Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Amazon dan Google Taruh Modal Besar di Reaktor Nuklir Masa Depan

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 02 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Amazon dan Google Taruh Modal Besar di Reaktor Nuklir Masa Depan

KABARBURSA.COM - Hampir sebulan setelah Microsoft menginvestasikan USD16 miliar untuk menghidupkan kembali pembangkit nuklir Three Mile Island yang telah lama ditutup, Google dan Amazon menyusul dengan kesepakatan besar untuk mendukung rencana ambisius kebangkitan nuklir Amerika Serikat.

Dilansir dari Huffpost, Amazon Web Services telah mengumumkan kerja sama dengan dua perusahaan utilitas untuk mendanai pembangunan pembangkit nuklir generasi baru di dekat pusat data mereka di Virginia dan Washington. Tidak seperti Microsoft dan Google, Amazon tidak hanya membeli listrik yang dihasilkan tenaga nuklir.

Perusahaan ini, bersama miliarder Ken Griffin, menggelontorkan USD500 juta ke X-energy, sebuah perusahaan rintisan di Maryland yang merancang reaktor modular kecil. Reaktor ini berukuran jauh lebih kecil dibandingkan reaktor konvensional dan menggunakan gas bersuhu tinggi sebagai pendingin, bukan air.

CEO X-energy J. Clay Sell menyebut kolaborasi ini akan mendefinisikan masa depan energi nuklir canggih di pasar komersial.

Investasi Amazon ini mencerminkan strategi serupa saat mereka membeli saham di Rivian bersamaan dengan pemesanan armada truk listrik dari produsen tersebut. Amazon berencana besar membangun pembangkit listrik tenaga nuklir baru dengan kapasitas 5 gigawatt di Amerika Serikat dalam 15 tahun ke depan, menggunakan reaktor 80 megawatt milik X-energy.

“Ini seperti iklan lama Hair Club for Men—‘Saya bukan hanya presiden, tetapi juga klien,’” ujar Brett Rampal, ahli tenaga nuklir dari hedge fund Segra Capital Management.

[caption id="attachment_103640" align="alignnone" width="500"] Menara pendingin tiga dengan menara satu dan dua di latar belakang terlihat di fasilitas reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Alvin W. Vogtle pada bulan Mei di Waynesboro, Georgia. Foto: Huffpost[/caption]

Rampal menilai langkah ini menunjukkan keseriusan Amazon. Beberapa perusahaan kesulitan terjun lebih dalam ke energi nuklir, tetapi Amazon tampak benar-benar berkomitmen pada kesepakatan ini.

Pengumuman Amazon muncul dua hari setelah Google, melalui induk perusahaannya Alphabet, mengungkapkan kesepakatan lebih kecil untuk membeli hingga 500 megawatt listrik dari Kairos Power. Perusahaan ini juga mengembangkan reaktor “canggih” yang menggunakan garam fluoride sebagai pendingin.

James Krellenstein, fisikawan sekaligus CEO konsultan nuklir Alva Energy di Cambridge, Massachusetts, menyebut langkah perusahaan-perusahaan besar ini sebagai kabar baik untuk industri nuklir. Menurutnya, permintaan dari perusahaan swasta berpengaruh seperti Amazon dan Google menunjukkan adanya pasar yang jelas untuk generasi baru energi nuklir.

Bangkit di Tengah Krisis Listrik dan Perubahan Iklim

Dalam tanda lain perubahan arah industri, bank-bank terbesar dunia bulan lalu berjanji untuk mendukung kesepakatan nuklir setelah bertahun-tahun menjauh dari proyek-proyek yang biasanya melebihi anggaran hingga miliaran dolar.

“Pasar memberikan sinyal, pemerintah AS memberikan sinyal, pemerintah negara bagian memberikan sinyal,” ujar seorang pakar. “Pertanyaan sebenarnya adalah, apakah kita dapat memenuhi kebutuhan pasar tersebut?”

Setelah puluhan tahun mengalami penurunan, tenaga nuklir mulai bangkit kembali di tengah lonjakan permintaan listrik dan kesadaran yang semakin besar bahwa panel surya dan turbin angin saja tidak cukup untuk menggantikan bahan bakar fosil.

Permintaan listrik AS relatif stagnan sejak akhir 1990-an karena industri berat berpindah ke luar negeri dan peralatan baru yang lebih efisien meredam dampak pertumbuhan populasi terhadap jaringan listrik yang sudah tua. Namun, perangkat lunak kecerdasan buatan (AI) kini mendorong permintaan listrik meningkat bersamaan dengan kebijakan pengurangan emisi karbon yang mendorong lebih banyak warga Amerika mengganti mobil, kompor, dan pemanas berbahan bakar fosil dengan alternatif bertenaga listrik.

Di saat yang sama, dampak perubahan iklim yang semakin nyata — badai yang lebih parah, gelombang panas yang lebih panjang dan intens — membebani jaringan listrik yang tidak dirancang untuk menghadapi cuaca ekstrem atau memenuhi kebutuhan pendingin udara rumah tangga yang terus bertambah.

Kondisi ini diperparah oleh transisi energi yang tidak terencana dengan baik dari sumber listrik tradisional. Seperti nuklir, pembangkit listrik tenaga batu bara menghasilkan panas untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik dan dapat beroperasi sepanjang waktu tanpa terpengaruh cuaca. Pembangkit listrik gas alam yang lebih baru memang menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida, tetapi tidak menyimpan banyak bahan bakar di lokasi dan bergantung pada jaringan pipa yang sering gagal saat suhu ekstrem.

Di pasar dengan ladang surya dan angin yang besar, gas sering digunakan sebagai cadangan saat malam atau ketika angin berhenti bertiup. Baterai dan program insentif untuk konsumen mematikan alat rumah tangga saat permintaan listrik memuncak telah membantu, tetapi rata-rata durasi pemadaman listrik yang dialami warga Amerika setiap tahun lebih dari dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, menurut data pemerintah.

Selama bertahun-tahun, perusahaan teknologi seperti Google dan Amazon mengimbangi penggunaan listrik berbahan bakar fosil di pusat data mereka dengan mendanai pembangunan panel surya dan turbin angin di berbagai wilayah. Namun, sumber energi terbarukan tersebut membutuhkan lahan yang luas dan jaringan transmisi baru yang sulit mendapatkan izin di AS, membatasi seberapa besar investasi tersebut benar-benar memperluas kapasitas listrik yang digunakan.

Dengan meningkatnya permintaan dari AI yang mengancam menguras lebih banyak listrik dari jaringan, raksasa teknologi di Silicon Valley kini mulai beralih ke sumber energi yang paling efisien dan melimpah — memanfaatkan panas dari reaksi pemecahan atom.

Energi nuklir sebelumnya juga sempat diprediksi akan mengalami kebangkitan di awal 2000-an, ketika AS merencanakan pembangunan puluhan pembangkit baru. Namun, ledakan minyak dan gas di AS yang dipicu oleh teknik pengeboran fracking membuat gas menjadi sangat murah, sehingga investor kehilangan minat pada reaktor nuklir yang membutuhkan biaya miliaran dolar dan waktu konstruksi lebih dari satu dekade.

Ditambah dengan ketakutan global terhadap energi atom setelah bencana Fukushima pada 2011, hampir semua rencana pembangunan reaktor baru dibatalkan.(*)