KABARBURSA.COM - Perjanjian iklim Paris 2015 sebenarnya bukanlah monster yang menghukum Amerika Serikat, seperti yang sering diklaim oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Namun, di sisi lain, perjanjian ini juga belum sepenuhnya mampu menjaga dunia dari bahaya pemanasan global.
Kesepakatan iklim Paris adalah perjanjian yang sebagian besar bersifat sukarela. Perjanjian ini dirancang agar mampu menekan laju pemanasan global sambil tetap bertahan dari pergantian politik, termasuk di AA. Namun, di hari-hari awal kepresidenannya, Trump memulai proses selama setahun untuk menarik AS keluar dari perjanjian tersebut—untuk kedua kalinya. Sebelumnya, Presiden Joe Biden sempat membawa AS kembali ke perjanjian ini pada hari kedua masa jabatannya.
Jika proses penarikan ini tuntas tahun depan, AS akan bergabung dengan Iran, Libya, dan Yaman sebagai satu-satunya negara anggota PBB yang tidak tergabung dalam perjanjian tersebut. Langkah ini, meskipun sudah diperkirakan, memicu reaksi keras dari berbagai penjuru dunia.
Alasannya adalah negara yang secara historis paling bertanggung jawab atas jumlah terbesar gas pemanasan global di atmosfer. Selain itu, AS juga selama ini memegang peran penting dalam negosiasi iklim internasional dan merupakan produsen bahan bakar fosil terbesar—sumber utama masalah pemanasan global itu sendiri.
Ketika perjanjian ini pertama kali ditandatangani pada 12 Desember 2014, Presiden Barack Obama menyebutnya sebagai “kesempatan terbaik untuk menyelamatkan satu-satunya planet yang kita miliki.” Tapi kini, dengan AS kembali keluar dari kesepakatan tersebut, peluang itu terasa semakin jauh dari kenyataan.
Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025, Perjanjian Paris adalah kesepakatan global yang bertujuan untuk menjaga agar suhu rata-rata global tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit) di atas tingkat pra-industri. Jika target tersebut sulit dicapai, negara-negara diharapkan setidaknya menjaga pemanasan di bawah 2 derajat Celsius (3,6 derajat Fahrenheit). Cara mencapainya adalah dengan memangkas emisi gas rumah kaca dari batu bara, minyak, dan gas.
“Perjanjian Paris itu ibarat kerangka kerja, bukan solusi akhir,” kata pendiri PowerShift Africa sekaligus pengamat senior dalam negosiasi iklim, Mohamed Adow.
“Mengatasi perubahan iklim bukan soal gagal atau berhasil. Perjanjian Paris bukanlah solusi itu sendiri, melainkan struktur bagi negara-negara untuk mengambil tindakan. Dan sebagian besar negara memang melakukannya,” imbuh Adow.
Kesepakatan ini adalah bagian dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dimulai sejak 1992 dalam Earth Summit di Rio de Janeiro. Secara teknis, Perjanjian Paris bukanlah sebuah perjanjian formal sehingga adopsinya oleh Amerika Serikat tidak membutuhkan persetujuan Senat.
Perjanjian ini bersifat mengikat, tetapi sifatnya tetap sukarela. Setiap lima tahun, negara-negara diwajibkan menyerahkan target atau rencana tindakan mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana.
“Target yang dikenal sebagai National Determined Contributions (NDC) ini seharusnya menjadi lebih ambisius setiap lima tahun,” kata seorang sejarawan negosiasi iklim dari Universitas Cambridge, Joanna Depledge.
Rencana lima tahunan terbaru dijadwalkan bulan depan. Bulan lalu, Presiden Joe Biden mengajukan rencana untuk Amerika Serikat dengan target pengurangan emisi hingga dua pertiga pada 2035 dibandingkan tingkat emisi pada 2005. Namun, negara-negara dapat membuat target mereka menjadi kurang ambisius.
“Isi dari target itu sepenuhnya ditentukan oleh negara masing-masing. Dan tidak ada hukuman bagi negara yang gagal mencapai targetnya,” kata Depledge.
Setiap dua tahun sekali, negara-negara diwajibkan melaporkan seberapa banyak gas rumah kaca yang mereka hasilkan. Namun, kesepakatan ini tidak hanya tentang emisi. Negara-negara kaya, termasuk Amerika Serikat, juga diwajibkan membantu negara-negara miskin dalam mendekarbonisasi ekonomi mereka, beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, dan, yang terbaru, bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Tahun lalu, dalam negosiasi internasional, disepakati bahwa negara-negara kaya akan menyumbang hingga USD300 miliar per tahun untuk membantu negara-negara miskin menangani dampak perubahan iklim. Namun, Amerika Serikat menolak klaim bahwa angka USD300 miliar tersebut adalah kewajiban yang mengikat secara hukum, menurut Joanna Depledge, sejarawan negosiasi iklim dari Universitas Cambridge.
