KABARBURSA.COM - Indonesia merumuskan empat langkah strategis untuk mendukung mitigasi iklim, mencakup pencegahan hingga penegakan hukum di pengadilan. Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Rido Sani, memaparkan berbagai kasus lingkungan di Indonesia, seperti pembalakan liar, perusakan ekosistem mangrove dan gambut, perdagangan satwa liar ilegal, hingga pembakaran dan pembuangan sampah terbuka, berkontribusi besar pada peningkatan emisi gas rumah kaca.
Berbicara di Paviliun Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Azerbaijan, kemarin, Rasio menegaskan aktivitas ilegal ini menciptakan tantangan besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim. “Kami menerapkan empat pilar melawan aktivitas ilegal yang menyebabkan tantangan dalam penganan perubahan iklim dengan pilar pertama melakukan pencegahan,” jelasnya.
Langkah ini diperkuat dengan pilar berikutnya, yakni patroli rutin di kawasan hutan dan pengawasan ketat pada perusahaan yang memegang izin usaha, terutama yang menghasilkan limbah. Pilar ketiga, KLHK akan melakukan audit lingkungan dan menjatuhkan sanksi administratif untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan perundangan.
Namun, jika pelanggaran terus berlanjut, pilar keempat adalah langkah selanjutnya, yakni penegakan hukum yang lebih tegas diterapkan dengan pendekatan multi-instrumen, salah satunya penggunaan hukum restoratif. Strategi ini dirancang untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin memukul kelompok rentan di Indonesia, terutama akibat ulah korporasi yang gagal memenuhi kewajiban lingkungan mereka.
Rasio mengatakan perusahaan-perusahaan yang tidak patuh turut memperburuk emisi gas rumah kaca sehingga dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat rentan. “Banyak aktivitas mereka yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca," katanya.
Perubahan iklim semakin liar di Indonesia. Polusi udara, krisis air, pemanasan global, dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi empat ancaman utama. Temuan ini dibahas dalam Pertemuan Nasional Result Based Payment (RBP) REDD+ pada Rabu, 21 Februari 2024, lalu di JW Mariott Hotel, Jakarta, yang juga dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam pidatonya, Sri Mulyani menekankan betapa seriusnya dampak empat ancaman ini. Berikut rinciannya.
1. Polusi Udara
Gas beracun dari asap kendaraan, pabrik, dan pembakaran bahan bakar fosil mencemari udara. Udara segar digantikan oleh racun yang memicu asma, bronkitis, hingga kanker paru-paru. Dampaknya juga menjangkau ekosistem, menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan ekosistem air. Polusi udara menjadi motor pemanasan global karena gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana terus meningkat.
Solusi: Beralih ke energi terbarukan, menggunakan kendaraan ramah lingkungan, menerapkan standar emisi ketat untuk industri, serta memperluas ruang hijau di perkotaan.
2. Krisis Air
Perubahan pola cuaca akibat iklim memicu kekeringan di berbagai wilayah. Kekurangan air bersih menghantam kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Krisis air membuka jalan bagi kelaparan dan konflik atas perebutan sumber daya. Gangguan ini tak hanya mengancam kebutuhan domestik, tapi juga melumpuhkan sektor pertanian dan industri.
Solusi: Menghemat air, memanfaatkan teknologi hemat air, membangun infrastruktur penampungan air hujan, melestarikan hutan, dan menjaga daerah aliran sungai.
3. Pemanasan Global
Gas rumah kaca menjebak panas matahari, membuat suhu Bumi terus melonjak. Akibatnya, berbagai bencana alam muncul: gelombang panas, badai, hingga kenaikan permukaan laut. Penyebab lainnya termasuk deforestasi dan perusakan hutan yang mempercepat laju pemanasan.
Dampaknya sangat jelas, mulai dari mencairnya es kutub, kenaikan permukaan laut, hingga perubahan pola curah hujan yang merusak kestabilan ekosistem.
Solusi: Mengurangi emisi gas rumah kaca dengan energi terbarukan dan efisiensi energi, melestarikan hutan, menanam pohon, serta mengembangkan teknologi adaptasi.
4. Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Perubahan iklim dan kerusakan habitat mendorong kepunahan spesies flora dan fauna. Keanekaragaman hayati yang hilang merusak keseimbangan ekosistem dan mengancam ketahanan pangan. Alih fungsi hutan, perburuan liar, dan pencemaran lingkungan menjadi penyebab utama. Ketidakseimbangan ini memunculkan risiko besar bagi keberlanjutan sumber daya alam.
Solusi: Melestarikan habitat alami, melindungi spesies yang terancam punah, memberantas perburuan liar, dan meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya keanekaragaman hayati.
Keempat ancaman ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga tantangan ekonomi dan sosial. Dalam pidatonya, Sri Mulyani menyerukan langkah-langkah strategis untuk menangkal dampak buruk perubahan iklim, dengan pendekatan yang mengintegrasikan upaya konservasi, pengelolaan sumber daya, dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam menghadapi empat ancaman utama krisis iklim, seperti polusi udara, krisis air, pemanasan global, dan hilangnya keanekaragaman hayati, kebutuhan akan pendanaan menjadi isu krusial. Upaya mitigasi dan adaptasi tak hanya membutuhkan kebijakan yang solid, tetapi juga dukungan pembiayaan yang memadai.
Namun, sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja tidak cukup. Pendekatan kolaboratif, termasuk keterlibatan sektor swasta dan mekanisme pasar, menjadi jalan keluar yang tak terelakkan untuk memenuhi kebutuhan dana besar dalam mengatasi krisis iklim di Indonesia.
Sri Mulyani mengungkapkan Indonesia memerlukan dana mencapai USD281 miliar atau sekitar Rp4.299 triliun untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca dan mitigasi dampak perubahan iklim sesuai Perjanjian Paris.
“Fiskal publik tidak bisa menjadi satu-satunya sumber pembiayaan, meskipun kami terus berupaya mengalokasikan anggaran secara optimal,” ujar Sri Mulyani dalam acara Indonesia International Sustainability Forum 2024, Jumat 6 September 2024, lalu.
Ia menambahkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif untuk menarik investasi swasta dalam pendanaan mitigasi perubahan iklim, termasuk tax allowance, tax holiday, dan pembebasan bea masuk.
Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah aktif menciptakan instrumen keuangan berkelanjutan untuk mendanai lebih banyak program penanganan krisis iklim.
Untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan, pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen seperti sukuk, green sukuk, dan blue bonds, dengan total penerbitan mencapai USD7,07 miliar antara 2018 hingga 2023.
Selain pendekatan fiskal, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya mekanisme pasar dalam pembiayaan perubahan iklim, termasuk penetapan harga karbon melalui pasar karbon. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah sedang menyiapkan aturan teknis untuk perdagangan karbon lintas batas, yang memungkinkan Indonesia menjual dan membeli sertifikat kredit karbon dengan negara-negara lain.
“Karbon yang dikeluarkan tidak memiliki identitas, jadi kita perlu memastikan kontribusi dari berbagai negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan menetapkan siapa yang membayar berapa,” katanya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.