Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Jejak Karbon Emiten Konsumer

Rubrik: Ekonomi Hijau | Diterbitkan: 24 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Jejak Karbon Emiten Konsumer

KABARBURSA.COM - PERUBAHAN iklim akibat emisi karbon bukan lagi isu masa depan, tapi sudah jadi kenyataan pahit yang kita hadapi hari ini. Menurut laporan NASA, kenaikan suhu Bumi hingga 2 derajat Celsius saja sudah cukup untuk menimbulkan dampak mengerikan: dari pergeseran ekosistem, kebakaran hutan, naiknya permukaan laut, hingga hilangnya terumbu karang yang menopang kehidupan jutaan orang. Jika tak segera diatasi, risiko ini akan memukul sektor-sektor penting seperti pertanian, perikanan, dan tentunya industri, yang jadi tulang punggung ekonomi global.

Untuk itu, dunia kini berlomba mencapai netral karbon atau emisi nol. Artinya, jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer harus setara dengan yang diserap kembali. Transisi energi, seperti mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU batu bara dengan energi bersih, menjadi langkah utama dunia hari ini. Namun, ini bukan sekadar soal teknologi. Kita juga perlu menjaga hutan, mangrove, hingga menerapkan praktik pertanian rendah karbon.

Indonesia, sayangnya, masih jauh dari ambisi global. Jika negara-negara maju seperti Uni Eropa menargetkan netral karbon pada 2050, Indonesia baru menargetkan 2070. Celakanya, penundaan ini bukan cuma membuat kita terus menghirup udara kotor lebih lama, tapi juga merugikan ekonomi. Di masa depan, hanya produk dengan sertifikat hijau yang bisa bersaing di pasar internasional. Semakin lama kita menunda, semakin besar pula ongkos yang harus ditanggung.

Penyumbang Emisi Terbesar 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor industri dan pengolahan adalah penyumbang emisi karbon terbesar ketiga di Indonesia, dengan emisi karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) yang terus meningkat setiap tahun. Pada 2022 saja, sektor ini menghasilkan 340.711 Gigagram karbon dioksida ekuivalen. Artinya, sektor industri memikul tanggung jawab besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

[caption id="attachment_101733" align="alignnone" width="1179"] Data emisi gas rumah kaca menurut lapangan usaha di Indonesia menunjukkan tren fluktuatif selama periode 2018-2022. Industri pengolahan menjadi penyumbang emisi terbesar pada 2022 dengan angka 340.711 Gigagram CO2 ekuivalen, diikuti oleh sektor pengadaan listrik dan gas sebesar 297.221 Gg CO2e. Sementara itu, sektor transportasi mulai menunjukkan peningkatan emisi setelah sempat menurun di tahun-tahun sebelumnya. Sumber Laporan Neraca Arus Emisi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia BPS.[/caption]

Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat sekitar 64 persen emisi dari sektor industri berasal dari penggunaan energi, diikuti limbah (24 persen), dan proses produksi (12 persen). Hal ini menegaskan bahwa transisi energi di sektor industri adalah langkah tak terelakkan. Pada 2022, upaya dekarbonisasi sektor industri berhasil menurunkan emisi sebesar 53,9 juta ton CO2e. Meski masih di bawah target, capaian ini menunjukkan bahwa transisi menuju emisi nol bukanlah misi mustahil.

Sektor Konsumer Juga Konsumen Batu Bara

Tak pelak lagi kalau sektor konsumer adalah satu dari sekian sektor yang masuk dalam kategori industri dan pengolahan—nomenklatur yang dibuat oleh BPS.

Sektor ini memang tidak langsung menggunakan batu bara melainkan bergantung pada pasokan listrik dari PLN yang sumber energinya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU. Penggunaan energi fosil ini, misalnya, diperlukan untuk pabrik-pabrik pengolah bahan mentah yang akan dijadikan produk makanan seperti margarin, minyak nabati, bumbu dapur, dan lain-lain.

