Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ironis Pemberian Tax Amnesty dan Kenaikan PPN, Apakah Pro Rakyat?

Rubrik: Editorial | Diterbitkan: 28 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Ironis Pemberian Tax Amnesty dan Kenaikan PPN, Apakah Pro Rakyat?

KABARBURSA.COM - Pemerintah hampir dipastikan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Seiring dengan itu, wacana untuk mengaktifkan kembali kebijakan tax amnesty bagi pengusaha yang menunggak pembayaran pajak juga tengah dibahas.

Sebagai catatan, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tax amnesty telah diterapkan sebanyak dua kali. Jika kebijakan ini kembali diterapkan, maka ini akan menjadi yang ketiga kalinya.

Para pihak yang menginisiasi kenaikan tarif PPN dan pemberian tax amnesty kali ini memiliki kemiripan dengan kebijakan yang dijalankan pada era pemerintahan Jokowi.

Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen ini, menurut pemerintah, didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam Pasal 7 ayat (1) UU tersebut, disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022, dan tarif 12 persen akan diterapkan paling lambat pada 1 Januari 2025.

Namun, rencana kenaikan PPN ini dikhawatirkan akan berdampak pada daya beli masyarakat yang masih lemah pasca pandemi COVID-19, ditambah dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang dinilai kurang tepat.

Tudingan ini langsung mendapat respons dari Kemendag dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yang menggelar pertemuan untuk membahas kemungkinan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Permendag tersebut mengatur kebijakan dan pengaturan impor, yang diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya PHK, seperti yang terjadi pada perusahaan tekstil Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).

Di sisi lain, pemerintah mewacanakan pelaksanaan tax amnesty jilid III dengan target penerimaan negara tambahan sebesar Rp80 triliun. Namun, wacana tersebut menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Kebijakan ini dinilai lebih mencerminkan upaya putus asa pemerintah dalam mengejar pendapatan negara, daripada langkah yang dapat memperkuat reformasi perpajakan yang berkelanjutan.

Tax amnesty yang seharusnya difokuskan pada peningkatan profil wajib pajak untuk mendorong kepatuhan jangka panjang. Sayangnya, tujuan ini tidak tercapai pada pelaksanaan tax amnesty sebelumnya, dan kebijakan tersebut kini lebih dilihat sebagai upaya untuk menambal kekurangan anggaran negara.

Kebijakan menaikkan PPN bersamaan dengan pelaksanaan tax amnesty menunjukkan keterdesakan pemerintah. Langkah ini sangat kontras dengan optimisme yang disampaikan oleh pemerintah tahun lalu.

Selain itu, pelaksanaan tax amnesty yang berulang kali dinilai dapat memberikan sinyal buruk bagi pengemplang pajak. Mereka mungkin akan menganggap bahwa pengampunan serupa akan terjadi lagi di masa depan, yang pada akhirnya dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan secara keseluruhan.

Data Jumlah Pengangguran di Indonesia

Sementara itu, berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Satudata Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), tercatat sebanyak 63.947 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode Januari hingga Oktober 2024. Angka ini menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu 52.933 pekerja yang terdampak PHK pada Januari hingga September 2024.

Menurut informasi yang disampaikan Kemnaker itu, jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari hingga Oktober 2024 mencerminkan tren yang semakin memburuk. Hal ini menandakan adanya tantangan besar yang dihadapi sektor ketenagakerjaan di Indonesia, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19.

Jika dilihat berdasarkan wilayah, DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah tenaga kerja terbanyak yang terdampak PHK. Di Jakarta, sebanyak 14.501 pekerja kehilangan pekerjaan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Jawa Tengah dan Banten mengikuti dengan jumlah pekerja terdampak masing-masing sebanyak 12.489 dan 10.702 orang.

Meskipun angka PHK signifikan di beberapa wilayah tersebut, fenomena PHK ini tidak terbatas pada area tertentu saja. Dampaknya terasa di hampir seluruh Indonesia, mencerminkan tantangan yang dihadapi dunia usaha di berbagai sektor, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

Pihak Kemnaker menyebut melonjaknya kasus PHK ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu penyebab utama adalah ketidakmampuan sejumlah industri untuk bersaing di tengah tantangan global yang semakin berat.

Selain itu, sektor industri juga harus menghadapi kondisi eksternal yang tidak terduga, seperti ketegangan politik global dan perubahan pola konsumsi yang cepat. Perubahan perilaku konsumen, misalnya, yang kini lebih memilih berbelanja secara digital, turut berdampak pada perusahaan-perusahaan tradisional yang belum mampu beradaptasi dengan cepat.

Ketidakpastian ekonomi global, yang dipicu oleh faktor-faktor seperti perang dan kebijakan proteksionisme dari beberapa negara, semakin memperburuk keadaan. Semua faktor ini, menurut Indah, memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah karyawan demi bertahan.

