Dunia di ambang resesi global. Semuanya berawal dari politik luar negeri Amerika Serikat (AS) yang berubah arah. Di bawah kepemimpinan Donald J. Trump, AS mendikte negara mitranya dengan menggeser pendekatan internasional secara signifikan.
Presiden Trump dalam pernyataannya awal April antara lain menegaskan bahwa penerapan tarif impor tinggi ke 60 negara, termasuk ke Indonesia sebesar 32 persen, bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS. Selebihnya, melindungi industri domestik. “Americans benefit from and deserve an America First trade policy," demikian Trump berdalih.
Politik luar negeri Trump yang menekankan prinsip “America First” itu, secara nyata telah mengubah peta ekonomi internasional. Multilateralisme ditantang, proteksionisme kembali menguat, dan negara-negara berkembang harus menavigasi ulang peta hubungan dagang serta diplomatik mereka.
Menyikapi gelombang perubahan arah kebijakan global tersebut, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, diminta tidak lagi bersikap pasif. Meski juga tidak disarankan untuk reaktif seagresif Tiongkok. Sebaliknya, pemerintah harus taktis dan menerapkan strategi jitu. Inilah momen dan kesempatan emas bagi Indonesia untuk menyulap musibah yang ditimbulkan Trump, menjadi sebuah mukjizat nasional.
Namun, ada satu hal yang ironi dan anomali. Di saat dunia berubah cepat dan ekspektasi terhadap kepemimpinan Indonesia di ASEAN menguat, fakta menunjukkan sebuah realitas yang tidak lazim. Posisi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat hingga kini masih belum terisi. Padahal, AS bukanlah negara yang sedang diamuk perang atau pemerintahannya lagi kacau. Sebaliknya, Paman Sam justru negara strategis dan pasar yang cukup besar bagi Indonesia.
Maka, kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS, bukan sekadar formalitas diplomatik. Akan tetapi, menjadi sebuah kehilangan saluran penting bagi kepentingan strategis Indonesia. Terutama dalam konteks ekonomi dan perdagangan. Bagaimana mungkin bisa berharap banyak, jika semua harus selalu terpusat di Jakarta. Memang sudah habiskah tokoh berpengalaman yang bisa diamanahi sebagai perwakilan RI (Duta Besar) di Amerika Serikat?
Apa saja kebijakan Presiden Trump yang telah menandai pergeseran signifikan dari pendekatan internasional yang selama ini dianut Amerika Serikat? Diawali penarikan dari Perjanjian Perdagangan Trans-Pasifik (TPP), renegosiasi NAFTA menjadi USMCA, hingga kebijakan tarif tinggi terhadap Tiongkok dan negara lain yang dipandang kurang bersahabat, menjadi bukti bahwa AS di bawah Trump lebih mementingkan keuntungan unilateral ketimbang kerja sama saling menguntungkan.
Efek dari sederet kebijakan Trump itu tidak hanya dirasakan oleh Tiongkok atau Eropa. Tapi, juga oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ketidakpastian pasar, perang dagang, dan arah kebijakan AS yang tidak konsisten, telah menyebabkan tekanan terhadap stabilitas ekspor Indonesia, sekaligus memunculkan tantangan baru bagi daya saing kawasan.
Namun ironisnya, itu tadi. Di tengah tantangan kebijakan American First ala Trump, Indonesia terkesan lamban menyusun respons strategis. Tidak adanya (kekosongan) Duta Besar RI di Washington DC, diakui atau tidak, telah menjadi salah satu penanda betapa pemerintah kurang peka dalam menempatkan prioritas nasional di tengah arus isu global.
Untuk diketahui, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat terakhir dijabat Rosan Roeslani. Pria yang identik dengan kepala licinnya, dilantik pada 25 Oktober 2021. Setelah lebih dari satu tahun menjabat, Rosan dipanggil ke Jakarta dan dilantik sebagai Wakil Menteri BUMN pada 17 Juli 2023. Sejak saat itu, posisi Dubes RI untuk AS yang berkedudukan di Washington, menjadi kosong.
Untuk memahami pentingnya kehadiran Indonesia di Washington, mari menilik data neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD27,6 miliar, sedangkan impor dari AS ke Indonesia sebesar USD9,6 miliar, sehingga menghasilkan surplus perdagangan sekitar USD18 miliar bagi Indonesia.
Secara over all, Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah Tiongkok. Dalam beberapa tahun terakhir, ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh produk tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur — industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja domestik.
Namun, kebijakan tarif dan ancaman penghapusan Generalized System of Preferences (GSP) oleh pemerintahan Trump menunjukkan bahwa surplus tersebut bukanlah sesuatu yang bisa diandalkan selamanya tanpa upaya diplomatik aktif. Tanpa representasi tingkat tinggi di Washington, sulit membayangkan bagaimana Indonesia bisa memperjuangkan kepentingan industrinya secara maksimal.
