Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump Menang, Energi Hijau dan Pasar Nikel Terancam

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 30 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Trump Menang, Energi Hijau dan Pasar Nikel Terancam

KABARBURSA.COM - Donald Trump direncanakan akan dilantik sebagai presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025. Salah satu kebijakan utamanya adalah membatalkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA), regulasi yang selama ini mendukung subsidi dan insentif untuk teknologi energi bersih, termasuk kendaraan listrik yang membutuhkan bahan baku nikel.

Dalam acara Temu Tahunan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ke-XXXIII di Jakarta, Jumat, 29 November 2024, Tenaga Profesional Sumber Kekayaan Alam Lemhanas, Edi Permadi, memaparkan proyeksi dampak pencabutan IRA. Ia menjelaskan, rencana tersebut dapat memengaruhi prospek industri kendaraan listrik. Hal ini pada gilirannya bisa berimbas pada komoditas nikel sebagai bahan baku utama baterai.

“Rencana Trump tersebut bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar nikel global yang bisa membuat harga nikel melemah,” katanya.

Indonesia sebagai pemain utama di pasar nikel global dinilai akan terdampak langsung jika permintaan kendaraan listrik menurun. Menurut Edi, keputusan Trump yang terang-terangan mendukung energi fosil dapat memperlambat pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sehingga memengaruhi permintaan komoditas lain seperti tembaga, aluminium, dan timah.

“Komoditas ini selama ini menjadi tulang punggung pengembangan energi baru dan terbarukan. Jika pengembangan EBT melambat, permintaannya juga akan tertekan,” kata Edi.

Cadangan Nikel Indonesia

Di tengah potensi dampak kebijakan Donald Trump yang mengancam pasar nikel global, posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam cadangan nikel tetap strategis. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan betapa besar sumber daya dan cadangan nikel yang dimiliki Indonesia.

Pasokan nikel Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 132.K/GL.01/MEM.G/2024 tentang Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batu Bara Nasional Pada Tahun 2023. Data pasokan nikel itu tertuang dalam lampiran Kepmen ini.

Pasokan nikel berada dalam tabel Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam Termasuk Mineral Radioaktif. Dalam tabel itu disebutkan, total sumber daya nikel yakni 18.550.358.128 ton untuk bijih dan 184.606.736 ton untuk logam.

Sementara, total cadangan nikel Indonesia tercatat sebanyak 5.325.790.841 ton bijih dan 56.117.187 ton logam. Untuk cadangan terkira sebanyak 3.423.289.094 ton bijih dan 35.910.615 ton logam. Kemudian, cadangan terbukti sebanyak 1.902.501.747 ton untuk bijih dan 20.206.573 ton untuk logam.

Bisnis Smelter Nikel bikin Negara Rugi

Sementara itu, ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa smelter di tambang nikel tidak menguntungkan Indonesia tapi justru membuat minus atau merugikan negara.

“Boro-boro menguntungkan, justru membuntungkan Indonesia,” kata Faisal Basri dalam diskusi publik Jejak Bahlil dan Kepentingan Istana dalam Pusaran Korupsi Tambang Nikel AGK, Rabu, 21 Agustus 2024.

Terkait dengan klaim pemerintah yang menyatakan ada pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara, kata Faisal, adalah penyesatan publik yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia mengaku jika dirinya pernah salah karena menyatakan bahwa Indonesia diuntungkan kurang dari 10 persen berkat adanya smelter di pertambangan nikel. Oleh karena itu, ia ingin mengklarifikasi jika Indonesia justru merugi karena ada smelter.

“Saya belum menghitung subsidi yang diberikan pemerintah atas nama DMO atau domestic market obligation yang harganya ditentukan,” ujarnya.

Faisal mengungkapkan perusahaan pengelola smelter semuanya berasal dari dalam negeri, namun perusahaan tersebut sebenarnya dimiliki China. Ia mencoba meluruskan klaim pemerintah yang menyatakan berkat adanya smelter, ada nilai tambah dari nikel.

Ia mengakui memang ada nilai tambah yang terjadi. Ia mencontohkan jika harga nikel itu 10, maka setelah ada smelter harga feronikel menjadi 25 sehingga nilai tambahnya menjadi 15. “Betul itu terjadi, tapi pertanyaannya adalah nilai tambah tersebut tidak dinikmati Indonesia,” katanya.

Terkait dengan pihak pengelola perusahaan smelter, kata dia, 100 persen berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, 100 persen keuntungannya bukan untuk Indonesia tapi justru dibawa ke China.

Jika perusahaan umumnya membayar corporate income tax, perusahaan-perusahaan smelter China yang beroperasi di Indonesia mendapat tax holiday. Sementara Indonesia tidak mendapat apa-apa karena perusahaan tersebut ternyata tidak membayar BPN dan pajak ekspor.

Ia juga membantah klaim pemerintah jika adanya smelter nikel dapat menguntungkan dari sisi tenaga kerja. Menurutnya, perusahaan-perusahaan ini bisa mendatangkan tenaga kerja murah asal Tiongkok. Tenaga kerja tersebut, kata Faisal, tidak memiliki visa kerja dan segala kebutuhan para pekerja ini didatangkan dari China.

“Kebutuhan mereka (tenaga kerja) bisa diimpor dari China tanpa bea masuk. Jadi kita dapat nol,” tegasnya.

Indonesia juga kembali dirugikan karena teknologi yang digunakan di smelter tersebut semuanya milik China. Sehingga fee dari paten juga kembali ke China, bukan Indonesia. Bahkan perusahaan pembiayaan yang mengongkosi produksi smelter di tambang nikel pun berasal dari sejumlah bank di China. Sehingga bunga yang dibebankan dari pinjaman itu dinikmati oleh bank di China.

“Perusahaan smelter itu dibiayai oleh bank dari China dan tidak satu pun dari Indonesia, jadi bayar bunganya di China. Sementara Indonesia dapat kerusakan lingkungan. Itu tidak terperikan kerugiannya bagi bangsa Indonesia,” kata Faisal.(*)