KABARBURSA.COM - Pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 pada 27 November mendatang menjadi kesempatan untuk menentukan arah kebijakan masa depan. Di tengah krisis iklim yang kian terasa dampaknya, kepala daerah yang berpihak pada lingkungan dan ketahanan pangan menjadi kebutuhan mendesak.
Project Lead for Food Policy di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Raisa Andriani, mengatakan krisis iklim tidak hanya menjadi ancaman bagi ekosistem, tetapi juga berdampak langsung pada kesehatan, sosial hingga ekonomi masyarakat. “Krisis iklim telah berdampak pada kesehatan masyarakat, menurunnya akses masyarakat pada pangan sehat dan berkualitas,” ujar Raisa dikutip dari laman CISDI, Kamis, 21 November 2024.
Raisa menambahkan, perubahan iklim mengacaukan siklus bercocok tanam sehingga memengaruhi kualitas dan kuantitas hasil pangan lokal. Kondisi ini diperparah dengan prediksi Badan Pangan Dunia (FAO), yang menyebutkan hasil pertanian di Pulau Jawa bisa merosot hingga 5 persen pada 2025 dan 10 persen pada 2050 akibat krisis iklim.
Meski pemerintah telah mencantumkan solusi dalam RPJMN 2020-2024 dan RPJPN 2024-2045, implementasi di tingkat daerah masih memerlukan pengawalan ketat.
“Implementasi RPJPN patut dikawal dan diintegrasikan hingga tingkat daerah lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),” kata Raisa.
Di tengah pilkada serentak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoba menjadikan isu lingkungan dan ketahanan pangan sebagai tema penting dalam debat calon kepala daerah. Beberapa kandidat bahkan mencantumkan komitmen menangani krisis iklim dalam visi-misi mereka. Namun, CISDI menilai fokus mereka masih berkutat pada pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan yang kerap mengabaikan aspek lingkungan dan keadilan sosial.
Masalah lain yang muncul adalah keterbatasan akses masyarakat terhadap pangan sehat. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023, pangan ultra proses dan minuman berpemanis menjadi pilihan masyarakat karena murah dan mudah ditemukan.
Tingginya konsumsi makanan jenis ini memicu risiko obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung. “Konsumsi pangan tidak sehat secara signifikan meningkatkan risiko PTM seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, dan sebagainya,” kata Raisa.
Program makan bergizi gratis (MBG) yang digagas pemerintah daerah juga menghadapi tantangan serupa. CISDI mendorong pemerintah daerah untuk mengutamakan pangan lokal dalam program ini dan menolak masuknya pangan tidak sehat, terutama yang tinggi gula, garam, dan lemak.
Raisa mengatakan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah sangat dibutuhkan untuk menciptakan rantai pasok pangan sehat yang berkelanjutan. Kepala daerah, dalam hal ini, menjadi sosok kunci dalam menjawab tantangan besar ini.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi Indonesia akan mengalami kenaikan suhu udara pada 2025. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan suhu udara rata-rata bulanan di Indonesia diperkirakan mengalami anomali antara +0,3 hingga +0,6 derajat Celsius sepanjang Januari hingga Desember 2025.
“Ini lebih hangat dibanding dengan normalnya. Normalnya adalah rata-rata suhu selama 30 tahun terakhir," kata Dwikorita dalam Konferensi Pers Climate Outlook 2025 yang disiarkan secara daring di kanal YouTube BMKG, Senin, 4 November 2024.
Kenaikan suhu paling signifikan diperkirakan terjadi pada periode Mei hingga Juli 2025, dengan rata-rata mencapai 0,4 derajat Celsius di atas normal. Wilayah yang diprediksi mengalami anomali suhu tertinggi meliputi Sumatra bagian selatan, Jawa, NTB, dan NTT.
Menurut Dwikorita, dinamika atmosfer dan berbagai faktor lain turut memengaruhi kondisi cuaca di Indonesia, termasuk pengaruh dari Samudra Pasifik, Samudra Hindia, hingga fenomena gelombang ekuator seperti Madden Julian Oscillation (MJO). “Pandangan iklim penting menjadi pegangan untuk menyusun perencanaan satu tahun ke depan," katanya
Dalam konteks yang lebih luas, BMKG mengaitkan kenaikan suhu ini dengan krisis iklim global. Studi menunjukkan bahwa suhu global telah meningkat sebesar 1,45 derajat Celsius dibandingkan rata-rata periode pra-industri (1850-1900). Akibatnya, fenomena seperti kenaikan muka air laut dan pencairan es kutub terus terjadi.
BMKG mencatat laju kenaikan muka air laut global meningkat dari 2,1 mm per tahun pada periode 1993-2002 menjadi 4,4 mm per tahun pada 2013-2021. Penyebab utama adalah mencairnya gletser dan lapisan es akibat pemanasan global.
Indonesia tidak luput dari dampak ini. Salah satu contohnya adalah mencairnya es tropis di Puncak Jaya, Papua, yang menyusut hingga 98 persen sejak tahun 1850. Pada April 2022, luas salju abadi di ketinggian 4.884 meter ini tinggal 0,23 kilometer persegi dari sebelumnya 19,23 kilometer persegi.
Krisis iklim juga tercermin dari kenaikan suhu rata-rata di Indonesia, yang mencapai 0,15 derajat Celsius per dekade. Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia dan banyak negara lain terancam menghadapi kekeringan serta perubahan pola cuaca yang ekstrem dalam beberapa dekade mendatang.
Dwikorita menegaskan krisis iklim bukan sekadar isu global, tetapi sudah memberikan dampak nyata di Indonesia. Perubahan iklim memengaruhi pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara, yang berdampak langsung pada lingkungan serta kehidupan manusia.
“(Krisis iklim) harus direspons secara serius. Situasi ini sangat mendesak,” ujar Dwikorita.
Bukti lain dari krisis ini adalah pencapaian suhu global yang hampir mendekati batas Perjanjian Paris 2015. Dalam perjanjian tersebut, negara-negara berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius. Namun, saat ini kenaikan suhu sudah mencapai 1,45 derajat Celaiua atau mendekati batas yang disepakati.(*)