Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Uni Eropa Tunda Aturan Larangan Impor dari Lahan Deforestasi hingga Akhir 2025

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 19 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Uni Eropa Tunda Aturan Larangan Impor dari Lahan Deforestasi hingga Akhir 2025

KABARBURSA.COM - Parlemen Uni Eropa sepakat untuk menunda implementasi dan merevisi sejumlah ketentuan dalam regulasi Anti-Deforestasi atau Deforestation Law. Regulasi ini sebelumnya dirancang untuk mencegah masuknya produk yang berasal dari lahan deforestasi ke Eropa dengan mewajibkan importir menjamin penuh keterlacakan bahan baku seperti daging sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya memutus hubungan antara permintaan Eropa dan deforestasi global, mengingat konsumsi Uni Eropa–menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian global (FAO)--bertanggung jawab atas sekitar 10 persen deforestasi dunia.

Implementasi Ditunda hingga 2025

Dilansir dari Euronews di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024, aturan ini awalnya akan berlaku mulai 30 Desember 2024 untuk perusahaan besar dan enam bulan kemudian untuk usaha kecil dan mikro. Namun, Komisi Eropa mengusulkan penundaan selama satu tahun sehingga tenggat waktu bergeser ke akhir 2025 untuk perusahaan besar dan pertengahan 2026 untuk perusahaan kecil. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu transisi agar implementasi aturan dapat berjalan efektif.

“Komisi Eropa mengusulkan penundaan tanggal penerapan peraturan deforestasi setelah menerima kekhawatiran dari negara anggota, negara mitra, pedagang, dan pelaku usaha. Mereka menilai ada risiko bahwa peraturan tersebut tidak dapat sepenuhnya dipatuhi jika tetap diberlakukan pada tenggat awal, yaitu 31 Desember 2024,” tulis Komisi Uni Eropa di laman resminya, consilium.europa.eu, pada Rabu, 20 November 2024.

Meskipun Uni Eropa mendukung usulan penundaan tersebut, Parlemen juga mengajukan delapan amandemen baru yang kini harus mendapatkan persetujuan Dewan Uni Eropa. Amandemen ini bertujuan untuk menyederhanakan proses dan mengurangi beban bagi importir. Namun, kelompok lingkungan menyatakan bahwa perubahan ini berpotensi menurunkan standar kepatuhan.

Kategori Baru Negara Tanpa Risiko

Salah satu amandemen, yakni Amandemen 11, memperkenalkan kategori baru “negara tanpa risiko” deforestasi. Kategori ini mencakup negara-negara dengan perkembangan area hutan yang stabil atau meningkat.

Negara-negara ini akan menghadapi persyaratan yang jauh lebih ringan karena dianggap memiliki risiko deforestasi yang dapat diabaikan. Komisi Eropa dijadwalkan menyelesaikan sistem klasifikasi negara ini pada pertengahan 2025.

Selain itu, Amandemen 6 memungkinkan produk dari “negara tanpa risiko” untuk dipasarkan di Uni Eropa selama mereka mematuhi undang-undang negara asal dan memenuhi persyaratan dokumentasi. Namun, pernyataan uji tuntas tetap diperlukan meskipun dalam tingkat yang lebih ringan.

“Kita harus berhati-hati dalam menentukan apa yang benar-benar diperlukan untuk mencapai target regulasi ini,” ujar negosiator utama dari Grup EPP, Christine Schneider.

Ia menambahkan, jika suatu negara mampu membuktikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mereka tidak perlu menjalani proses yang sama seperti negara dengan risiko tinggi.

Dilansir dari laman Stockholm Enviroment Institute, negara-negara utama yang menjadi sumber paparan deforestasi Uni Eropa dengan risiko tertinggi adalah:

  1. Pantai Gading (19,9 persen)
  2. Brasil (16 persen)
  3. Indonesia (11,6 persen)
  4. Ghana (8,7 persen)
  5. Malaysia (4,7 persen).

Kelima negara ini secara keseluruhan menyumbang 61 persen dari total paparan deforestasi Uni Eropa.

Antara tahun 2019 hingga 2021, Uni Eropa tercatat berkontribusi pada deforestasi rata-rata sebesar 190.500 hektare per tahun melalui impor langsungnya. Luas ini setara dengan lebih dari sepuluh kali ukuran Brussels. Selama periode tersebut, impor Uni Eropa dikaitkan dengan 15 persen dari total deforestasi global yang diakibatkan oleh perdagangan langsung.

Komoditas utama yang menyumbang paparan deforestasi di Uni Eropa adalah kakao (33,7 persen), produk kelapa sawit (19,3 persen), kopi (13 persen), kedelai (9,2 persen), dan produk ternak (8,9 persen). Secara keseluruhan, kelima komoditas ini berkontribusi pada 84 persen dari total paparan deforestasi Uni Eropa. Namun, angka ini kemungkinan besar masih di bawah estimasi sebenarnya untuk komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan kayu, karena sulitnya melacak hubungan antara deforestasi dan produk yang telah diproses lebih lanjut.

