KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai target net zero emissions (NZE) atau nol emisi karbon pada tahun 2060. Untuk mendukung pencapaian ini, berbagai langkah strategis tengah dirancang, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 51,51 persen pada tahun 2045.
Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Febrian Alphyanto Ruddyard mengatakan, fokus utama transisi energi akan diarahkan pada peningkatan penggunaan energi terbarukan dan pengurangan subsidi bahan bakar fosil.
Kebijakan ini juga mencakup implementasi kredit karbon secara luas serta dukungan terhadap penggunaan kendaraan listrik.
“Transisi energi diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk penerapan kebijakan karbon kredit, pengalihan subsidi bahan bakar fosil menuju subsidi energi terbarukan, serta penggunaan kendaraan listrik,” kata Febrian dalam sebuah acara di The Langham Hotel, Jakarta Selatan, Selasa, 26 November 2024.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan, sejalan dengan target NZE 2060.
Untuk mencapai target NZE, Febrian menjelaskan, Indonesia memerlukan investasi sebesar Rp794 triliun per tahun. Meski pemerintah dan sektor swasta diharapkan mengalokasikan 2 persen dari investasi mereka untuk sektor hijau, masih ada kesenjangan pendanaan yang signifikan.
“Meski pemerintah dan swasta mengalokasikan 2 persen dari investasinya ke investasi hijau, kesenjangan investasi tetap besar, yaitu mencapai Rp458,2 triliun per tahun dari 2025 hingga 2060,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan perlunya kolaborasi yang lebih intensif antara berbagai pihak, termasuk sektor swasta, pemerintah, serta lembaga internasional.
Dalam mendukung transisi energi hijau, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, menegaskan komitmen pemerintah untuk membuka peluang bagi pengusaha dan investor, baik domestik maupun asing.
“Kami membuka peluang kerja sama dengan semua negara dan institusi, baik dalam maupun luar negeri, selama membawa manfaat bersama. Kita menuju energi hijau lebih cepat dengan prinsip saling menguntungkan,” ujar Rosan di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Minggu, 17 November 2024.
Salah satu sektor yang menjadi perhatian utama adalah energi baru terbarukan (EBT). Rosan berharap target NZE 2060 dapat dicapai lebih cepat dengan dukungan teknologi dan kolaborasi internasional.
Langkah-langkah menuju NZE mencakup upaya untuk mengintegrasikan berbagai kebijakan strategis, mulai dari pengurangan emisi karbon, transformasi sistem energi, hingga pengembangan teknologi hijau.
Dukungan internasional, baik melalui pendanaan maupun transfer teknologi, menjadi faktor kunci dalam percepatan transisi energi ini. Pemerintah berharap kerja sama lintas negara dapat memperkuat posisi Indonesia dalam mencapai tujuan NZE lebih cepat dari target yang telah ditetapkan.
Dengan komitmen kuat pemerintah dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, transformasi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan diharapkan dapat membawa manfaat jangka panjang bagi Indonesia dan dunia.
Dari 11 hingga 22 November, hampir 200 negara berkumpul di agenda iklim COP29 untuk urun rembuk soal duit buat iklim. Duit ini bakal jadi kunci agar transisi energi bersih bisa jalan dan negara-negara miskin enggak kelimpungan hadapi dampak perubahan iklim.
Mereka membicarakan soal berapa banyak duit yang harus dikumpulkan, dari mana aja sumbernya, dan siapa yang wajib bayar.
Dilansir dari Reuters, pada 2009, negara-negara kaya berjanji memberikan USD100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang. Duit itu baru beneran kekumpul pada 2022. Tapi, janji USD100 miliar batasnya habis tahun ini. Nah, mulai tahun depan, bakal ada target baru. Sayangnya, negara-negara masih pada hitung-hitungan. Targetnya mungkin bakal ada dua lapis:
1. Sumbangan pokok dari pemerintah negara kaya.
2. Tambahan dari lembaga keuangan internasional atau investor swasta.
Dulu, duitnya mayoritas dari anggaran negara. Tapi sekarang banyak yang mulai minta swasta ikutan urun.
Amerika Serikat (AS), misalnya, memberikan hampir USD10 miliar tahun lalu. Tapi itu masih kalah dari Uni Eropa yang menyumbang USD31 miliar. Masalahnya, kalau Donald Trump, Presiden AS terpilih, sumbangan dari negeri Paman Sam itu bisa hilang. Ini bikin pusing karena Amerika salah satu penyumbang terbesar. Trump dikenal tak suka dengan pendanaan iklim negara-negara berkembang karena hal itu membebani Negeri Paman Sam.
