysia bukan hanya menjamin pasokan listrik yang stabil, tapi juga mengangkat reputasi China sebagai eksportir teknologi hijau berkelas dunia.

“Investasi seperti ini akan jadi penentu penting masa depan energi di negara-negara pengimpor teknologi,” ujar Lin, dikutip dari China Daily di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.

Sepanjang 2024, CGN tercatat meningkatkan belanja inovasinya secara signifikan. Mereka menggelontorkan sekitar 5,95 miliar yuan (USD810 juta) untuk riset dan pengembangan, serta menambah kapasitas domestik sebesar 11,53 juta kW dalam portofolio energi bersihnya.

Sejauh ini, pasokan listrik kumulatif CGN untuk Malaysia sudah melampaui 200 miliar kilowatt-jam — angka yang menegaskan bahwa dominasi teknologi energi China di Asia Tenggara bukan lagi sekadar potensi, tapi sudah jadi kenyataan.

Investor Indonesia Jangan Sampai Tertinggal

Kesuksesan CGN di Malaysia seharusnya jadi pengingat bagi Indonesia, bahwa dalam transisi energi global, kecepatan dan kejelasan arah kebijakan adalah segalanya. Di saat tetangga satu kawasan berhasil mengamankan aliran teknologi bersih mutakhir dan memperkuat posisinya dalam rantai pasok energi regional, Indonesia justru masih berkutat pada dominasi batu bara dan narasi hilirisasi berbasis komoditas mentah.

Bagi investor, kondisi ini bisa menciptakan apa yang dalam analisis kebijakan disebut sebagai missed opportunity effect — sebuah situasi ketika peluang strategis untuk tumbuh atau naik kelas dalam rantai nilai justru tidak dimanfaatkan dengan maksimal.

Malaysia mendapatkan transfer teknologi turbin gas efisien, investasi pembangkit rendah emisi, serta integrasi rantai pasok panel surya dan turbin angin dari Tiongkok. Sementara itu, Indonesia masih menghadapi tarik-ulur soal arah kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT), serta masih mengandalkan ekspansi PLTU captive untuk menopang kebutuhan industri.

Bagi pelaku pasar, ini berarti satu hal, yakni proyek-proyek EBT di Indonesia tampak kurang kompetitif secara regional. Emiten-emiten yang bergerak di sektor energi terbarukan — terutama yang berpotensi IPO — bisa dinilai belum cukup bankable, baik dari sisi dukungan teknologi maupun ekosistem regulasi.

Kalau merujuk pada Comparative Advantage Theory yang dikembangkan David Ricardo, negara akan berkembang lebih cepat jika berfokus pada sektor di mana ia memiliki keunggulan komparatif. Masalahnya, keunggulan komparatif Indonesia selama ini masih terpaku pada sumber daya mentah — nikel, batu bara, dan mineral lainnya — tapi belum berhasil dikembangkan ke arah keunggulan teknologi atau kapasitas produksi energi bersih.

Malaysia kini terlihat unggul di sektor energi terbarukan dan teknologi rendah emisi. Mereka tidak hanya menyerap investasi dari luar, tapi juga membangun sistem pembangkit yang efisien dan berorientasi masa depan. Sementara Indonesia masih sibuk memastikan pasokan bahan baku hilirisasi tanpa mempercepat pengembangan teknologi hilir yang menopang daya saing global.

Bagi investor, ini punya konsekuensi strategis. Modal akan cenderung mengalir ke negara yang mampu “naik kelas”, yakni dari sekadar pemasok bahan baku menjadi penyedia teknologi, efisiensi, dan standar baru di sektor energi. Tanpa akselerasi, Indonesia bisa kehilangan daya tarik portofolio di sektor energi bersih, bahkan untuk investor domestik sekalipun.

Bukan berarti Indonesia tidak punya potensi. Potensi EBT kita mencapai 432 GW menurut data ESDM, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 7 GW. Regulasi dan kebijakan fiskal masih sering berubah arah dan transfer teknologi dari mitra strategis belum optimal. Dalam konteks inilah, capaian Malaysia melalui kerja sama dengan CGN terlihat lebih konkret—tidak sekadar janji, tapi sudah berbentuk kapasitas terpasang, produksi listrik aktual, dan efisiensi yang terukur.

Jika Indonesia ingin tetap relevan dalam lanskap energi Asia, maka perlu ada konsolidasi serius antara roadmap transisi energi, pembukaan ruang kerja sama teknologi, dan reformasi iklim investasi di sektor energi bersih. Tanpa itu, narasi “hilirisasi” berisiko menjadi slogan yang tidak sinkron dengan arah kapital global.(*)