Tidak ada pembagian resmi mengenai berapa besar porsi yang harus disumbangkan oleh setiap negara industri dalam target USD300 miliar itu. Tetapi, AS sering mendapat kritik karena kontribusinya dianggap jauh lebih kecil dibandingkan tanggung jawabnya sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar dalam sejarah sekaligus kekuatan ekonomi terbesar dunia.
“Secara formal, tidak ada kesepakatan tentang berapa banyak AS seharusnya menyumbang. Namun, berdasarkan studi Fair Shares kami—yang didasarkan pada emisi historis AS dan kemampuannya untuk membayar—kontribusi AS seharusnya mencapai USD44,6 miliar per tahun,” kata pemimpin perubahan iklim Mercy Corps, Debbie Hillier.
Sebagai perbandingan, tahun lalu Presiden Joe Biden mengumumkan bantuan iklim AS untuk negara-negara miskin baru mencapai USD11 miliar per tahun. Angka itu jelas masih jauh dari target ideal, meski merupakan peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Segalanya dimulai dari Kyoto Protocol tahun 1998—kesepakatan yang dirancang dengan bantuan Al Gore dan pemerintahan Bill Clinton. Protokol ini mengharuskan pengurangan emisi yang wajib, namun langsung ditolak melalui voting tidak mengikat di Senat AS. Ketika George W. Bush menjabat, AS pun menarik diri dari kesepakatan itu.
Akhirnya, lahirlah kesepakatan yang dirancang di Paris dengan pendekatan berbeda. Kesepakatan ini tidak memerlukan persetujuan Senat AS dan sifatnya tidak mengikat. Jalannya dirintis oleh perjanjian bilateral antara AS dan Tiongkok pada 2014, yang menjadi fondasi kesepakatan Paris.
“Salah satu alasan utama negara-negara tidak diwajibkan secara hukum untuk memenuhi target pengurangan emisi mereka di bawah Perjanjian Paris adalah karena pemerintahan Obama menyadari bahwa dengan polarisasi politik yang semakin tajam sejak Rio Earth Summit, memperoleh 67 suara di Senat AS untuk mendukung kesepakatan itu akan menjadi tantangan besar,” jelas analis iklim dari think-tank E3G di Eropa, Alden Meyer.
Tahun lalu, bumi sementara melewati ambang batas utama Perjanjian Paris, yaitu kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5 derajat Celsius. Meski ambang batas ini didasarkan pada rata-rata selama 20 tahun, para ilmuwan sepakat dunia akan melampaui angka ini secara permanen suatu hari nanti. Saat ini, pemanasan jangka panjang dunia berada pada angka 1,3 derajat Celsius (2,3 derajat Fahrenheit) di atas masa pra-industri.
Pada 2015, Climate Action Tracker memperkirakan dunia sedang menuju pemanasan sebesar 3,6 derajat Celsius (6,5 derajat Fahrenheit). Kini, proyeksi tersebut turun menjadi 2,7 derajat Celsius (4,9 derajat Fahrenheit). Para ahli menyebutnya sebagai kesuksesan parsial. Para negosiator di Paris pun tak pernah beranggapan bahwa kesepakatan itu sendiri sudah cukup.
Debbie Hillier dari Mercy Corps menyatakan, meskipun proyeksi pemanasan yang lebih rendah ini jauh dari cukup, ini menunjukkan bahwa komitmen kolektif di bawah Perjanjian Paris memang membawa perubahan.
Ketika AS menarik diri, mereka masih bisa hadir dalam negosiasi, tetapi tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan.
Pengaruhnya pada kebijakan domestik iklim AS mungkin kecil. Namun, menurut seorang pengacara di Washington yang mewakili kepentingan energi, Scott Segal, keputusan ini bisa merusak kredibilitas AS dalam diplomasi iklim yang kemungkinan akan mengurangi pengaruhnya dalam kebijakan lingkungan global.
Beberapa ahli mengatakan, AS akan kehilangan kesempatan dalam lonjakan energi terbarukan yang bernilai lebih dari satu triliun dolar, sementara negara seperti China akan memimpin ekonomi hijau. “Dunia kemungkinan akan memanas sedikit lebih cepat,” kata CEO dan ilmuwan dari Climate Analytics, Bill Hare.
“Semakin hangat bumi, semakin cepat kita menghadapi cuaca ekstrem seperti banjir, badai besar, kebakaran hutan, kekeringan, dan gelombang panas. AS tentu tidak akan luput dari peristiwa-peristiwa ini,” katanya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.