KABARBURSA.COM - Energi nuklir belum menjadi primadona di pasar modal meskipun pemerintah terus mendorong transisi energi. Dalam forum COP29 di Baku, Azerbaijan, beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian investasi hijau sebesar USD235 miliar untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) dengan kapasitas 75 gigawatt dalam 15 tahun ke depan.
Meski rencana besar ini mencakup pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Bayu (PLTB), dan Panas Bumi (PLTP), sub sektor tenaga nuklir belum memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar modal. Financial Planner sekaligus CEO Mikirduit.com, Surya Rianto, menilai tenaga nuklir baru akan menarik jika terdapat emiten yang fokus pada pengembangan teknologi ini.
"Kalau ada emiten atau calon emiten di sektor tenaga nuklir mau IPO itu mungkin bisa menjadi menarik. Tapi, kalau enggak ada, korelasinya enggak menarik juga ke emiten energi ramah lingkungan lainnya," kata Surya kepada KabarBursa.com, Jumat, 22 November 2024.
[caption id="attachment_101508" align="alignnone" width="600"] Fasilitas reaktor nuklir Kartini di Yogyakarta. Foto: BRIN.[/caption]
Surya menilai investor masih enggan terjun ke sektor energi terbarukan secara keseluruhan tanpa adanya stimulus tambahan. Menurut Surya, margin bisnis yang rendah dan biaya investasi tinggi menjadi kendala utama di sektor ini. "Untuk momen energi baru terbarukan saat ini butuh tambahan stimulus atau strategi agar bisa lebih boom. Kalau sekarang gongnya masih kurang," ujarnya.
Selain itu, periode balik modal yang panjang membuat sektor ini kurang menarik tanpa dukungan regulasi seperti pajak karbon. "Jadi, selain supply (dengan membangun energi baru terbarukan), dibutuhkan juga peningkatan demand dari regulasi pemerintah, seperti carbon tax dan sebagainya," kata Surya.
Surya menambahkan, kebijakan perihal energi terbarukan perlu dirancang secara hati-hati agar tidak memberikan dampak negatif terhadap perekonomian. Dengan tantangan yang ada, sektor tenaga nuklir masih menjadi bagian dari transisi energi yang belum menjanjikan untuk pasar modal dalam waktu dekat.
Anggota Komisi XII DPR RI, Muh Haris, menekankan pentingnya peningkatan investasi di sektor energi hijau atau energi baru terbarukan (EBT). Langkah ini dianggap strategis untuk mendorong agenda transisi energi sekaligus mewujudkan target swasembada energi nasional.
Menurut Haris, investasi di sektor ini tidak hanya memastikan ketersediaan energi yang ramah lingkungan, tetapi juga mendukung keadilan energi serta berkontribusi pada pencapaian target nasional dan global terkait perubahan iklim.
Peningkatan investasi dinilai menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memprioritaskan keberlanjutan energi nasional sebagai bagian dari solusi jangka panjang menghadapi tantangan perubahan iklim dan kebutuhan energi yang terus meningkat.
“Tren investasi di sektor EBT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun belum mencapai potensi maksimal. Sebagai contoh, pada tahun 2023, nilai investasi mencapai USD1,5 miliar, sementara target pada 2024 adalah USD 2,6 miliar. Angka ini mencerminkan komitmen kuat Indonesia untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan transisi energi bersih,” ungkap Haris dalam keterangannya, Jumat, 22 November 2024.
Menurutnya, investasi di sektor energi hijau harus didasarkan pada tiga pilar utama yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“Pertama, proyek energi hijau harus memberikan akses energi yang merata ke seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil, dan menciptakan lapangan kerja baru untuk masyarakat lokal,” ungkapnya.
Haris menyebut, pelibatan komunitas adat dan masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengelolaan proyek energi menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan. “Kedua, peningkatan investasi di sektor EBT mendukung kemandirian energi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor,” terangnya.
Potensi energi terbarukan, kata Haris, seperti tenaga surya yang mencapai 207,8 GW dan panas bumi yang mencapai 23,9 GW, dapat menjadi sumber utama bauran energi nasional, memperkuat stabilitas ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Ketiga, transisi ke energi terbarukan dapat membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen pada tahun 2030 sesuai dengan Paris Agreement. Konservasi lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan pengelolaan limbah, harus menjadi bagian integral dari setiap proyek energi terbarukan.” katanya.
Presiden Prabowo Subianto berkomitmen mendorong transisi energi baru terbarukan sebagai upaya menekan suhu global yang kian memanas. Salah satu langkah konkret yang disampaikan adalah rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pernyataan ini disampaikan dalam Paviliun Indonesia di COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, beberapa waktu lalu.
Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, mengungkapkan rencana pembangunan 75 Gigawatt (GW) kapasitas listrik berbasis energi terbarukan. Rencana tersebut mencakup pembangunan PLTA, geothermal, PLTS, PLT Angin, 5 GW energi nuklir, serta 70 ribu sirkuit jaringan transmisi. Namun, IESR mengingatkan, rencana tersebut masih belum sepenuhnya selaras dengan target Persetujuan Paris untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius.
Indonesia sebelumnya menyepakati dalam forum COP-28 untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan efisiensi energi (double down) pada 2030.
Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, komitmen ini harus dituangkan ke dalam dokumen strategis seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Fabby menegaskan pentingnya strategi phase-down dan phase-out PLTU batu bara paling lambat pada 2045 untuk mendukung transisi energi terbarukan yang agresif dan dekarbonisasi sektor kelistrikan pada 2050.
Menurut Fabby, langkah ini krusial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Ia juga menyoroti implementasi rencana energi terbarukan Indonesia masih jauh dari harapan. Renacana besar mengenai energi terbarukan sering diumumkan, tetapi kata Fabby, pelaksanaannya belum sesuai dengan target yang dicanangkan.
IESR pun menilai tanpa upaya nyata dan strategi yang terukur, target pembatasan kenaikan suhu global tidak akan tercapai. “Ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025,” kata Fabby dalam keterangan tertulis, Kamis, 14 November 2024.
Fabby mendesak pemerintah untuk tidak hanya menyampaikan target ambisius di forum internasional, tetapi juga memastikan implementasi serta langkah konkret dalam mengatasi berbagai hambatan dan tantangan. Menurutnya, dengan cara itu, target yang ditetapkan dapat benar-benar tercapai dan tidak sekadar menjadi wacana.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.