Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Bali Darurat Sampah, Solusi Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 11 February 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Bali Darurat Sampah, Solusi Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir Aktivis Greenpeace membentangkan spanduk bertuliskan “POLLUTED BY SINGLE-USE PLASTIC” di tengah timbunan sampah plastik sekali pakai yang mencemari pesisir Bali. Foto: Daniel Muller/Greenpeace.

KABARBURSA.COM– Masalah pengelolaan sampah di Bali makin mendesak untuk segera ditangani. Jika dibiarkan, dampaknya tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi yang berujung pada penurunan kualitas hidup masyarakat setempat.

Hal ini menjadi perhatian utama dalam diskusi “Bali Bicara Darurat Sampah” yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Koalisi Bali Emisi Nol Bersih dan Pemerintah Provinsi Bali pada Senin, 10 Februari 2025. Dalam jangka pendek, salah satu yang menjadi sorotan adalah solusi mengatasi penuhnya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung agar tidak semakin membebani masyarakat.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), total timbulan sampah di Bali sepanjang 2024 mencapai 1,2 juta ton. Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan sekitar 360 ribu ton, di mana 68,32 persen di antaranya merupakan sampah organik dari sisa makanan dan ranting kayu.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan sejak 2000 hingga 2024, jumlah sampah di Bali meningkat hingga 30 persen. Penyebabnya beragam, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah hingga bertambahnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali.

Selain itu, meskipun ada berbagai peraturan daerah mengenai pemilahan sampah, implementasi dan penegakan hukumnya masih lemah. Ditambah lagi, penggunaan plastik sekali pakai masih menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.

“Kenaikan timbulan sampah tidak diimbangi dengan kapasitas pengelolaan dan ketersediaan infrastruktur yang memadai. Akibatnya, fasilitas pengelolaan sampah yang ada tidak lagi mampu menampung volume yang terus meningkat,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis IESR yang diterima KabarBursa.com di Jakarta, Selasa, 11 Februari 2025.

 Direktur IESR Fabby Tumiwa (tengah) saat jadi pembicara dalam diskusi “Bali Bicara Aksi Sampah” yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Denpasar, 10 Februari 2025. Foto: Dok. IESR.[/caption]

Untuk mengatasi krisis ini, Fabby menekankan pentingnya pendekatan ekonomi sirkular. Artinya, solusi yang diterapkan harus mencakup berbagai aspek, seperti penegakan hukum, pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah, pemberian insentif bagi industri yang berkontribusi dalam pengurangan sampah, serta pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sampah dari rumah.

“Tidak ada satu solusi tunggal untuk masalah ini. Semua pihak harus terlibat, mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga industri. Kita juga perlu membangun pola pikir ekonomi sirkular, di mana sampah tidak hanya dianggap sebagai limbah, tetapi juga sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan kembali,” katanya.

Fabby menambahkan, investasi dalam teknologi pengolahan sampah, seperti waste-to-energy (WtE), memang menjadi salah satu opsi. Namun, biayanya sangat tinggi dan bisa membebani anggaran pemerintah daerah. Oleh karena itu, langkah paling ekonomis tetaplah mengurangi sampah sejak dari sumbernya.

“Kita harus memahami bahwa pengolahan sampah itu mahal, bisa mencapai USD100 per ton. Karena itu, pengurangan sampah dari sumbernya adalah opsi paling efisien,” tegasnya.

Paradigma Pengelolaan Sampah Harus Berubah

Senada dengan Fabby, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, I Made Dwi Arbani, menyebutkan Bali tengah berupaya mengubah sistem pengelolaan sampah dari yang berbasis TPA menjadi ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan.

Dalam Peta Jalan Kerthi Ekonomi Bali 2045, salah satu target yang ditetapkan adalah mengelola 100 persen timbulan sampah. Caranya adalah dengan mendorong masyarakat menerapkan gaya hidup berkelanjutan, seperti membawa wadah sendiri saat berbelanja, menggunakan kembali produk daur ulang, hingga mengolah sampah organik menjadi kompos. Selain itu, pemerintah juga mengembangkan teknologi seperti Black Soldier Fly (BSF) untuk mengolah sampah organik, serta membangun fasilitas waste-to-energy untuk mengubah sampah menjadi biogas.

“Ada juga upaya meningkatkan kapasitas fasilitas pengolahan sampah agar lebih dekat dengan masyarakat, misalnya dengan membangun lebih banyak Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST),” ujar Dwi Arbani.

Sementara itu, Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Catur Yudha Hariani, menegaskan solusi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah memperjelas peran pemerintah, desa adat, masyarakat, dan sektor swasta dalam pengelolaan sampah. Selain itu, ia menyoroti pentingnya penegakan hukum agar kebijakan yang sudah ada bisa berjalan efektif.

“Edukasi kepada masyarakat juga harus dilakukan secara kolaboratif, melibatkan komunitas, akademisi, LSM, dan sektor swasta,” kata Catur.

Upaya mengatasi krisis sampah tidak bisa hanya bergantung pada satu pendekatan. Selain mendorong ekonomi sirkular dan pengurangan sampah dari sumbernya, inovasi dalam pengolahan limbah juga perlu terus dikembangkan. Salah satu solusi yang mulai diterapkan di beberapa daerah adalah teknologi waste-to-energy (WtE), di mana sampah tidak hanya dikelola, tetapi juga dikonversi menjadi sumber energi yang bermanfaat.

