KABARBURSA.COM - Pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk periode 2024-2029 membawa harapan baru di tengah berbagai tantangan yang melanda bangsa. Dengan 360 dari 580 anggota DPR yang terpilih sebagai wajah baru, terdapat ekspektasi besar bahwa mereka dapat memperbaiki kinerja parlemen yang sebelumnya dinilai kurang memuaskan. Namun, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah DPR yang baru ini benar-benar mampu menjawab harapan rakyat, ataukah hanya akan terjebak dalam politik transaksional yang mengutamakan kepentingan elite?
Dari 360 anggota baru tersebut, banyak yang sebelumnya adalah politisi kenyang pengalaman. Ada yang pernah duduk di DPRD provinsi, atau menjabat sebagai pejabat di tingkat kabupaten/kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut yang benar-benar wajah baru hanya 273 anggota saja.
Di pihak lain, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengungkapkan bahwa sejumlah anggota baru DPR RI, terlibat dalam kaitan dinasti politik, dengan hubungan keluarga yang dekat pejabat lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perubahan yang diharapkan tidak akan sepenuhnya terwujud. DPR diprediksi akan terus dikuasai oleh kepentingan tertentu.
Koalisi Indonesia Maju Plus yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran juga begitu mendominasi parlemen. Sebuah situasi yang berpotensi menggerus fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif. Dalam konteks ini, terdapat risiko besar bahwa DPR akan menjadi “tim sorak” bagi pemerintah, alih-alih berperan sebagai lembaga yang mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Parlemen, dalam konteks demokrasi, seharusnya menjadi garda terdepan yang menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi, berpihak pada kepentingan rakyat, dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, dengan dominasi partai pendukung pemerintah di DPR, kekhawatiran muncul: apakah parlemen baru ini mampu menjalankan fungsi pengawasan secara independen? Atau hanya akan menjadi stempel kebijakan eksekutif yang tidak pro-rakyat?
Legislasi Progresif
Fungsi utama DPR sebagai lembaga legislatif adalah menciptakan undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Namun, sering kali produk legislasi justru lebih menguntungkan kalangan elite dan pemodal besar, seperti yang terlihat pada pengesahan Omnibus Law yang banyak dikritik karena merugikan hak-hak buruh dan mengabaikan isu lingkungan hidup.
DPR periode 2024-2029 dihadapkan pada tugas berat untuk membuktikan bahwa mereka bisa berbeda. Masyarakat membutuhkan legislasi yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga memperkuat hak-hak dasar seperti kebebasan berekspresi, perlindungan buruh, serta perlindungan lingkungan hidup. Legislasi ini tidak boleh lagi dikendalikan oleh kepentingan politik pragmatis yang mengabaikan suara rakyat.
Namun, sejauh mana DPR mampu melepaskan diri dari tekanan politik koalisi penguasa? Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa legislasi sering kali hanya menjadi instrumen untuk memperkokoh kekuasaan eksekutif. Produk undang-undang yang disahkan lebih banyak mencerminkan kepentingan pemerintah, bukan kebutuhan mendesak rakyat. Apakah kali ini akan berbeda?
Dosa Berulang
Salah satu kelemahan terbesar DPR periode sebelumnya adalah pengawasan yang lemah terhadap kebijakan pemerintah. Amnesty Internasional Indonesia mencatat bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Trisakti, Semanggi, dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998, terus terabaikan tanpa ada penyelesaian yang memadai. Brutalitas aparat keamanan dalam kasus Tragedi Kanjuruhan yang merenggut banyak nyawa menjadi contoh nyata betapa lemahnya fungsi pengawasan DPR.
Selain itu, keberadaan produk hukum yang mengekang kebebasan, seperti UU ITE dan KUHP, juga harus segera direvisi. Kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar penting demokrasi. DPR harus memastikan bahwa undang-undang yang ada tidak digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat.
Sebagai lembaga pengawas, DPR seharusnya menjadi benteng terakhir yang memastikan eksekutif menjalankan pemerintahan dengan transparan, akuntabel, dan menghormati hukum serta HAM. Namun, apa yang terjadi selama ini justru sebaliknya. DPR terlalu sering lembek dalam menghadapi eksekutif, gagal menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Saat ini, rakyat kembali berharap pada parlemen baru untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Akankah DPR periode 2024-2029 berani mengambil langkah tegas dalam mengawasi pemerintah? Ataukah mereka akan kembali terperangkap dalam permainan politik yang lebih mementingkan kekuasaan daripada keadilan?
Anggaran yang Adil
Salah satu fungsi penting DPR adalah menyusun dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam proses ini, DPR harus memastikan bahwa anggaran dialokasikan dengan tepat untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan hanya mendukung proyek-proyek besar yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan rakyat yang paling mendesak saat ini adalah perbaikan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengendalian harga kebutuhan pokok.
Namun, dalam praktiknya, proses penyusunan anggaran sering kali penuh dengan kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. Proyek-proyek besar yang menguntungkan segelintir elite lebih sering mendapat prioritas daripada program-program yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. DPR sering kali gagal dalam menjalankan fungsi anggarannya secara efektif dan kritis. Tanpa sikap kritis terhadap alokasi anggaran, DPR hanya akan menjadi lembaga pelengkap dalam sistem pemerintahan. DPR kehilangan perannya sebagai wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan mereka.
Harapan dan Realitas
DPR hasil Pemilu 2024 memiliki tanggung jawab yang sangat besar di pundaknya. Di tengah dominasi politik Koalisi Indonesia Maju Plus, parlemen baru harus mampu menjaga keseimbangan kekuasaan dengan tetap menjalankan fungsi pengawasan secara independen dan kritis. Fungsi legislasi dan anggaran juga harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. DPR harus berjuang melepaskan diri dari jeratan politik pragmatis yang sering kali mengabaikan suara rakyat. Mereka harus membuktikan bahwa parlemen bukan hanya sekadar stempel kebijakan eksekutif, tetapi benar-benar menjadi wakil rakyat yang berjuang demi keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bersama.
Apakah DPR baru ini akan mampu menjawab harapan besar masyarakat? Ataukah mereka akan mengulang kesalahan yang sama dan membiarkan demokrasi Indonesia terus terpuruk? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, rakyat pasti akan selalu menuntut janji-janji perubahan yang pernah disuarakan saat pemilu. Mungkin kali ini bisa lolos dan Kembali terpilih. Tapi, siapa bisa menjamin pada pemilu yang akan datang hal itu akan terulang? Akan tiba masa, di mana semuanya akan ditagih secara adil. (*)