Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Agenda Trump Membalikkan Arah Kebijakan Iklim Amerika

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 04 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Agenda Trump Membalikkan Arah Kebijakan Iklim Amerika

KABARBURSA.COM - Donald Trump bersiap kembali ke Gedung Putih dengan rencana ambisius yang akan membalikkan kebijakan iklim Amerika Serikat dalam skala besar. Mulai dari keluar lagi dari Perjanjian Paris hingga membuka kembali kawasan lindung untuk eksplorasi tambang, rencana Trump ini berpotensi mengubah total pendekatan negara terhadap isu energi dan lingkungan.

Trump yang selama masa jabatan pertamanya menghapus banyak regulasi lingkungan era Obama, kali ini berniat melangkah lebih jauh. Melansir New York Times, dia dikabarkan akan memangkas kewenangan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), memindahkan kantornya dari Washington, dan mencabut jeda penerbitan izin terminal ekspor gas alam cair yang ditetapkan pemerintahan Biden.

Pemerintahan yang Penuh Loyalis

Untuk merealisasikan rencana ini, Trump telah menyiapkan kabinet berisi loyalis. Mantan anggota Kongres Lee Zeldin akan memimpin EPA, sementara Gubernur Dakota Utara Doug Burgum, yang dikenal dekat dengan industri bahan bakar fosil, akan menjabat Menteri Dalam Negeri. Trump juga menunjuk Chris Wright, eksekutif fracking, sebagai Menteri Energi. Ketiganya dipastikan akan fokus pada promosi bahan bakar fosil, meski tekanan untuk menurunkan biaya energi tetap menjadi tantangan besar.

Pendekatan Eksekutif yang Kontroversial

Dalam sistem politik Amerika yang dirancang untuk membagi kekuasaan, presiden memiliki fleksibilitas luar biasa dalam menentukan kebijakan energi dan iklim. Hal ini diperkuat oleh stagnasi Kongres dalam meloloskan undang-undang lingkungan besar sejak 1990. Barry Rabe, profesor kebijakan publik dari Universitas Michigan, menyebut “vakumnya regulasi legislatif memungkinkan presiden membuat perubahan besar secara cepat, meski sering kali hanya bersifat sementara.”

Hal ini terlihat selama dekade terakhir, ketika Obama, Trump, dan Biden silih berganti menggunakan perintah eksekutif untuk menetapkan atau mencabut kebijakan lingkungan. Namun, pendekatan ini menghasilkan kebijakan yang tidak konsisten, menciptakan efek “whiplash” pada iklim, di mana setiap presiden baru dapat membatalkan kebijakan pendahulunya.

Dampak pada Lingkungan dan Politik

Meski rencana Trump untuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil dan menekan biaya energi dapat memberikan keuntungan politik jangka pendek, dampaknya terhadap lingkungan diperkirakan akan signifikan. Setidaknya emisi karbon akan naik yang kemudian memperparah pemanasan global. Sementara janji Trump untuk memangkas biaya energi hingga setengahnya dalam 18 bulan dinilai sulit tercapai oleh para ahli.

“Menekan harga energi itu sangat sulit, tidak peduli seberapa besar produksi yang ditingkatkan,” ujar Barry Rabe.

Kritik atas Kebijakan Iklim Trump

Selain keluar dari Perjanjian Paris, Trump juga mungkin menarik AS dari kesepakatan global pengurangan emisi metana yang dirancang pemerintahan Biden. Kebijakan ini berisiko memicu respons dari negara lain, seperti tarif karbon Uni Eropa yang dapat membebani ekspor AS pada 2026.

Di dalam negeri, langkah Trump menghapus regulasi lingkungan akan berhadapan dengan perlawanan dari kelompok masyarakat sipil dan organisasi lingkungan. Namun, bagi Trump, agenda ini adalah bagian dari janji untuk mengutamakan energi domestik dan memulihkan kekuatan ekonomi Amerika.

Dengan kabinet yang penuh loyalis dan visi yang kontras dengan kebijakan Biden, Trump akan menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan ambisi politik dan dampaknya terhadap lingkungan. Semua ini menempatkan masa depan kebijakan iklim AS di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian.