Emisi karbon dari perusahaan konsumer besar seperti Unilever, Mayora, dan Indofood kini punya tantangan besar: bagaimana mereka memproduksi barang secara berkelanjutan tanpa menurunkan kualitas atau margin keuntungan perusahaan?

Meningkatnya permintaan produk rendah karbon di pasar internasional memberikan tekanan tambahan bagi sektor ini. Survei Ipsos dan Yara menunjukkan kalau 51 persen orang Eropa rela bayar lebih mahal asalkan produk olahan makanan atau minuman dibuat tanpa bahan bakar fosil. Soalnya, sekitar seperempat emisi gas rumah kaca atau GRK berasal dari produksi makanan.

Di satu sisi, ini adalah peluang untuk beradaptasi dengan pasar global. Di sisi lain, transformasi menuju praktik yang lebih hijau memerlukan investasi besar, baik dalam bentuk teknologi maupun sumber daya manusia.

Dengan segala tantangan ini, pertanyaannya bukan lagi apakah sektor konsumer bisa berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim, tapi bagaimana mereka bisa melakukannya secepat mungkin. Sebab, taruhannya bukan hanya reputasi, tapi juga keberlanjutan bisnis mereka sendiri di masa depan.

Nah, ngomong-ngomong soal upaya emiten konsumer buat nurunin emisi sambil tetap jaga cuan, kita enggak bisa lepas dari nama-nama besar kayak PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), sampai PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

Mereka ini pemain utama di industri konsumer yang enggak cuma mikirin bikin mi me instan atau margarin biar laku, tapi juga mulai peduli sama jejak karbon. Tentu aja, tantangan mereka enggak main-main, yakni harus bikin produk yang tetap dicintai pasar, sambil memastikan planet ini nggak makin kotor akibat GRK.

Yuk, kita intip lebih dalam, seberapa serius mereka dalam perjalanan menuju dunia yang lebih hijau!

1. PT Mayora Indah Tbk (MYOR)

Kalau kita lihat data emisi gas rumah kaca (GRK) MYOR selama tiga tahun terakhir, klaim bahwa ada tren menurun rasanya agak perlu dipertanyakan. Yang ada malah tren stagnan dengan sedikit naik-turun. Laporan Tahunan & Keberlanjutan 2023 mereka, tertulis:

“Kami telah menggunakan lebih banyak bahan bakar bersih seperti biomassa dan gas alam. Intervensi kami dalam mengurangi kebutuhan energi untuk proses-proses kami telah menghasilkan penurunan intensitas emisi tahunan (YoY) secara keseluruhan.”

Faktanya kalau kita ngomongin intensitas GRK Mayora, trennya justru menunjukkan peningkatan pelan tapi pasti selama tiga tahun terakhir. Pada 2021, intensitas emisi tercatat sebesar 0,27 ton CO2e per unit produksi. Angka ini naik sedikit ke 0,28 ton CO2e per unit pada 2022, dan makin naik lagi ke 0,30 ton CO2e per unit di 2023.

Naiknya intensitas itu sejalan dengan GRK yang dihasilkan oleh MYOR. Begini angkanya: tahun 2021, emisi GRK tercatat di 237.772 ton CO2e. Tahun 2022, sempat turun sedikit jadi 236.369 ton CO2e (turun tipis banget, bahkan enggak sampai bikin lega). Tapi, di 2023, emisinya malah naik lagi ke 241.092 ton CO2e—lebih tinggi dari tahun 2021.

[caption id="attachment_101734" align="alignnone" width="1179"] Selama tiga tahun terakhir, emisi gas rumah kaca (GRK) PT Mayora Indah Tbk terus berfluktuasi. Meski berupaya menggunakan bahan bakar lebih bersih seperti biomassa dan gas alam, total emisi GRK pada 2023 mencapai 241.092 ton CO2-e, naik dari 236.369 ton CO2-e di 2022. Sumber: Laporan Berkelanjutan MYOR 2023.[/caption]

Selama 2023, mayoritas emisi ini atau tepatnya 69 persen, berasal dari Scope 2 alias emisi enggak langsung dari konsumsi listrik. Sementara itu, Scope 1 atau emisi langsung dari kegiatan operasional perusahaan cuma nyumbang 31 persen. Jadi, masalahnya jelas, ketergantungan pada listrik dari sumber energi konvensional (PLTU) masih jadi tantangan utama.

