KABARBURSA.COM - Dalam hitungan hari, Donald Trump akan kembali menduduki kursi PresidenAmerika Serikat (AS). Sejumlah negara, termasuk Indonesia, bersiap menghadapikemungkinan kebijakan proteksionis yang akan kembali diterapkan setelah pelantikannyapada 20 Januari 2025. Bayang-bayang kebijakan era Trump sebelumnya menimbulkankekhawatiran karena potensi gejolak ekonomi global yang bisa berdampak luas.
Kepemimpinan Trump selama periode 2017-2021 dikenal dengan langkah-langkahkontroversial. Terutama di bidang perdagangan internasional. Slogan "America First" yang diusungnya telah merombak prinsip-prinsip multilateralisme yang selama ini menjadi dasarhubungan dagang antarnegara.
Indonesia, yang memiliki ketergantungan besar pada ekspor komoditas, pernahmerasakan dampak negatif dari kebijakan tersebut. Perang dagang antara AS dan Tiongkokkala itu menyebabkan terganggunya rantai pasok global, meningkatnya biaya produksi, sertamelemahnya permintaan terhadap produk ekspor unggulan seperti minyak sawit dan karet.
Bagi Indonesia, ketegangan tersebut juga menciptakan peluang yang belum mampu dimanfaatkan sepenuhnya. Relokasi pabrik dari Tiongkok ke Asia Tenggara seharusnyamembuka pintu investasi baru. Sayangnya, daya saing Indonesia yang masih lemah akibatbirokrasi berbelit, regulasi tidak efektif, dan infrastruktur yang kurang memadai membuat negara ini kalah bersaing dengan Vietnam dan Thailand.
Gejolak ekonomi di masa lalu tidak hanya muncul dari proteksionisme perdagangan, tetapi juga kebijakan moneter AS. Pemotongan pajak besar-besaran untuk korporasi oleh Trump memang mendorong pertumbuhan ekonomi AS dalam jangka pendek, tetapimemperbesar defisit anggaran. Untuk mengatasi dampaknya, Federal Reserve menaikkansuku bunga secara bertahap, yang memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Konsekuensinya, nilai tukar rupiah melemah dan defisittransaksi berjalan meningkat.
Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan terhadap impor dari Tiongkok juga berdampaklangsung pada sektor manufaktur Indonesia. Kenaikan biaya produksi membuat daya saingproduk lokal di pasar global menurun. Sementara itu, ketidakpastian akibat kebijakanunilateral AS menciptakan iklim investasi yang kurang kondusif. Investor cenderungmenunda keputusan investasi, yang berdampak pada lambatnya pertumbuhan lapangan kerjadan investasi baru.
Menghadapi tantangan ini, Indonesia harus bergerak cepat dengan menguatkanfundamental ekonominya. Diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah penting agar tidakterlalu bergantung pada AS dan Tiongkok. Negara-negara non-tradisional seperti di kawasanAfrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah harus dijadikan target pasar baru. Di sisi lain, pemerintah perlu mempercepat perbaikan iklim investasi dengan memangkas regulasi yang berbelit dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja yang bertujuan mempermudah perizinan usaha harus dijalankan dengan konsisten.
Selain itu, Indonesia perlu fokus pada penguatan sektor manufaktur berbasis teknologitinggi. Selama ini, ketergantungan pada ekspor komoditas mentah membuat ekonomi rentanterhadap fluktuasi harga global. Dengan meningkatkan nilai tambah produk, daya saingIndonesia di pasar internasional akan semakin kuat. Di tengah gejolak global, stabilisasi nilaitukar rupiah juga harus dijaga. Bank Indonesia perlu menerapkan kebijakan moneter yang bijak dan melakukan intervensi di pasar valas jika diperlukan.
Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS (singkatan dari kelompok lima negara denganekonomi besar yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, Tiongkok (China), dan Afrika Selatan(South Africa), bisa menjadi langkah strategis menghadapi tekanan eksternal. MelaluiBRICS, Indonesia dapat memperluas akses pasar dan mengurangi ketergantungan pada AS. Kerja sama ekonomi dengan negara anggota BRICS lainnya, seperti Tiongkok, India, Rusia, dan Brasil, membuka peluang diversifikasi pasar yang lebih luas.
Dalam perjalanannya, BRICS juga menawarkan peluang investasi lebih besar denganperbaikan iklim usaha domestik. Keberadaan New Development Bank (NDB) memberi opsipendanaan alternatif bagi proyek infrastruktur dan strategis, sehingga mengurangiketergantungan pada pendanaan Barat.
Pengalaman menghadapi gejolak di era Trump sebelumnya seharusnya menjadipelajaran penting bagi Indonesia. Ketahanan ekonomi nasional harus diperkuat agar lebihtangguh menghadapi perubahan kebijakan global yang kerap tidak terduga. Langkah cepatdan strategis sangat diperlukan, bukan hanya untuk bertahan, tetapi juga untuk menangkappeluang di tengah dinamika global.
Indonesia harus mampu mengambil peran aktif dalam menciptakan tatanan ekonomiyang lebih adil di tingkat internasional. Dengan memanfaatkan momentum keanggotaan di BRICS, memperbaiki iklim investasi, serta memperkuat sektor industri berbasis teknologi, Indonesia bisa menjadi lebih siap menghadapi gelombang proteksionisme di era Trump. Ini bukan hanya tentang menghindari dampak buruk, tetapi juga memanfaatkan peluang yang ada untuk memperkuat ekonomi nasional secara berkelanjutan. (*)
https://youtu.be/z79rnOy7R_4?si=PfdP8xrt-EsoxMkD
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.