KABARBURSA.COM - Sejumlah anak muda yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bebas Emisi 2050 (KIBE 2050) datang ke Dewan Energi Nasional (DEN) untuk melakukan audiensi soal Rencana Pembangunan Panjang (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN). Mereka mendorong agar transisi energi di Indonesia tak cuma jadi wacana, melainkan kebijakan konkret yang inklusif, adil, dan bisa diakses semua kalangan.
KIBE 2050 sendiri merupakan koalisi anak muda dari berbagai komunitas dan organisasi, seperti Generasi Energi Bersih, IESR, Climate Ranger Jakarta, YOU-CAN, dan Society of Renewable Energy Universitas Indonesia (SRE UI). Mereka satu suara bahwa Indonesia harus lebih serius dalam transisi energi, kalau bisa lebih cepat dari target Net Zero Emission 2060.
Dalam audiensi ini, Riyan Nurrahman, salah satu perwakilan KIBE, membuka diskusi dengan menegaskan pentingnya demokratisasi energi. Menurutnya, energi bersih jangan sampai cuma dinikmati kalangan atas, sementara rakyat menengah ke bawah cuma bisa gigit jari.
[caption id="attachment_119382" align="alignnone" width="1044"] Ketua Generasi Energi Bersih Indonesia, Ilham Maulana, mewakili KIBE2050 untuk menyampaikan Rekomendasi Kebijakan Percepatan Transisi Energi pada Kebijakan Energi Nasional ke Dewan Energi Nasional. Foto: Dok. IESR.[/caption]
Setelah itu, Ilham Maulana menambahkan, energi bersih bukan cuma pilihan, tapi sudah seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara. Sayangnya, “Tender-tender terbaru dalam pengadaan energi masih didominasi oleh energi fosil,” kata Ilham, dikutip dari lama iesr.or.id, Selasa, 11 Februari 2025.
Masalahnya, selama energi terbarukan masih kalah pamor dibanding batu bara dan energi kotor lainnya, impian listrik hijau yang terjangkau buat semua orang bakal terus tertunda.
Poin menarik datang dari Maya Lynn yang menyoroti soal emisi gas rumah kaca. Menurutnya, kebijakan RPP KEN masih kurang berani. “RPP KEN belum memasukkan target pensiun dini PLTU,” katanya.
Dengan kata lain, kalau pemerintah serius soal transisi energi, maka harus ada target jelas buat menghentikan PLTU batu bara. Masalah lain yang juga tak kalah penting adalah nasib para pekerja di industri energi fosil. Raliya Putri mengingatkan transisi energi harus tetap adil buat semua. Jangan sampai, kata dia, yang diuntungkan cuma korporasi besar, sementara pekerja batu bara dan minyak malah kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi.
Raliya pun mengusulkan adanya dana kompensasi dan pelatihan ulang buat pekerja sektor energi fosil yang terdampak.
Merespons berbagai dorongan dari KIBE, Anggota DEN dari kalangan akademisi, Agus Puji Prasetyono, mengapresiasi masukan tersebut. Tapi dia juga mengingatkan ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
“Energi memang harus menjadi hijau, sesuai dengan komitmen NDC kita, dan kita menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, di sisi lain, kita juga harus memajukan industri, menjaga rumah tangga, dan memastikan bisnis serta transportasi tetap berjalan,” kata Agus.
Sementara itu, Anggota DEN dari kalangan konsumen, Dina Nurul Fitria, menyoroti soal penerapan energi hijau dan energi bersih. Menurutnya, dua hal ini tak bisa disamakan begitu saja. Ia juga menegaskan efisiensi energi harus jadi fokus utama dan berharap anak-anak muda di KIBE 2050 bisa ikut menyebarluaskan pentingnya efisiensi energi sampai ke rumah tangga.
[caption id="attachment_115764" align="alignnone" width="1179"] Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. PLTB berkapasitas 75 megawatt ini merupakan salah satu dari sejumlah proyek hijau yang didanai oleh PT Bank BTPN Tbk yang menjadi PLTB pertama dan terbesar di Indonesia. Foto: Dok. PT UPC Sidrap Bayu Energi.[/caption]
Prospek Energi Baru Terbarukan di Indonesia diprediksi tetap cerah. Meski demikian, sektor ini diperkirakan masih akan menghadapi beberapa tantangan besar pada 2025. Analis pasar modal Stocknow.id, Abdul Haq Alfaruqy, mengatakan salah satu hambatan terbesar yang akan dihadapi adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap potensi besar yang dimiliki sektor EBT di tanah air.
“Saat ini kesadaran masyarakat masih minim terhadap potensi EBT terhadap dampak positif jangka panjang yang akan dirasakan,” kata Abdul kepada KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 25 Januari 2025, lalu.
Selain soal kesadaran publik, Abdul mengatakan keberlanjutan subsidi untuk bahan bakar fosil yang diberikan pemerintah menjadi salah satu penghalang utama dalam pengembangan energi terbarukan. Alih-alih mempercepat transisi energi, subsidi ini justru malah meningkatkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
Soal pendanaan, Abdul menilai masih ada kesenjangan yang jauh untuk EBT dibanding energi fosil. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam merealisasikan target net zero emissionpada 2060.
Sebelumnya, energi baru terbarukan diproyeksikan akan terus mengalami pertumbuhan signifikan hingga kuartal pertama 2025. Abdul mengatakan perkembangan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menarik investasi sebesar Rp1.900 triliun hingga Rp2.200 triliun pada tahun ini.
“Di mana sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menjadi salah satu prioritas utama,” katanya.
Abdul menjelaskan optimalisasi sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, angin, panas bumi, dan bioenergi direncanakan untuk mendorong peningkatan investasi sekaligus membuka peluang baru di sektor energi bersih. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, juga memperluas portofolio energi baru terbarukan dengan memasukkan hidrogen, amonia, dan nuklir ke dalam daftar energi yang dikembangkan.
Menurut Abdul, langkah ini selaras dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. Sebab itu, ia menilai sektor energi terbarukan masih memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan di tahun 2025.
Selain itu, ia juga mencatat investasi di sektor ini menunjukkan pertumbuhan menjanjikan hingga akhir 2024. Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi di subsektor EBTKE pada 2024 mencapai Rp24,03 triliun. “Tetapi, angka ini masih berada di bawah target yang ditetapkan sebesar USD2,6 miliar,” kata Abdul.
Abdul mengatakan pemerintah Indonesia aktif masih cukup aktif menarik investasi asing di sektor energi terbarukan. Pada November 2024, misalnya, Indonesia dan China menandatangani kesepakatan senilai USD10 miliar yang berfokus pada energi hijau dan teknologi.
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, investasi di sektor EBTKE di Indonesia mencapai USD1,5 miliar, atau sekitar Rp23,3 triliun, atau tumbuh sebesar +3,1 persen Year on Year.(*)