KABARBURSA.COM - Industri asuransi di Indonesia, meskipun telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, masih terperangkap dalam berbagai masalah yang mengancam kepercayaan publik dan menciptakan ketidakpastian. Kekacauan ini tidak hanya mencakup aspek administratif, tetapi juga menyentuh isu etika dan keadilan yang mendasar.
Salah satu masalah utama adalah ketidakjelasan regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merumuskan berbagai peraturan untuk memperbaiki ekosistem industri ini. Namun, pelaksanaannya sering terhambat oleh kurangnya konsistensi dan pengawasan. Peraturan yang ada sering kali tidak diterapkan dengan tegas. Di lain sisi, sanksi bagi pelanggaran dianggap tidak memadai. Praktik-praktik merugikan konsumen, seperti penawaran produk yang tidak transparan atau penutupan polis yang tidak sesuai ketentuan, terus berlanjut.
Ketidaktransparanan informasi mengenai produk asuransi juga menjadi masalah besar. Beberapa agen asuransi masih tergoda untuk menyajikan informasi yang tidak lengkap atau menyesatkan tentang manfaat, risiko, dan biaya produk yang ditawarkan. Hal ini sering kali menyebabkan kerugian finansial bagi pemegang polis yang tidak sepenuhnya memahami apa yang mereka beli dan hak-hak mereka. Klarifikasi dan verifikasi informasi produk secara menyeluruh sangat mendesak.
Konflik kepentingan dalam hubungan antara perusahaan asuransi dan agen, juga merupakan isu signifikan. Agen sering kali dihadapkan pada tekanan untuk memenuhi target penjualan yang tinggi, kadang-kadang dengan mengabaikan kepentingan nasabah. Ketidakseimbangan ini merugikan konsumen dan memicu praktik-praktik tidak etis. OJK harus memastikan bahwa perusahaan asuransi memiliki sistem pengendalian internal yang kokoh untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku agen.
Selain itu, manajemen risiko dalam hubungan keagenan juga memerlukan perhatian serius. Prosedur yang tidak memadai untuk penanganan dan penyelesaian sengketa sering kali memperburuk situasi, meninggalkan nasabah tanpa perlindungan yang memadai ketika masalah muncul. Perusahaan asuransi harus memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menangani keluhan dan sengketa, serta melindungi hak-hak pemegang polis.
Menghadapi kekacauan ini, industri perasuransian perlu melakukan introspeksi dan perbaikan mendasar. OJK, sebagai pengawas utama, perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten. Perusahaan asuransi harus menerapkan praktik yang lebih transparan dan etis serta memperbaiki sistem pengendalian internal mereka. Agen asuransi juga harus berkomitmen untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat serta menjaga integritas dalam setiap transaksi.
Industri perasuransian di tanah air memang sedang menghadapi masa-masa sulit. Namun, dengan upaya bersama dari semua pihak terkait, diharapkan industri ini dapat menuju arah yang lebih adil, transparan, dan tepercaya. Ini bukan sekadar tentang memperbaiki kesalahan yang ada, tetapi juga membangun masa depan di mana kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi dapat pulih dan berkembang dengan baik.
Industri asuransi di Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dengan maraknya kasus gagal bayar. Kekacauan ini semakin menggerus kepercayaan konsumen terhadap industri asuransi. Asosiasi Asuransi Jiwa (AAJI) mencatat bahwa penetrasi asuransi jiwa di Indonesia baru mencapai delapan (8) persen pada tahun 2022. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil sejumlah langkah pengawasan, termasuk pencabutan izin usaha dari perusahaan asuransi yang bermasalah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pengawasan khusus terhadap 11 perusahaan asuransi. Pengawasan ini bertujuan untuk mendorong koordinasi antara pemegang saham, direksi, dan komisaris dalam menyiapkan langkah-langkah penyelamatan perusahaan.
Berikut deretan perusahaan asuransi papan atas yang mengalami gagal bayar dengan jumlah fantastis kepada pemegang polis:
1. Bakrie Life
Terlalu agresif dalam menenpatksan investasi, membuat Bakrie Life terjebak dalam krisis keuangan. Perusahaan mengalami defisit setelah nilai investasi di pasar modal, jatuh terjerembab.
Total kewajiban Bakrie Life kepada nasabah mencapai Rp400 miliar sejak dinilai gagal bayar pada 2009. Pada 2014, masih ada sekitar 200 nasabah dengan dana Rp270 miliar yang belum dibayar. Manajemen menawarkan konversi tunggakan menjadi saham Grup Bakrie, tetapi nasabah menolak karena saham dianggap tidak likuid.
2. Bumi Asih Jaya
OJK mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Bumi Asih pada 18 Oktober 2013, karena ketidakmampuan perusahaan memenuhi ketentuan kesehatan keuangan. Termasuk rasio kecukupan modal. Perusahaan memiliki utang senilai Rp85,6 miliar dari 10.584 pemegang polis. Usaha untuk menambah modal dan menarik investor baru gagal.