Pelajaran dari Gelombang Panas Laut Ekstrem di California

Para ilmuwan menyebutnya “The Blob.”

Sepuluh tahun lalu, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik melonjak hingga 11 derajat Fahrenheit di atas rata-rata. Sistem tekanan tinggi yang menetap di atas laut memblokir angin yang biasanya mengaduk air dingin dan kaya nutrisi dari kedalaman. Akibatnya, air laut yang hangat dan stagnan menyebar di Pasifik Timur Laut, menciptakan gelombang panas laut yang bertahan selama tiga tahun.

Dampaknya mengerikan. Jaring makanan di bawah permukaan laut runtuh dan ekosistem terguncang hebat. Bangkai burung laut terdampar di pantai dalam jumlah masif—begitu banyak hingga menumpuk setinggi lutut di beberapa tempat.

Para peneliti hingga kini masih berusaha memahami sepenuhnya apa yang terjadi saat itu. Meski mereka berhati-hati untuk tidak menarik kesimpulan universal dari satu peristiwa regional, “The Blob” mengubah secara mendasar pemahaman banyak ilmuwan tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan di lautan. Bencana ini menjadi salah satu sumber informasi paling kaya tentang bagaimana kehidupan laut bereaksi terhadap kenaikan suhu global.

Dengan data ini, para ilmuwan kini lebih waspada terhadap ancaman nyata pemanasan laut di masa depan, terutama saat lautan kita terus memanas akibat krisis iklim global.

Babak Kedua Trump: Serangan Besar terhadap Aksi Iklim

Pada masa jabatan pertamanya, Donald Trump mengobrak-abrik kebijakan lingkungan dengan mencabut 125 perlindungan penting. Meski banyak usahanya dihentikan oleh pengadilan, periode kedua Trump diperkirakan akan membawa dampak yang jauh lebih signifikan.

Serangkaian langkah mundur besar sudah di depan mata. Pemotongan anggaran besar-besaran untuk Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) dan Departemen Dalam Negeri akan dipimpin oleh tokoh yang skeptis terhadap isu iklim. Produksi minyak dan gas akan diperluas, sementara pengembangan energi bersih ditekan. Undang-Undang Pengurangan Inflasi akan dilucuti, dengan dana miliaran dolar yang tak terpakai dialokasikan ulang untuk proyek-proyek berkarbon tinggi. Inisiatif keadilan lingkungan juga terancam dibubarkan.

Melansir World Resources Institute, kebijakan federal soal iklim hampir pasti terhenti. Ini akan membuat Amerika Serikat kecil kemungkinan mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca. Di panggung internasional, AS diproyeksikan kembali keluar dari Perjanjian Paris dan menghentikan bantuan keuangan iklim untuk negara-negara rentan.

Semua ini terjadi saat kebutuhan global untuk menekan emisi semakin mendesak, di tengah ancaman banjir, kekeringan, dan kebakaran yang makin sering terjadi.

Secercah Harapan di Tengah Serangan

Namun, di tengah ancaman ini, masih ada celah harapan. Beberapa peluang bipartisan tetap ada, terutama pada pengembangan energi bersih yang telah membawa manfaat ekonomi bagi berbagai negara bagian, baik yang dikuasai Demokrat maupun Republik. Dukungan untuk energi panas bumi generasi baru, dekabornisasi industri berat, dan penguatan rantai pasok juga semakin kuat, terutama dari komunitas bisnis yang melihatnya sebagai langkah strategis untuk daya saing dan keamanan nasional AS.

Selain itu, aktor subnasional — negara bagian, kota, suku bangsa, dan sektor bisnis — memiliki peran besar. Pada periode pertama Trump, mereka menunjukkan keberanian untuk mengambil alih kepemimpinan dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Tanda-tanda awal menunjukkan mereka siap untuk melanjutkan aksi tersebut, meskipun tekanan federal semakin besar.

Serangan Trump terhadap kebijakan iklim memang berpotensi menghancurkan banyak pencapaian. Namun, keberanian aktor lokal dan dorongan ekonomi dari energi bersih dapat menjadi penahan terakhir dalam perjuangan menjaga momentum aksi iklim tetap hidup.(*)