Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Selamat Tinggal Rezim Sein Kanan Belok Kiri

Rubrik: Editorial | Diterbitkan: 16 October 2024 | Penulis: Uslimin Usle | Editor: Redaksi
Selamat Tinggal Rezim Sein Kanan Belok Kiri

KABARBURSA.COM - Sepuluh tahun kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Indonesia segera memasuki batas akhir. Satu dekade yang penuh dinamika pembangunan, reformasi struktural, dan kontroversi hukum dan politik. Era kepemimpinan dengan simbol unik: sein kanan belok kiri.

Di awal masa jabatannya pada 2014, Jokowi berhadapan kondisi negara yang sedang bergulat dengan tantangan klasik: tingginya pengangguran dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Di tengah situasi yang cukup berat itu, Jokowi dengan menggandeng HM Jusuf Kalla, tokoh dari Timur Indonesia, Makassar Sulawesi Selatan, maju tak gentar. Apalagi dengan sokongan partai pemenang pemilu: PDI Perjuangan. Pembangunan infrastruktur masif pun, dicanangkan. Proyek jalan tol, bendungan, hingga bandara, baik yang baru dirintis ataupun melanjutkan peninggalan presiden sebelumnya: Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi tonggak utama kepemimpinan Jokowi.

Entah disengaja atau tidak, deru mesin mobil Esemka yang mengantarnya menaklukkan hati masyarakat Jakarta dalam pemilihan Gubernur 2012, tenggelam tertiup angin revolusi mental yang digaungkannya. Tergusur ombak samudera yang menghiasi tol laut. Sebelas dua belas dengan isu kontroversial politik dinasti dan pelemahan pemberantasan korupsi yang justru semakin menggila.

Pada periode 2014-2019, Jokowi sukses melaksanakan berbagai proyek infrastruktur yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Mulai dari pembangunan jalan tol sepanjang 2.050 kilometer, hingga pelabuhan dan bandara baru. Infrastruktur ini memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan konektivitas antarwilayah dan memperkuat fondasi ekonomi, khususnya di daerah-daerah terpencil yang sebelumnya terisolasi.

Jokowi juga melanjutkan ambisi pembangunan di periode keduanya. Termasuk proyek besar pemindahan ibu kota negara/nusantara (IKN) ke Kalimantan Timur, dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika sebagai destinasi pariwisata internasional. Jokowi amat berhasrat menghapus jejak warisan kolonial di Istana Negara Jakarta dan Bogor. Undang-undang (UU) IKN serta UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) pun digeber bagai kereta tanpa rel.

Selain melabrak kaidah hukum tata negara, ambisi besar Jokowi untuk memindahkan ibu kota negara di eranya, jelas berbiaya mahal. Super mahal malah. Total utang negara pun melonjak drastis. Dari Rp2.608,8 triliun pada saat Jokowi kali pertama menapak istana Presiden 2014, menjadi Rp7.407 triliun saat kursi kepresidenan akan beralih ke Prabowo 20 Oktober besok.

Realitas itu pun memicu perdebatan mengenai risiko fiskal jangka panjang. Pertanyaan tentang keberlanjutan utang dan efektivitas proyek-proyek infrastruktur ini akan terus menghantui dan menjadi warisan merah Jokowi.

Di luar sektor ekonomi, Jokowi juga dikritik karena membangun dinasti politik, yang secara langsung melibatkan keluarganya dalam percaturan politik nasional. Kenaikan putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wali Kota Solo pada 2020, serta menantunya, Bobby Nasution, yang berhasil menduduki posisi Wali Kota Medan, memunculkan sorotan tajam terhadap dinasti politik yang mulai tersemai subur di era Jokowi.

Kontroversi politik dinasti ini semakin meruncing setelah Gibran mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden dalam Pilpres 2024. Langkah yang memantik kecurigaan publik terkait intervensi hukum yang mendukung ambisi politik keluarganya. Isu ini memuncak ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah batas usia calon kepala daerah dari 40 tahun menjadi 35 tahun, tepat menjelang pencalonan Gibran. Putusan MK tersebut dicurigai sebagai upaya untuk melapangkan jalan politik Gibran yang baru berusia 36 tahun pada saat pencalonan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait independensi lembaga hukum di Indonesia, serta dugaan adanya permainan hukum demi mendukung kepentingan politik dinasti keluarga Jokowi.

Selain itu, Mahkamah Agung (MA) juga dikritik karena dianggap memberikan putusan yang menguntungkan Jokowi dan keluarganya, dengan melonggarkan berbagai aturan yang seolah memberi jalan bagi terbentuknya dinasti politik. Publik mulai memandang skeptis terhadap lembaga-lembaga hukum yang seharusnya netral dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Maka, publik pun mulai memplesetkan MK sebagai Mahkamah Kakak, dan MA sebagai Mahkamah Adik.

Selain isu politik dinasti, rapor merah dalam pemberantasan korupsi juga menjadi titik kritis dalam warisan Jokowi. Upaya pemberantasan korupsi di era kepemimpinannya, terutama setelah 2019, mengalami penurunan drastis. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang disahkan di bawah pemerintahannya dianggap sebagai langkah pelemahan terhadap institusi yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.

Revisi tersebut menempatkan sejumlah pembatasan pada kewenangan KPK, seperti pengaturan penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas, serta perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Akibatnya, independensi KPK dipertanyakan, dan penanganan kasus-kasus korupsi besar menjadi jauh berkurang. Penurunan ini semakin memperburuk persepsi publik tentang komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi.

Beberapa kasus besar seperti korupsi di sektor pertambangan, kasus pejabat daerah, hingga skandal di sektor BUMN berakhir dengan hukuman ringan atau penanganan yang lambat, menambah rapor merah pemerintahan Jokowi di mata masyarakat. Lembaga-lembaga internasional pun mencatat penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama masa kepemimpinan Jokowi, menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi masalah yang tidak terselesaikan dengan baik.

Akhirnya, masa bakti Jokowi pun segera berakhir. Sukses besar yang ditorehkannya dalam membangun fondasi fisik dan memperkuat ekonomi mungkin akan dikenang. Demikian halnya politik simbol “sein kanan belok kiri” akan diingat sepanjang zaman. Semoga saja para pemuja dan penjilatnya segera sadar, bahwa Indonesia harus segera bangkit dan bangun dari mimpi buruk yang tertoreh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Ya, semoga saja Prabowo sebagai penerus Jokowi, mampu membawa Indonesia menuju pemerintahan yang bersih? Apalagi ditopang dengan kabinet super gemuk dan terdiri dari beragam latar belakang. Bukan malah melanjutkan tren dinasti politik dan korupsi yang melemahkan. Walau, ada Gibran Rakabuming Raka di sisinya sebagai Wakil Presiden, dan Jokowi segera aktif dalam Presiden Club yang diinisasi Prabowo sendiri. Waktu akan menjadi saksi dari nasib demokrasi dan pembangunan Indonesia di masa depan. Merdeka!!! (*)