Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Minim Pemberitaan Media, Kesadaran Publik soal Krisis Iklim Masih Rendah

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 27 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Minim Pemberitaan Media, Kesadaran Publik soal Krisis Iklim Masih Rendah

KABARBURSA.COM - Di tengah semakin mendesaknya isu krisis iklim, peran media menjadi vital dalam meningkatkan kesadaran publik. Namun, di Indonesia, isu krisis iklim masih jarang diangkat oleh media. Laporan terbaru menunjukkan pemberitaan mengenai lingkungan hanya mengambil porsi kecil dibandingkan isu politik, ekonomi, dan korupsi. Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman krisis iklim.

Minimnya Sorotan Media Terhadap Isu Lingkungan

Berdasarkan kajian Katadata Green bersama Coaction Indonesia dan Yayasan Humanis, hanya 0,34 persen artikel media daring di Indonesia setiap tahunnya yang membahas isu lingkungan. Kajian ini dilakukan terhadap 11 media daring dan platform X (sebelumnya Twitter) selama periode Agustus 2022 hingga Agustus 2023. Temuan tersebut menunjukkan narasi tentang krisis iklim masih kalah jauh dibandingkan isu-isu lain.

“Kita bandingkan dengan keseluruhan pemberitaan tiap bulan, ternyata proporsinya cukup kecil, sangat kecil malah teman-teman, masih kalah dengan pemberitaan ekonomi, kemudian korupsi, politik, dan lain sebagainya,” kata Deputy Head Katadata Green, Jeany Hartriani, dalam diskusi kebijakan publik di Jakarta, Selasa, 26 November 2024.

Pemberitaan mengenai isu lingkungan cenderung meningkat saat ada peristiwa besar seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim. “Jadi ada forum besar apa, kayak yang kemarin barusan di COP29 misalnya. Itu pemberitaan itu biasanya naik, apalagi ada kebijakan apa, komitmen yang ditandatangani dan lain sebagainya,” ujarnya. Namun, setelah acara berakhir, perhatian terhadap isu ini kembali mereda.

Dampak Minimnya Pemberitaan pada Kesadaran Publik

Rendahnya perhatian media terhadap isu iklim berdampak langsung pada tingkat kesadaran masyarakat. Berdasarkan survei yang dilakukan Remotivi pada Februari 2023, sebanyak 63 persen responden tidak menganggap krisis iklim sebagai ancaman serius. Survei ini melibatkan 1.097 responden dari wilayah urban dan pedesaan, dengan tujuan mengukur tingkat kepedulian masyarakat terhadap perubahan iklim.

“Beberapa responden memang sudah sadar tentang perubahan iklim, tetapi jumlah mereka yang menyangkal cukup tinggi, yaitu sekitar 22,8 persen,” ujar Editor Remotivi, Geger Riyanto, dikutip dari Forest Digest.

Selain itu, sebanyak 34,2 persen responden masih percaya bahwa perubahan iklim adalah fenomena alami, bukan akibat aktivitas manusia.

Survei lain yang dilakukan Development Dialogue Asia (DDA) pada 2021 mendukung temuan ini. Survei yang melibatkan 500 responden menunjukkan hanya 47 persen masyarakat percaya bahwa krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia. Sementara itu, 12 persen lainnya menganggap krisis iklim sebagai fenomena alam murni.

Kesadaran yang Tidak Diikuti Aksi

Meskipun 64 persen responden survei Remotivi mengaku khawatir terhadap dampak perubahan iklim, kekhawatiran ini tidak diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Geger menyebut fenomena ini sebagai “climate in-activism,” yakni kesadaran terhadap krisis iklim yang tidak diikuti dengan aksi nyata. “Padahal, mitigasi krisis iklim membutuhkan gerakan kolektif,” katanya.

Strategic Communications Consultant DDA, Enggar Paramita, menegaskan kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan masih sangat rendah. “Sebanyak 88 persen orang Indonesia pernah mendengar tentang krisis iklim, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memahami artinya,” ujarnya.

Pentingnya Peran Media

Para ahli sepakat bahwa media memainkan peran penting dalam membangun kesadaran dan mendorong aksi terkait krisis iklim. Sebagai isu yang kompleks, perubahan iklim membutuhkan penyampaian informasi yang sederhana dan mudah dicerna. Media juga perlu konsisten mengangkat isu ini, bukan hanya saat ada peristiwa besar seperti COP29.

Geger Riyanto menekankan media harus menjadi penghubung antara data ilmiah dan masyarakat awam. “Media memiliki peran penting dalam mendorong pengetahuan, memberikan persepsi, dan meningkatkan kesadaran tentang krisis iklim sebagai isu mendesak,” katanya.

Solusi dan Tindakan

Untuk meningkatkan kesadaran publik, media perlu memprioritaskan isu lingkungan secara konsisten. Selain itu, pemberitaan harus menggunakan pendekatan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Contohnya, media dapat mengangkat cerita tentang dampak langsung krisis iklim di Indonesia, seperti banjir, kekeringan, atau kebakaran hutan.

Selain itu, solusi global seperti pengurangan emisi karbon, transisi energi terbarukan, dan penghormatan terhadap ekosistem perlu terus disuarakan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peran individu dalam mitigasi krisis iklim juga menjadi langkah penting.

Minimnya pemberitaan media tentang krisis iklim di Indonesia menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap isu ini. Dengan tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah, peran media menjadi sangat krusial dalam mendorong perubahan pola pikir dan tindakan kolektif untuk menghadapi tantangan iklim yang semakin mendesak.(*)