Antara tahun 2019 hingga 2021, Uni Eropa tercatat berkontribusi pada deforestasi rata-rata sebesar 190.500 hektare per tahun melalui impor langsungnya. Luas ini setara dengan lebih dari sepuluh kali ukuran Brussels. Selama periode tersebut, impor Uni Eropa dikaitkan dengan 15 persen dari total deforestasi global yang diakibatkan oleh perdagangan langsung.

Komoditas utama yang menyumbang paparan deforestasi di Uni Eropa adalah kakao (33,7 persen), produk kelapa sawit (19,3 persen), kopi (13 persen), kedelai (9,2 persen), dan produk ternak (8,9 persen). Secara keseluruhan, kelima komoditas ini berkontribusi pada 84 persen dari total paparan deforestasi Uni Eropa. Namun, angka ini kemungkinan besar masih di bawah estimasi sebenarnya untuk komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan kayu, karena sulitnya melacak hubungan antara deforestasi dan produk yang telah diproses lebih lanjut.

[caption id="attachment_107533" align="alignnone" width="950"] Paparan deforestasi Uni Eropa dari kedelai dan minyak sawit mengalami penurunan signifikan selama periode 2012-2021. Grafik ini menunjukkan tren paparan deforestasi (dalam hektar) dan jumlah impor (dalam juta ton) untuk tujuh komoditas utama EUDR, termasuk kakao, kopi, produk ternak, kedelai, dan minyak sawit. Data ini memberikan gambaran mengenai hubungan antara volume impor dan dampaknya terhadap deforestasi global. Sumber: Stockholm Enviroment Institute.[/caption]

Secara keseluruhan, paparan deforestasi Uni Eropa dari komoditas EUDR telah menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan penurunan mencapai 35 persen antara 2018 dan 2021, meskipun volume impor komoditas tetap tinggi. Namun, tren ini bervariasi tergantung pada waktu dan jenis komoditas, menunjukkan pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap wilayah dan komoditas yang memiliki risiko tinggi.

Sebagian besar penurunan paparan deforestasi Uni Eropa disebabkan oleh berkurangnya deforestasi yang terkait dengan produksi kelapa sawit di Indonesia. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa laju deforestasi di negara tersebut mulai meningkat kembali, meskipun tren ini belum tercatat dalam lembar fakta.

[caption id="attachment_107537" align="alignnone" width="2385"] Tren kehilangan hutan primer tropis dunia dari tahun 2002 hingga 2023 menunjukkan fluktuasi yang signifikan. Kehilangan akibat kebakaran hutan (warna cokelat) dan non-kebakaran (warna hijau) menjadi penyumbang utama, dengan rata-rata bergerak (garis hitam) mencerminkan tren keseluruhan. Data ini menggambarkan tantangan besar dalam upaya melestarikan hutan primer tropis yang vital bagi keberlanjutan lingkungan.[/caption]

[caption id="attachment_107540" align="alignnone" width="1380"] Brazil dan Republik Demokratik Kongo tetap menjadi penyumbang terbesar kehilangan hutan primer di dunia pada tahun 2022 dan 2023. Grafik ini menunjukkan distribusi kehilangan hutan primer di 10 negara dengan dampak terbesar, termasuk Indonesia, Bolivia, Peru, dan Malaysia. Data ini menyoroti tantangan global dalam melestarikan hutan primer tropis yang penting bagi ekosistem dunia.[/caption]

Penurunan signifikan juga terlihat pada paparan deforestasi dari impor kedelai asal Brasil. Namun, perlu dicatat bahwa perluasan produksi kedelai dan peternakan terus mengakibatkan hilangnya ekosistem Cerrado Brasil, yang sebagian besar dikecualikan dari cakupan EUDR dan definisi deforestasi dalam lembar fakta.

Sebaliknya, penurunan serupa tidak terjadi pada komoditas seperti kakao, kopi, dan produk ternak. Paparan deforestasi dari kakao tetap sangat tinggi dan menunjukkan tren peningkatan.

Data terbaru dari Trase menunjukkan di Pantai Gading, yang merupakan sumber utama kakao untuk Uni Eropa, tingkat deforestasi akibat produksi kakao masih sangat tinggi. Sebagian besar pasokan kakao ini berasal dari sumber tidak langsung sehingga mempersulit proses pelacakan dan kepatuhan terhadap EUDR.

Keputusan Akhir di Tangan Komisi Eropa

Seluruh teks legislasi mengenai regulasi Anti-Deforestasi akan dikaji ulang dan disetujui oleh Parlemen dan Dewan Uni Eropa. Namun, Komisi Eropa memiliki opsi untuk menarik proposal tersebut atau menolak amandemen yang disetujui Parlemen.

Jika ini terjadi, Dewan harus mencapai persetujuan bulat untuk meloloskan amandemen dibandingkan biasanya hanya membutuhkan mayoritas yang memenuhi syarat. Saat ini, Komisi Eropa tengah mengevaluasi hasil pemungutan suara sebelum mengambil sikap.(*)