KABARBURSA.COM — Anggota Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muh Haris menekankan pentingnya peningkatan nilai investasi di sektor energi hijau atau Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal itu dianggap perlu sebagai salah satu langkah mendorong agenda transisi energi dan mewujudkan target swasembada energi.
Di samping itu, Haris juga menilai peningkatan investasi menjadi langkah strategis untuk memastikan ketersediaan energi yang ramah lingkungan, berkeadilan, dan berkontribusi pada pencapaian target nasional dan global terkait perubahan iklim. Ia menilai, peningkatan investasi di sektor energi hijau menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memprioritaskan keberlanjutan energi nasional.
“Tren investasi di sektor EBT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun belum mencapai potensi maksimal. Sebagai contoh, pada tahun 2023, nilai investasi mencapai USD 1,5 miliar, sementara target pada 2024 adalah USD 2,6 miliar. Angka ini mencerminkan komitmen kuat Indonesia untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan transisi energi bersih,” ungkap Haris dalam keterangannya di Jakarta, Jum'at, 22 November 2024.
Diketahui, Indonesia menandatangani beberapa perjanjian penting yang menggarisbawahi komitmen transisi energi dalam forum COP29 di Baku, Azerbaijan. Salah satunya investasi senilai USD 235 miliar untuk pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT dengan kapasitas 75 gigawatt dalam 15 tahun ke depan.
Komitmen ini didukung oleh proyek-proyek besar seperti pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Menurutnya, bahwa investasi di sektor energi hijau harus didasarkan pada tiga pilar utama yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“Pertama, proyek energi hijau harus memberikan akses energi yang merata ke seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil, dan menciptakan lapangan kerja baru untuk masyarakat lokal,” ungkapnya.
Haris menyebut, pelibatan komunitas adat dan masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengelolaan proyek energi menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan. “Kedua, peningkatan investasi di sektor EBT mendukung kemandirian energi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor,” terangnya.
Potensi energi terbarukan, kata Haris, seperti tenaga surya yang mencapai 207,8 GW dan panas bumi yang mencapai 23,9 GW, dapat menjadi sumber utama bauran energi nasional, memperkuat stabilitas ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Ketiga, transisi ke energi terbarukan dapat membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen pada tahun 2030 sesuai dengan Paris Agreement. Konservasi lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan pengelolaan limbah, harus menjadi bagian integral dari setiap proyek energi terbarukan.” ungkapnya.
Haris juga mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi yang mendukung iklim investasi, termasuk insentif fiskal dan jaminan hukum bagi investor di sektor energi hijau. “Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta dan mitra internasional, seperti yang dilakukan melalui kerja sama dengan KfW senilai €1,2 miliar, sangat penting untuk mempercepat realisasi proyek energi hijau,” tambahnya.
Haris juga berkomitmen untuk terus mengawal kebijakan yang mendukung transisi energi dan mendorong percepatan realisasi investasi di sektor EBT. Menurutnya, percepatan transisi energi akan berdampak pada kelestarian bumi yang berkelanjutan bagi masa mendatang. “Untuk memberikan kontribusi nyata Indonesia dalam menjaga kelestarian bumi bagi generasi mendatang,” tutupnya.
Presiden Prabowo Subianto baru saja menandatangani kontrak baru dengan pemerintahan China terkait energi hijau.
Penandatanganan dilakukan di sela-sela lawatan Prabowo ke China yang dijadwalkan pada 8 hingga 11 November 2024. Kesepakatan ini disebut-sebut sebagai babak baru dalam kolaborasi kedua negara memperkuat sektor energi bersih dan mineral hijau.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dan dua pejabat tinggi China, yakni Menteri Perdagangan (MOFCOM) Wang Wentao dan Ketua National Development and Reform Commission (NDRC) Zheng Shanjie, turut berperan penting dalam pengesahan MoU ini.
Salah satu kesepakatan utama yang disepakati adalah kerja sama pengembangan industri mineral hijau, yang sejalan dengan visi global mempercepat transisi menuju energi berkelanjutan.
MoU antara Indonesia dan China di bawah MOFCOM berfokus pada pengembangan industri mineral hijau dari tahap penambangan hingga hilirisasi di Indonesia.
Kerja sama ini sejalan dengan komitmen kedua negara dalam memerangi perubahan iklim dan mendukung pengembangan energi bersih.
“MoU ini menjadi langkah konkret untuk memperkuat rantai pasok mineral berkelanjutan dan menciptakan peluang investasi besar dalam pengembangan energi bersih di kedua negara,” ujar Bahlil setelah penandatanganan, dikutip dari Antara, Minggu, 10 November 2024.
Kerja sama ini diharapkan akan mendorong investasi signifikan dari perusahaan China untuk memperkuat industri mineral hijau di Indonesia, sebuah sektor yang menjadi kunci bagi masa depan energi bersih.
Istilah mineral hijau mengacu pada produk mineral yang diperlukan untuk industri ramah lingkungan dan rendah karbon, serta proses eksplorasi dan pemanfaatan mineral yang ramah lingkungan.
Dengan semakin mendesaknya kebutuhan global untuk mengurangi emisi karbon, mineral hijau seperti nikel, tembaga, dan litium menjadi bahan utama bagi industri kendaraan listrik, energi terbarukan, serta teknologi penyimpanan energi.(*)