KABARBURSA.COM - Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar memantik spekulasi di berbagai kalangan. Tidak hanya terkait masa depan partai berlambang beringin di kancah politik nasional, khususnya menjelang Pilkada serentak pada 27 November 2024, namun juga imbasnya terhadap perekonomian Indonesia.
Dari sudut pandang politik, langkah tiba-tiba Airlangga mengibarkan bendera putih; mundur dari jabatannya, menimbulkan tanda tanya besar. Dalihnya, demi menjaga keutuhan partai dan memastikan transisi pemerintahan berjalan mulus, terdengar ambigu. Pasalnya, di internal Golkar sejauh ini tidak terlihat ada gejolak berarti. Berbeda dengan Partai Demokrat yang sempat digoyang Moeldoko pasca Pilkada 2020. Tepatnya, pada Maret 2021. Kala itu, Moeldoko yang menjabat Kepala Staf Kepresidenan, berupaya mengudeta kepemimpinan Partai Demokrat di bawah kendali Agus Harimurti Yudhoyono.
Jika tujuan utama dari mundurnya Airlangga di Golkar untuk memastikan transisi pemerintahan tetap terkendali, sejarah menunjukkan bahwa para pendahulu politisi low profile, itu tidak pernah mengambil langkah serupa. Bahkan Airlangga sendiri tetap memegang jabatan ketua umum usai Pilpres 2019, meski saat itu banyak pihak, termasuk dari internal partai, yang mendesak agar ketua partai yang masuk kabinet sebaiknya mundur dari jabatan partai.
Spekulasi tentang adanya "udang di balik batu" ini semakin diperkuat oleh langkah-langkah politik Airlangga selama proses Pemilu 2024. Sejak awal, ia kerap menawarkan karpet kuning bagi keluarga Presiden Joko Widodo, khususnya Gibran Rakabuming Raka, untuk bergabung dengan Golkar. Tawaran-tawaran ini sering kali muncul setelah hubungan antara Jokowi dan partai pengusung utamanya di Pilpres 2014 dan 2019, PDIP, mulai menunjukkan keretakan.
Puncaknya, ketika PDIP memilih Ganjar Pranowo berpasangan Mahfud MD dalam Pilpres 2024, Golkar dengan terbuka mengajukan Gibran sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto. Langkah ini jelas mempertegas perbedaan arah politik antara Golkar dan PDIP, yang akhirnya berujung pada kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Keputusan Airlangga untuk memfasilitasi Gibran masuk dalam bursa cawapres bagi Prabowo menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Apakah ini bagian dari strategi Airlangga untuk mengamankan posisi Golkar di pemerintahan pasca-Pilpres? Atau, justru langkah ini yang menjadi puncak dari konflik yang berujung pada pengunduran dirinya?
Jika dilihat dari sejarah politik Indonesia, Golkar memiliki kemampuan bertahan yang luar biasa dalam menghadapi perubahan. Namun kali ini, dinamika internal partai mungkin lebih kompleks dari biasanya.
Pengunduran diri Airlangga tidak hanya mengguncang dunia politik, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran di sektor ekonomi. Sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga memegang peranan kunci dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Mundurnya ia dari pucuk pimpinan Golkar bisa menciptakan ketidakpastian politik yang berdampak pada kepercayaan investor dan pelaku pasar.
Bagaimanapun, Golkar adalah salah satu partai besar pendukung pemerintah, dan perannya dalam pembahasan anggaran serta kebijakan ekonomi di parlemen sangat signifikan. Pergantian kepemimpinan di tubuh partai ini berpotensi mengubah arah kebijakan ekonomi yang sudah berjalan. Pasar biasanya merespons dengan cepat terhadap perubahan politik, terutama jika perubahan tersebut melibatkan sosok penting seperti Airlangga.
Ketidakpastian mengenai siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana kebijakan ekonomi akan dikelola oleh kepemimpinan baru di Golkar, dapat menimbulkan reaksi negatif di pasar saham. Investor cenderung menghindari risiko, dan ketidakpastian politik yang berkepanjangan bisa membuat mereka ragu untuk menanamkan modal di Indonesia. Ini adalah dampak langsung yang bisa dirasakan dalam jangka pendek.
Dalam jangka panjang, perubahan kepemimpinan di Golkar juga bisa mempengaruhi aliansi politik yang ada saat ini. Ketegangan yang mungkin muncul antara Golkar dengan partai-partai lain dalam KIM, dapat mempengaruhi stabilitas pemerintahan. Pada akhirnya, hal ini bisa berdampak pada perekonomian nasional, terutama jika keputusan-keputusan ekonomi penting tertunda atau terganggu oleh dinamika politik internal partai maupun internal koalisi.
Selain itu, proses transisi kepemimpinan di Golkar sendiri akan menjadi penentu bagaimana partai ini melanjutkan peranannya dalam pemerintahan. Golkar baru akan menggelar rapat pada Selasa, 13 Agustus 2024, untuk membahas siapa pelaksana tugas ketua umum yang akan memimpin jalannya Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada Desember mendatang. Jika transisi ini berjalan mulus, mungkin dampaknya terhadap perekonomian bisa diminimalisasi. Namun, jika proses ini diwarnai oleh konflik internal, maka bukan tak mungkin dampaknya akan terasa hingga ke sektor ekonomi.
Menteri Tajir Melintir
Di sisi lain, mundurnya Airlangga juga membuka ruang spekulasi terkait masa depannya di panggung politik dan bisnis. Sebagai salah satu menteri dengan kekayaan yang cukup besar, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 27 Maret 2023, total harta kekayaan Airlangga mencapai hampir setengah triliun rupiah. Dengan kekayaan sebesar Rp454,39 miliar, Airlangga tidak hanya dikenal sebagai politisi, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki jaringan luas di dunia bisnis.
Airlangga memiliki sejumlah aset properti yang tersebar di beberapa lokasi, baik di dalam maupun luar negeri, dengan total nilai mencapai Rp113,98 miliar. Di samping itu, ia juga memiliki kendaraan mewah senilai Rp2,49 miliar, harta bergerak lainnya senilai Rp573,5 juta, serta surat berharga dengan nilai Rp56,24 miliar. Kas dan setara kas yang dimilikinya mencapai Rp335,09 miliar, ditambah harta lainnya senilai Rp16,64 miliar. Meskipun ia memiliki utang sebesar Rp70,62 miliar, total kekayaan bersih Airlangga tetap mencerminkan posisi finansial yang sangat kuat.
Dengan latar belakang seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah, apakah pengunduran diri Airlangga merupakan langkah awal menuju peran yang lebih besar di sektor bisnis? Ataukah, ia akan tetap aktif di politik, namun dengan peran yang berbeda? Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa politisi dengan latar belakang bisnis yang kuat sering kali beralih ke dunia usaha setelah meninggalkan panggung politik, namun hal ini tentu tergantung pada langkah-langkah yang akan diambil oleh Airlangga ke depan.
Secara keseluruhan, dampak pengunduran diri Airlangga dari kursi Ketua Umum Golkar sangat bergantung pada bagaimana proses transisi kepemimpinan ini dikelola. Jika Golkar mampu menjaga stabilitas internal dan menghindari konflik, mungkin dampaknya terhadap perekonomian bisa diminimalisasi. Namun, jika pergantian kepemimpinan ini memicu ketegangan dan ketidakpastian, maka bukan hanya Golkar yang akan terkena dampaknya, tetapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Nah, di tengah dinamika politik yang semakin kompleks ini, kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana partai beringin ini akan mengarungi badai yang sedang mendekat. (*)