TPA Benowo, Contoh Nyata Sampah Jadi Listrik
 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Benowo Kota Surabaya, Jatim. Foto: Dok. Diskominfo Surabaya via Antara.[/caption]

Di TPA Benowo, Surabaya, tumpukan sampah bukan hanya masalah, tapi juga peluang. Di sinilah limbah perkotaan diubah menjadi listrik yang bisa dimanfaatkan. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot, dalam kunjungannya pada 12 Januari 2025 lalu, mengapresiasi konsep ini sebagai salah satu solusi yang bisa memperkuat ketahanan energi nasional.

“Pengelolaan sampah menjadi energi listrik mungkin ini bisa kita duplikasi dengan cepat di daerah-daerah lain karena ada beberapa yang sudah berkonsultasi juga kepada kami,” kata Yuliot saat mengunjungi lokasi, dikutip dari laman Kementerian ESDM.

Konsep ini selaras dengan program Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, di mana ketahanan energi menjadi salah satu prioritas nasional. Menurut Yuliot, daerah-daerah lain bisa menjadikan TPA Benowo sebagai referensi dalam mengembangkan pengolahan sampah yang tidak hanya mengurangi volume limbah, tetapi juga menghasilkan energi hijau.

Meski terlihat menjanjikan, penerapan teknologi waste-to-energy di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah keterbatasan teknologi di daerah yang belum memiliki pemahaman mendalam soal pengelolaan limbah. Karena itu, diseminasi teknologi menjadi langkah penting agar lebih banyak wilayah bisa menerapkan sistem serupa.

TPA Benowo sendiri mengandalkan dua teknologi utama dalam pengolahan sampahnya. Sampah organik diubah menjadi energi melalui fermentasi gas (Landfill Gas Power Plant), sementara sampah nonorganik diproses dengan metode gasifikasi (Gasification Power Plant). Dengan sistem ini, limbah yang sebelumnya hanya menumpuk di TPA kini bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.

Yuliot menegaskan model pengelolaan sampah seperti ini bukan hanya membantu mengurangi beban limbah perkotaan, tetapi juga berkontribusi dalam penyediaan energi hijau. “Jakarta dan beberapa kota besar lainnya bisa belajar dari sini,” ujarnya, mengingat banyak daerah masih menghadapi permasalahan sampah yang menggunung dan berdampak pada lingkungan serta kesehatan masyarakat.

Jika TPA Benowo bisa mengubah sampah menjadi listrik, apakah model ini bisa diterapkan di seluruh Indonesia? Jawabannya tentu tidak sesederhana itu. Setiap daerah memiliki tantangan dan karakteristik sendiri dalam pengelolaan limbah. Infrastruktur, regulasi, hingga pola konsumsi masyarakat menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan program semacam ini.

Namun, langkah seperti yang dilakukan di Surabaya bisa menjadi pemantik bagi daerah lain untuk mencari solusi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dengan kombinasi antara pengurangan sampah dari sumbernya, pengelolaan berbasis ekonomi sirkular, dan inovasi teknologi, krisis sampah yang melanda berbagai kota di Indonesia mungkin bisa sedikit demi sedikit diurai.

Regulasi Sampah Jadi Listrik
Pemerintah tidak setengah hati dalam mengatur pengelolaan sampah menjadi energi listrik. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 yang bertujuan mempercepat pembangunan instalasi pengolah sampah berbasis teknologi ramah lingkungan. Sejauh ini, Surabaya sudah menunjukkan hasilnya, dan ada 12 kota lain yang diharapkan bisa menyusul, termasuk Jakarta, Bandung, Makassar, hingga Denpasar.

Direktur Utama PT Sumber Organik, Agus Nugroho Susanto, menilai teknologi termal seperti incinerator atau gasifikasi merupakan solusi paling efektif menuju konsep zero waste. Memang masih ada residu seperti fly ash dan bottom ash, tetapi sisa pembakaran ini bisa diolah kembali menjadi bahan baku paving atau bata.

Agus mencontohkan Singapura yang sudah sukses menerapkan sistem serupa tanpa kendala berarti. “Jadi, tidak ada masalah sama sekali, kotanya bersih, dan tidak bau sama sekali,” katanya.

TOBA dan Ambisi Besar di Energi Hijau dari Sampah
Proses pengangkutan limbah terintegrasi di fasilitas SembEnviro milik TBS Energi Utama. Foto: Dok. TOBA.[/caption]

Kalau bicara soal sampah yang disulap jadi energi, nama PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) tidak bisa diabaikan. Perusahaan ini makin serius mengembangkan bisnis pengelolaan limbah yang terintegrasi dengan strategi energi baru dan terbarukan.

Berdasarkan unggahan di akun Instagram resminya, TOBA telah mengakuisisi penuh Sembcorp Environment Pte. Ltd. (SembEnviro), perusahaan pengelola limbah yang punya jaringan luas di Asia Tenggara. Langkah ini disebut sebagai bagian dari komitmen TOBA untuk transisi dari energi berbasis fosil ke energi hijau.

TOBA tak hanya berfokus pada pengelolaan sampah, tetapi juga ingin mengubah limbah menjadi sumber energi baru melalui teknologi waste-to-energy (WTE). Upaya ini sejalan dengan target TBS2030, yakni misi mereka untuk menjadi perusahaan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Di sisi operasional, TOBA mengklaim mampu menangani pengelolaan limbah dari hulu ke hilir, mulai dari pengumpulan sampah, pemulihan material yang masih bisa dimanfaatkan, hingga mengonversinya menjadi energi. Bagi investor yang mulai melirik sektor energi hijau dan keberlanjutan, strategi TOBA ini bisa menjadi bahan pertimbangan, tidak hanya dari sisi kinerja keuangan tetapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan.(*)