Soal konsumsi energi, MYOR sebenarnya mulai menunjukkan peningkatan proporsi energi terbarukan. Pada 2021, energi terbarukan hanya menyumbang 10,66 persen dari total konsumsi energi mereka. Angka ini pelan-pelan naik jadi 22,27 persen di 2022, dan kembali meningkat ke 27,74 persen di 2023.

Meski terlihat progres, jangan baikan kalau 72,26 persen energi MYOR masih berasal dari sumber tak terbarukan selama 2023. Artinya, energi batu bara dan gas alam masih mendominasi konsumsi perusahaan. Naiknya penggunaan energi terbarukan memang langkah bagus, tapi belum cukup buat ngangkat status MYOR jadi emiten hijau.

2. PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)

Unilever Indonesia ini bisa dibilang pemain senior di liga keberlanjutan. Kalau soal emisi karbon, perusahaan ini pelan-pelan mulai ngurangin beban bumi. Dari data Laporan Keberlanjutan 2023 yang mereka kasih, total emisi GRK dari kegiatan operasional mereka (Scope 1 dan Scope 2) sudah turun jauh, dari 20.858,40 ton CO2e di tahun 2021, jadi 16.516,70 ton CO2e di 2022, dan makin turun ke 14.662,90 ton CO2e di 2023.

[caption id="attachment_101739" align="alignnone" width="1179"] Jumlah dan intensitas emisi GRK Unilever. Sumber: Laporan Keberlanjutan UNVR 2023[/caption]

Kalau dibedah lebih jauh, mayoritas emisi ini datang dari energi tak terbarukan—alias gas dan light fuel oil atau bahan bakar hasil daur ulang—yang nyumbang 14.525,70 ton CO2e tahun lalu. Angka ini turun dari 15.994,39 ton CO2e pada 2022 dan 20.626,82 CO2e pada 2021.

Sedangkan dari emisi fosil lain bernama refrigeran alias bahan pendingin, Unilever menghasilkan GRK sekitar 137,20 ton CO2e. Sayangnya, untuk emisi dari energi terbarukan, Unilever masih nihil alias enggak ada angka yang tertulis di laporan ini. Artinya, laporan ini lebih berat di cerita operasional pabrik ketimbang jaringan listrik mereka.

Kalau ngomongin efisiensi, intensitas emisi Unilever per ton produk juga makin oke. Dari tahun 2015 yang angkanya bikin mata melotot di 119,76 kg CO2e per ton, sekarang mereka berhasil nurunin sampai 14,5 kg CO2e per ton di tahun 2023. Ini prestasi yang cukup gemilang, apalagi kalau dibandingkan 2022 yang masih di angka 15,56 kg CO2e per ton. Tapi agak mengecewakan karena angka ini naik dibanding 2021 yang hanya 12,9 kg CO2e per ton.

Meski tren menurun ini patut diapresiasi, ada PR gede buat Unilever, yakni bagaimana mereka mulai transisi ke energi terbarukan secara lebih agresif. Selama emisi terbesar masih datang dari energi fosil, target keberlanjutan global bisa jadi sekadar wacana.

Jadi, meskipun Unilever udah lumayan lari kencang di trek keberlanjutan, masih ada banyak belokan tajam yang perlu mereka lewati. Kalau enggak, bisa-bisa mereka kehabisan napas sebelum garis finis.

3. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)

Kalau ngomongin Indofood, yang kepikiran pasti langsung mi instan, minyak goreng, atau mungkin camilan-camilan lokal yang bikin nostalgia. Tapi, di balik kelezatan produk mereka, ada cerita soal emisi karbon yang cukup bikin kita merenung. Mari kita lihat jejak karbon emiten milik konglomerat Anthony Salim ini.