Ada juga tuntutan biar negara-negara kaya yang berkembang pesat, kayak China dan negara minyak Teluk biar ikut nyumbang. Tapi, China nolak mentah-mentah. Menurut mereka, tanggung jawab lebih besar ada di negara-negara industri lama kayak Inggris atau Amerika.
China udah invest miliaran buat energi bersih dan kendaraan listrik. Tapi, mereka jalan sendiri, enggak ikut aturan PBB.
Negara berkembang bilang kebutuhan mereka buat hadapi iklim rusak itu lebih dari USD1 triliun per tahun. Contoh, negara-negara Arab minta targetnya USD1,1 triliun per tahun, dengan USD441 miliar dari kantong negara maju. Sementara, Afrika, India, dan negara-negara pulau kecil juga setuju kalau angka USD1 triliun itu realistis. Tapi, mereka beda pendapat soal porsinya.
Di sisi lain, negara kaya masih bingung. Mereka bilang angka segitu susah diwujudkan apalagi dengan ekonomi dunia yang lagi seret.
Perubahan iklim makin mengerikan. Planet udah makin panas, sekitar 1,3 derajat Celsius lebih tinggi dari suhu rata-rata dulu. Ini bikin banjir makin parah, badai makin ganas, dan gelombang panas enggak ketulungan.
Masalahnya, janji pemotongan emisi negara-negara masih jauh dari cukup. Kalau COP29 gagal bikin kesepakatan duit besar, negara-negara bakal cari alasan buat enggak naikin ambisi iklim mereka alias penggunaan bahan bakar fosil dalam jumlah besar akan jalan terus.
Parahnya lagi, investasi energi bersih dunia masih timpang. Afrika, misalnya, cuma dapat 2 persen dari total investasi energi terbarukan global dalam 20 tahun terakhir.
Jadi, akankah duitnya kekumpul? Kesepakatan di COP29 harus disetujui semua negara. Kalau gagal, bakal susah mencegah krisis iklim yang lebih buruk. Yang jelas, kita butuh lebih dari sekadar janji. Kita butuh aksi, dan, ya, duitnya.
COP29 resmi digelar di Baku, Azerbaijan, sejak Senin, 11 November 2024. Tapi forum itu tak langsung ada pembahasan serius soal iklim. Faktanya, sesi pertama malah diwarnai sembilan jam adu argumen di balik layar. Isunya bukan soal cuaca ekstrem atau emisi karbon, tapi agenda diskusi. Setelah itu disepakati, barulah perhatian beralih ke topik utama yang nggak kalah panas: duit.
Buat yang belum akrab, COP adalah singkatan dari Conference of the Parties. Ini adalah ajang para negara, hampir 200 jumlahnya, yang udah tanda tangan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Tahun ini, giliran Azerbaijan yang jadi tuan rumah, negara tempat sumur minyak pertama dunia dibor. Di sini, selain bau bahan bakar yang masih tercium di udara, topik pembahasan juga dipenuhi aroma duit yang besar.
Di Baku, negara-negara berkembang rame-rame nuntut negara kaya buat bayar kompensasi. Duit itu bakal dipakai buat:
1. Mengurangi polusi karbon.
2. Beralih dari energi fosil ke energi bersih.
3. Hadapi dampak bencana iklim yang makin ngeri, dari banjir sampai kekeringan.
Agar konferensi ini tidak langsung chaos dari awal, Presiden COP29 yang baru, Mukhtar Babayev, mengumumkan kabar baik, bahwa ada kesepakatan soal perdagangan hak emisi karbon. Katanya, ini bisa buka dana sampai USD250 miliar (sekitar Rp3.875 triliun) per tahun buat bantu negara miskin.
Tapi enggak semua seneng. Erika Lennon, pakar hukum lingkungan internasional, ngingetin kalau keputusan terburu-buru tanpa diskusi itu bahaya. Bisa-bisa malah bikin negosiasi berikutnya jadi berantakan.
Ketika obrolan beralih ke dana besar, angka yang muncul bikin melongo: negara berkembang bilang butuh USD1,3 triliun (Rp20.150 triliun) per tahun. Angka ini banyak disuarakan negara-negara Afrika, yang walaupun cuma nyumbang 7 persen emisi gas rumah kaca dunia, udah sering kena getah krisis iklim dari banjir parah sampai kekeringan panjang.
Presiden Babayev langsung pasang nada tegas di pembukaan: “Dana ini harus menggantikan target lama yang cuma USD100 miliar per tahun.”
Negara-negara kaya, meski sadar angka itu besar, masih pada bingung cara ngumpulinnya. Skema pendanaannya beragam, mulai dari hibah, pinjaman lunak, sampai investasi swasta. Babayev sendiri bilang, “Angka ini memang kelihatan fantastis, tapi enggak sebanding sama biaya yang harus kita tanggung kalau enggak bertindak.” (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.