Sedangkan pandemi COVID-19 memberikan dampak luas terhadap seluruh sektor ekonomi. Banyak sektor, terutama pariwisata, ritel, dan manufaktur, yang mengalami penurunan pendapatan dan produksi yang signifikan. Meskipun beberapa sektor mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, namun laju pemulihan yang tidak merata memaksa banyak perusahaan untuk terus beradaptasi, dengan beberapa memilih mengurangi tenaga kerja.

Ketegangan geopolitik, perang, dan kebijakan baru yang diterapkan pemerintah di berbagai negara, seperti tarif impor yang lebih tinggi atau regulasi baru terkait produk tertentu, semakin mempersulit perusahaan dalam menjalankan operasional mereka. Perubahan perilaku konsumen, yang kini lebih memilih berbelanja online, turut berkontribusi terhadap meningkatnya PHK, karena perusahaan yang tidak mampu beradaptasi terpaksa menutup operasional atau mengurangi jumlah karyawan.

Kondisi APBN 2025

Mengutip tulisan dari Salamuddin Daeng, tak hanya rakyat yang sedang “keriting” menghadapi kondisi ekonomi saat ini, tetapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 juga berada dalam kondisi serupa, atau bisa dikatakan “kere keriting.” Sementara di sisi lain, pemerintah dipaksa untuk terus meningkatkan belanja guna mengejar target pertumbuhan ekonomi yang rendah, yakni hanya 5 persen.

Pada tahun 2025, belanja pemerintah diproyeksikan mencapai Rp2.701,4 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp1.541,4 triliun dialokasikan untuk belanja non-kementerian/lembaga, sementara transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp919,9 triliun.

Sementara itu, pendapatan negara yang diharapkan dalam APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun, dengan rincian Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun. Jika dibandingkan antara pendapatan dan belanja, masih ada sisa sekitar Rp300 triliun.

Namun, kondisi ini tidak semudah itu. Sisa anggaran yang ada harus digunakan untuk membayar gaji pegawai, mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, anggota DPR, Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga pegawai kontrak. Sehingga, meskipun ada sisa, sebagian besar anggaran sudah teralokasi untuk kebutuhan tersebut.

Masalah besar yang dihadapi APBN 2025 adalah besarnya kewajiban untuk membayar bunga dan pokok utang dalam dan luar negeri. Dalam RAPBN 2025, pembayaran bunga utang direncanakan sebesar Rp552,9 triliun, naik 10,8 persen dibandingkan dengan tahun 2024. Jumlah ini terbagi antara pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp497,6 triliun dan utang luar negeri sebesar Rp55,2 triliun.

Pembayaran pokok dan bunga utang terus mengalami lonjakan, dari Rp314,1 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp552,9 triliun pada tahun 2025, naik 75,8 persen dalam lima tahun. Peningkatan ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan penerimaan negara dalam APBN.

Selain itu, jatuh tempo utang yang semakin besar juga menjadi masalah besar bagi APBN. Pada tahun 2023, jatuh tempo utang tercatat sebesar Rp539,9 triliun, dan pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp335,2 triliun. Dengan tren ini, pembayaran utang jatuh tempo dan bunga utang diperkirakan akan semakin besar pada tahun 2025.

Selain utang, anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi juga menjadi beban berat. Subsidi untuk BBM, seperti solar dan LPG 3 kg, serta subsidi untuk pembayaran listrik bagi masyarakat miskin, selalu meleset dan seringkali bocor. Pengelolaan yang kurang transparan menjadi salah satu penyebabnya, sementara anggaran yang tersisa semakin terbatas.

Dengan paparan di atas, defisit APBN 2025 diperkirakan sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar Rp616,2 triliun. Pemerintah bersama DPR telah menyepakati bahwa APBN 2025 masih membutuhkan pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun. Namun, tantangannya adalah apakah ada pihak yang mau memberikan pinjaman.

Pada masa pemerintahan sebelumnya, terutama selama pandemi COVID-19, utang pemerintah sangat besar, termasuk utang kepada Bank Indonesia (BI), yang mencapai Rp1.600 triliun. Namun, pertanyaannya sekarang adalah apakah BI akan mampu memberikan utang lagi seperti yang dilakukan pada masa lalu.

Masalah semakin kompleks karena tidak ada lagi sisa dana yang dapat digunakan untuk menghadapi krisis besar di masa depan. Dunia memprediksi adanya krisis global yang akan mengguncang ekonomi pada periode 2025-2027, yang disebabkan oleh perubahan iklim, ketatnya likuiditas global akibat kenaikan suku bunga, serta ancaman dari gangguan rantai pasok akibat bencana alam dan konflik geopolitik. (*)

https://youtu.be/dZ9KAKbX-JM?si=zBi8atNCpdfJWFkc