Laporan Keberlanjutan Indofood Tahun 2023 mencatat, total emisi gas rumah kaca (GRK) Indofood tercatat sebesar 1,82 juta ton CO2 ekuivalen. Dari jumlah ini, 82 persen emisi berasal dari Scope 1, alias emisi langsung. Nah, emisi Scope 1 ini datang dari tiga sumber utama, yakni pembakaran stasioner, perubahan alih guna lahan (land-use change), dan limbah dari proses pengolahan sawit (POME). Sisanya, 18 persen dari Scope 2, yakni emisi tidak langsung yang bersumber dari pembelian listrik.

Kalau dibedah lebih dalam, pembakaran stasioner alias bakar-bakar di tempat adalah penyumbang besar. Logikanya, dengan skala operasional Indofood yang masif, konsumsi energi berbasis fosil memang sulit dihindari. Ditambah lagi, ada alih guna lahan untuk perkebunan sawit yang juga menyumbang emisi dalam jumlah besar besar.

Mari kita lebih dalami lagi. Dalam laporan tersebut, sebanyak 0,62 juta ton CO2e emisi GRK Indofood bersumber dari empat biang yang mayoritas berasal dari listrik, yakni sebanyak 328.400 ton CO2e. Enggak heran, karena listrik masih jadi tulang punggung pabrik dan operasional mereka. Batu bara, si sumber emisi klasik, menyusul kedua dengan sumbangan 260.100 ton CO2e. Sementara itu, bahan bakar gas berkontribusi 77.800 ton, dan bahan bakar cair 9.400 ton.

Geser sedikit ke emisi lahan dan limbah (Scope 1), ini lebih menarik lagi. Totalnya mencapai 1,15 juta ton CO2e. Nah, di sinilah emisi gambut unjuk gigi, jadi penyumbang terbesar dengan angka fantastis 997.000 ton. Lalu, metana dari limbah kelapa sawit alias POME juga ikut-ikutan, dengan sumbangan 208.800 ton CO2e. Jangan lupakan si nitrogen oksida dari pupuk, yang menyumbang 128.900 ton. Bahkan, penggunaan bahan kimia juga nyumbang 4.700 ton, lho.

[caption id="attachment_101742" align="alignnone" width="1179"] Indofood mencatat total emisi energi sebesar 0,67 juta ton CO2-e, mayoritas berasal dari listrik (328.400 ton CO2-e) dan batu bara (260.100 ton CO2-e). Sementara itu, emisi dari penggunaan lahan dan limbah mencapai 1,15 juta ton CO2-e, dengan emisi gambut mendominasi hingga 997.000 ton CO2-e. Foto: Dok. INDF[/caption]

Tapi ada kabar baiknya, konversi lahan (Land Conversion) justru jadi hero di sini. Alih-alih nambah emisi, malah berhasil menyerap 165.400 ton CO2e. Yah, semacam penghapus dosa karbon lah buat mereka.

Jalan Lambat Penurunan

Menurut laporan yang sama, ada progres penurunan emisi GRK absolut sebesar 8,4 persen dibandingkan baseline tahun 2018. Dari angka awal 737.800 CO2 ekuivalen, sekarang turun jadi 675.700 ton. Oke, ini patut diapresiasi. Tapi, kalau dibandingkan dengan skala dampak karbon dari operasional mereka, PR-nya masih banyak.

Berbicara soal intensitas energi, Indofood mengklaim ada peningkatan efisiensi energi sebesar 6,2 persen dibandingkan tahun 2018. Penggunaan energi terbarukan juga mulai digiatkan, mencapai 66,1 persen dari total konsumsi energi selama 2023. Ini langkah maju yang layak diapresiasi.

Tingkat intensitas energi mereka pada 2023 berada di angka 2,73 Gigajoule per ton produk, sedikit lebih baik dibandingkan 2018 yang mencapai 2,91 Gigajoule per ton. Artinya, meski produksi meningkat, konsumsi energi mereka makin efisien.