Sebagai bahan pembanding, berikut adalah neraca perdagangan Indonesia dengan beberapa mitra strategis lainnya pada 2023:
Data di atas menunjukkan bahwa Amerika Serikat, bersama Tiongkok dan ASEAN, merupakan tiga poros utama perdagangan luar negeri Indonesia. Namun dari sisi surplus, Amerika Serikat menempati posisi paling menguntungkan bagi Indonesia. Ini menegaskan betapa strategisnya posisi Negeri Paman Sam sebagai pasar ekspor bagi produk Indonesia.
Jika pemerintah gagal menjaga komunikasi dan negosiasi perdagangan dengan Amerika, secara intensif, Indonesia berisiko kehilangan keunggulan tersebut. Baik karena tekanan tarif, perubahan kebijakan, maupun alih pasar oleh negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand.
Di level kawasan, Indonesia menyandang status sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN. Ini bukan hanya gelar simbolik, melainkan tanggung jawab strategis untuk memimpin arah kebijakan ekonomi regional. Dalam konteks proteksionisme global, ASEAN membutuhkan pemimpin yang mampu mendorong integrasi ekonomi internal sekaligus membuka pasar baru secara kolektif.
Namun, ketidakhadiran Indonesia di meja perundingan tingkat tinggi — seperti di Washington — memperlemah posisi ASEAN secara keseluruhan. Tanpa Indonesia sebagai motor diplomasi kawasan, suara ASEAN kehilangan bobot dalam forum-forum multilateral. Padahal, sinyal dari Washington jelas: negara-negara yang bersikap aktif dan strategis akan mendapat perhatian lebih besar.
Indonesia seharusnya memanfaatkan kekacauan dalam sistem perdagangan global untuk mendorong restrukturisasi rantai pasok ASEAN. Termasuk langkah sedikit radikal: menarik relokasi investasi dari Tiongkok, serta memperkuat konektivitas antarnegara anggota lewat digitalisasi, perdagangan lintas batas, dan penyederhanaan regulasi. Dengan cara ini, ibaratnya Indonesia menyulap musibah untuk meraih mukjizat.
Agar musibah yang membayang di depan mata berubah jadi mukjizat, berikut sejumlah langkah konkret yang seharusnya diambil pemerintah Indonesia:
Segera menempatkan Duta Besar RI di AS. Ini bukan sekadar penempatan pejabat. Akan tetapi, penegasan posisi Indonesia dalam hubungan bilateral yang sangat strategis. Dubes memiliki peran vital dalam memperkuat lobi dagang, menjalin komunikasi dengan Kongres AS, komunitas bisnis, serta memperjuangkan isu-isu penting seperti GSP, tarif, dan kerja sama investasi.
Aktif memimpin konsolidasi ekonomi ASEAN. Indonesia harus menjadi inisiator pertemuan-pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk merumuskan kebijakan kolektif menghadapi tekanan eksternal. Termasuk penguatan ASEAN Single Window, penyederhanaan aturan perdagangan, dan inisiatif kerja sama dengan mitra seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
Perkuat diplomasi ekonomi. Tidak cukup hanya membuka pintu investasi, Indonesia juga harus menjadi pemain aktif dalam mendesain aturan global baru pasca era Trump. Melalui peran di G20, APEC, dan forum regional lainnya, Indonesia bisa mendorong sistem perdagangan yang lebih adil dan terbuka, dengan menjadikan ASEAN sebagai tulang punggung ekonomi kawasan.
Intinya, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton dalam sejarah global yang sedang ditulis ulang. Ketika AS di bawah Trump mengguncang tatanan dunia, Indonesia harus berani tampil sebagai aktor utama. Bukan sekadar rekan dagang pasif. Kepemimpinan kawasan, kepentingan ekspor nasional, dan daya saing ekonomi jangka panjang, semuanya berpulang pada satu hal: kemampuan membaca arah zaman dan menempatkan diri secara strategis.
Mundur dan diam bukanlah pilihan. Saat dunia menghadapi ketidakpastian, Indonesia justru harus hadir dengan kepastian. Kepastian sikap, arah, dan komitmen strategis terhadap masa depan kawasan dan dunia.
Dalam pidatonya pada Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa 8 April 2025, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Indonesia siap menjawab tantangan global, termasuk menghadapi kebijakan tarif dari AS. Ia menyebutkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat, dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di kisaran 5 persen, inflasi terjaga, dan surplus neraca perdagangan yang terus berlanjut.
Airlangga juga menegaskan bahwa pemerintah akan mempercepat implementasi hilirisasi industri, memperkuat pasar domestik, dan mendorong diversifikasi ekspor ke kawasan non-tradisional, seperti Asia Selatan dan Afrika. Selain itu, diplomasi ekonomi juga menjadi prioritas, dengan penekanan pada kerja sama bilateral dan multilateral untuk menjaga kepentingan Indonesia dalam perdagangan global.
Pernyataan ini memperkuat argumen bahwa pemerintah memang memiliki agenda strategis dalam merespons dinamika global. Namun demikian, strategi tersebut perlu dieksekusi dengan ketegasan politik dan keberanian mengambil keputusan strategis, termasuk segera menempatkan duta besar di AS.