3. Jiwasraya
Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terkait produk investasi Saving Plan. Jiwasraya tidak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran sebesar Rp12,4 triliun. Aset saham yang tercatat pada Desember 2017 sebesar Rp6,63 triliun menyusut menjadi Rp2,48 triliun pada September 2019.
Skandal korupsi Jiwasraya mencatat kerugian negara sebesar Rp16,81 triliun. Saat ini, Jiwasraya tengah melakukan migrasi polis ke IFG Life dan memerlukan tambahan modal untuk mengalihkan seluruh aset.
4. Bumiputera 1912
AJB Bumiputera 1912 mengalami keterlambatan pembayaran klaim karena pengelolaan perusahaan yang buruk. Di akhir 2018, kewajiban perusahaan mencapai Rp31 triliun dengan aset sebesar Rp10,28 triliun. Rasio RBC Bumiputera pada awal 2019 tercatat minus 628,4 persen. Rencana penyehatan keuangan (RPK) telah disetujui OJK, tetapi manfaat polis turun.
5. Wanaartha Life
OJK mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha pada 5 Desember 2022. Aset Wanaartha Life diperkirakan sekitar Rp270 miliar, sementara kewajiban mencapai Rp15,84 triliun. Audit internal melaporkan bahwa ada sekitar 29.000 nasabah.
6. Kresna Life
Kresna Life mengalami gagal bayar pada polis K-LITA dan PIK akibat masalah likuiditas portofolio investasi. Perusahaan menunda transaksi penebusan polis dari 11 Februari 2020 hingga 10 Februari 2021, tetapi belum juga membayar klaim. Total klaim yang belum dibayar mencapai Rp6,4 triliun. Kresna Life mengajukan rencana konversi polis menjadi pinjaman subordinasi, namun OJK meminta bukti konkret dari nasabah.
Terlepas dari kasus gagal bayar, profesi agen asuransi masih menarik bagi banyak orang, terutama generasi muda seperti Gen Z dan milenial. Profesi ini tidak hanya menjanjikan keuntungan finansial tetapi juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Agen asuransi memiliki peran penting dalam membantu masyarakat memahami pentingnya perlindungan finansial dan memberikan solusi yang tepat untuk kebutuhan asuransi mereka.
Perusahaan asuransi perlu lebih menghargai kontribusi agen dengan memberikan pelatihan berkualitas, dukungan memadai, dan sistem kompensasi yang adil. Bukan sebaliknya, agen asursansi diperlakukan bak sapi perah. Perlakuan yang baik dan adil, akan memotivasi agen sekaligus meningkatkan layanan kepada nasabah. Dan pada akhirnya, akan berbuah manis bagi perusahaan jua.
Pentingnya memperhatikan kompetensi dan iklim kerja para agen asuransi, sejatinya mendapat perhatian dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Asosiasi menilai profesi agen asuransi sebagai salah satu profesi dengan potensi besar jika dijalani dengan kesungguhan.
Yuliana Sungkono, seorang agen berpengalaman, mengungkapkan bahwa profesi agen asuransi, meskipun krusial dalam membantu masyarakat memitigasi risiko finansial, sering kali menghadapi tantangan yang berat. Ironisnya, mereka sering kali menjadi sasaran ketidakpuasan akibat masalah produk dan kebijakan perusahaan yang tidak selalu di bawah kendali mereka.
Agen sering kali harus menghadapi kesulitan seperti penolakan nasabah, kenaikan premi yang tinggi, dan kendala saat berpindah perusahaan karena ketentuan kontrak yang merugikan. Meskipun mereka berperan penting dalam edukasi dan perlindungan finansial, mereka jarang mendapatkan dukungan yang memadai dari perusahaan atau perlindungan yang cukup dari pemerintah.
Untuk meningkatkan keadilan dan efektivitas dalam profesi ini, diperlukan reformasi dalam kontrak keagenan. Begitu juga dengan dukungan yang lebih baik dari perusahaan asuransi, serta regulasi yang melindungi hak-hak agen. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan agen asuransi dapat lebih baik melayani nasabah dan memenuhi tanggung jawab besar mereka dengan lebih adil.
Hal tidak kalah pentingnya, agen asuransi juga wajib dan mutlak beradaptasi dengan teknologi kekinian. Memanfaatkan platform digital, agen dapat menjangkau lebih banyak orang dan memproses klaim dengan lebih cepat. Makanya, agen asuransi harus terus mengikuti perkembangan teknologi dan belajar menggunakan alat digital dengan efektif.
Pendidikan dan pelatihan yang baik adalah kunci untuk menjadi agen asuransi yang sukses. Di negara-negara maju, agen harus melalui pelatihan ketat sebelum bekerja. Indonesia perlu meningkatkan standar pelatihan dan pendidikan untuk agen asuransi agar mereka siap menghadapi tantangan di lapangan.
Dengan dukungan dari perusahaan asuransi, asosiasi, dan pemerintah, profesi agen asuransi dapat menjadi jalan yang menjanjikan dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Kesuksesan dalam profesi ini tidak hanya bergantung pada usaha individu tetapi juga pada kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak. Mari kita dukung perkembangan profesi ini demi masa depan yang lebih baik dan aman bagi semua. (*)