INDF melaporkan bahwa 62 unit operasionalnya telah tersertifikasi ISO 14001 untuk manajemen lingkungan, dan 25 unit lagi mengantongi ISO 50001 untuk efisiensi energi. Ini bagus, tapi sertifikasi jangan hanya jadi penghias dinding kantor. Implementasi nyata, terutama pada skala operasional besar seperti mereka, adalah yang terpenting.

4. PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP)

Masuk ke Indofood CBP, salah satu anak usaha Indofood yang paling terkenal karena mie instan-nya yang nyaris jadi simbol budaya. Tapi kali ini, kita enggak ngomongin soal mie, melainkan jejak karbon mereka.

Selama 2023, total emisi gas rumah kaca (GRK) Indofood CBP tercatat mencapai 342.800 ton CO2 ekuivalen. Angka ini tergolong stagnan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni 344.400 ton pada 2022, kemudian 333.300 ton pada 2021, dan 349.000 ton pada 2020. Angka tergila ada di 2019 yang mencapai 370.400 ron CO2 ekuivalen. Pada 2018, angkanya hampir sama seperti tahun kemarin, yakni 348.100 ton.

Kalau dibandingkan dengan tahun acuan 2018, emisi ini turun 1,5 persen. Ya, walaupun enggak drastis, tetap ada kemajuan.

Dari Mana Asalnya Emisi?

Sumber emisi Indofood CBP bisa dibilang cukup jelas. Sebanyak 73,8 persen berasal dari emisi langsung (Scope 1), yang didominasi pembakaran stasioner di pabrik-pabrik mereka. Sisanya, 26,2 persen berasal dari emisi tidak langsung (Scope 2) alias listrik yang mereka beli. Dalam konteks sumber energi, batu bara masih jadi andalan utama dengan kontribusi 65 persen, diikuti listrik sebesar 26,2 persen. Bahan bakar gas dan cair menyumbang porsi kecil, masing-masing 8,5 persen dan 0,3 persen.

Indikator lain yang menarik adalah intensitas emisi per ton produk. Selama 2023, angka ini berada di 0,346 ton CO2 per ton produk, turun dari 0,403 ton CO2 per ton produk di 2018. Secara total, Indofood CBP mencatat penurunan intensitas emisi sebesar 14,1 persen dibandingkan lima tahun lalu.

Meskipun sebagian besar energinya masih bersumber dari batu bara dan listrik konvensional, Indofood CBP mulai menunjukkan komitmen untuk mengurangi jejak karbon. Seperti mie instan yang butuh waktu tiga menit untuk matang, transformasi energi juga perlu proses.

Energi Terbarukan Indofood CBP

ICBP mencatat 37,9 persen konsumsi energinya di tahun 2023 berasal dari sumber terbarukan. Ini sebenarnya angka yang stabil dibandingkan tahun 2021 dan 2022 (masing-masing 37,9 persen dan 38,1 persen). Tapi kalau kita lihat ke belakang, pertumbuhannya lumayan terasa dari 30,4 persen pada 2018. Jadi, walaupun ada stagnasi, ini tetap lebih baik daripada nggak ada usaha sama sekali.

Namun, yang bikin kepala geleng-geleng adalah porsi energi dari batu bara dan listrik yang masih mendominasi. Batu bara menyumbang 45 persen dari total konsumsi energi Indofood CBP, sedangkan bahan bakar gas menyumbang 8,8 persen. Energi dari listrik dan cair juga menyusul dengan masing-masing 8 persen dan 0,3 persen. Sementara energi terbarukan jadi pahlawan dengan hampir 38 persen kontribusinya.

Angka-angka ini jelas menunjukkan perjalanan Indofood CBP menuju keberlanjutan masih panjang. Meski ada upaya meningkatkan penggunaan energi hijau, ketergantungan pada energi fosil masih tinggi. Tantangannya bukan cuma soal teknologi, tapi juga memastikan transisi energi ini enggak bikin harga mi instan melambung tinggi—soalnya kalau itu terjadi, bisa jadi krisis bagi anak kos.

Jadi, apakah Indofood CBP akan terus berlari ke arah keberlanjutan? Atau malah terjebak di lingkaran batu bara? Kita tunggu episode selanjutnya.(*)