KABARBURSA.COM - Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyoroti lambannya implementasi kebijakan transisi energi di Indonesia. Menurutnya, meskipun Indonesia telah mengusung tema transisi energi dalam berbagai forum internasional—seperti G20 di Bali—regulasi yang mendukung energi terbarukan justru belum diselesaikan tepat waktu.
"Kami di Komisi VII sejak November 2022 sudah berupaya merancang Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Namun, pemerintah sangat lamban dalam menginventarisasi masalah. Padahal, seharusnya sebelum G20 di Bali dengan tema transisi energi, kita sudah punya regulasi yang jelas," kata Sugeng dalam acara diskusi KabarBursa Economic Insight 2025 (KEI 2025) dengan tema besar Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2025.
Menurutnya, keberadaan undang-undang ini penting untuk memberikan kepastian hukum dan investasi bagi masuknya energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
Sugeng mengungkapkan Indonesia menghadapi dua tantangan utama dalam sektor energi, yakni kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi kuantitas, kebutuhan listrik nasional terus meningkat, sementara dari segi kualitas, Indonesia harus beralih ke sumber energi yang lebih bersih sesuai dengan komitmen dalam Paris Agreement 2015.
"Kita sudah menandatangani Paris Agreement dan mengadopsinya dalam Undang-Undang 2016. Indonesia memiliki kewajiban menekan emisi karbon melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, hingga kini kebijakan energi masih berat ke penggunaan energi fosil," jelas politikus Partai NasDem ini.
Ia juga mengingatkan Indonesia dihadapkan pada situasi dilematis akibat proyek 35.000 megawatt yang sebagian besar masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Saat ini, 67 persen kapasitas listrik Indonesia berasal dari PLTU, khususnya di Pulau Jawa yang mencapai 74,2 persen.
"Kita sudah terlalu bergantung pada PLTU. Padahal, energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas tidak bisa bertahan selamanya. Kita harus berani masuk ke energi baru terbarukan," ujarnya.
Sulawesi Jadi Contoh Pengembangan Energi Terbarukan
"Sulawesi Selatan sudah membuktikan bahwa bauran energi bersih bisa dilakukan. Ini yang harus kita dorong agar bisa diterapkan di wilayah lain," katanya.
Sugeng mengatakan Indonesia tidak punya pilihan lain selain segera beralih ke energi terbarukan. Sebab, jika terus bergantung pada energi fosil, negara akan menghadapi berbagai risiko, seperti ketidakstabilan pasokan dan tekanan global perihal emisi karbon.
"Transisi energi bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Kita harus mempercepat kebijakan yang mendorong energi terbarukan agar tidak tertinggal dari negara lain," kata Sugeng.
Panel Diskusi I: Embracing Sustainable Mining Practices
Secara garis besar, diskusi ini menyoroti bagaimana industri pertambangan dapat bertransisi menuju keberlanjutan melalui penerapan energi terbarukan, efisiensi produksi, dan upaya pengurangan limbah. Selain itu, tantangan kebijakan dan insentif pemerintah dalam mendukung investasi hijau di sektor ini turut menjadi fokus pembahasan.
Tentang KEI 2025
KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025 merupakan forum diskusi tahunan yang mempertemukan pemangku kepentingan di sektor energi, keuangan, dan industri dalam membahas tantangan serta peluang menuju ekonomi hijau. Tahun ini, KEI mengusung tema besar Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions, yang bertujuan untuk menggali solusi konkret dalam mewujudkan transformasi keberlanjutan energi di Indonesia.
Acara ini mengundang sejumlah tokoh penting, seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Selain itu, berbagai akademisi, pelaku industri, dan analis pasar modal, dan perwakilan dari sektor keuangan juga turut berpartisipasi dalam forum ini.
Dalam agenda KEI 2025, terdapat tiga panel diskusi utama yang membahas sektor pertambangan, kendaraan ramah lingkungan, dan strategi keuangan hijau. Setiap sesi diharapkan dapat menghasilkan wawasan baru serta rekomendasi kebijakan yang dapat membantu mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon di Indonesia.(*)