Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Link Pasar Karbon UE-Inggris, Solusi Tekan Biaya

Pasar karbon mewajibkan pembangkit listrik dan pelaku industri lainnya untuk membayar biaya atas setiap ton karbon dioksida yang mereka hasilkan.

Rubrik: Carbon Trading | Diterbitkan: 05 May 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Link Pasar Karbon UE-Inggris, Solusi Tekan Biaya Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Di tengah upaya global untuk memperkuat aksi iklim dan menekan emisi karbon, lebih dari 50 perusahaan dan kelompok bisnis terkemuka di Eropa telah menyerukan agar Inggris dan Uni Eropa segera membuka pembicaraan untuk menghubungkan pasar karbon mereka. 

Seruan ini diharapkan akan menjadi agenda penting dalam pertemuan puncak para pemimpin pada 19 Mei mendatang, di mana Inggris juga tengah mengejar kerja sama yang lebih erat dalam bidang keamanan, penegakan hukum, serta penghapusan hambatan perdagangan dengan blok Eropa tersebut.

Pasar karbon atau Emission Trading Systems (ETS) yang diterapkan baik di Uni Eropa maupun di Inggris, mewajibkan pembangkit listrik dan pelaku industri lainnya untuk membayar biaya atas setiap ton karbon dioksida yang mereka hasilkan. 

Sistem ini adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi emisi dan mencapai target iklim. Namun, saat ini, harga karbon di pasar Inggris berada sekitar EUR48 atau setara USD64,13 lebih rendah per ton dibandingkan pasar karbon Uni Eropa, di mana harga patokan mencapai sekitar EUR66 atau USD75,01 per ton. 

Perbedaan ini bukan hanya menciptakan distorsi harga, tetapi juga dapat memicu persaingan yang tidak sehat dan risiko kebocoran karbon—yakni saat produksi berpindah ke negara dengan regulasi emisi lebih longgar.

Dalam sebuah surat yang dilihat oleh Reuters dan ditandatangani oleh perusahaan energi besar seperti Equinor, Orsted, dan RWE, para pelaku industri menegaskan bahwa menghubungkan sistem ETS Inggris dan Uni Eropa akan membawa manfaat signifikan. 

Integrasi tersebut dinilai akan menciptakan konvergensi harga karbon antara kedua wilayah, menghindari distorsi kompetitif, serta mengurangi beban biaya bagi konsumen di Inggris dan Eropa. 

Tidak hanya itu, langkah ini juga bisa membantu Inggris menghindari potensi sanksi di bawah mekanisme baru Uni Eropa, yaitu Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mulai berlaku pada 2026 dan akan mengenakan tarif emisi pada impor produk seperti baja, semen, aluminium, pupuk, listrik, dan hidrogen.

Sejumlah kelompok energi juga telah menyuarakan kekhawatiran mereka terkait desain CBAM yang bisa berdampak negatif pada ekspor energi bersih dari Inggris ke Eropa. 

Biaya tambahan akibat CBAM berisiko memperburuk harga listrik di Eropa yang sudah tinggi, dan secara ironis justru bisa meningkatkan emisi akibat perubahan sumber pasokan energi.

Meskipun analis memperkirakan bahwa menghubungkan sistem ETS Inggris dan Uni Eropa kemungkinan akan mendorong harga karbon di Inggris naik dalam jangka pendek, mereka juga menekankan bahwa integrasi ini akan lebih menguntungkan dalam jangka panjang. 

Salah satu keuntungan utama adalah dihapuskannya tarif emisi untuk ekspor ke Uni Eropa, yang pada akhirnya dapat memangkas biaya total dan mendukung transisi energi yang lebih efisien dan adil.

Dengan latar belakang ini, harapan kini tertuju pada pertemuan para pemimpin Eropa dan Inggris bulan ini. Jika seruan para pelaku industri ini didengar, maka langkah besar menuju integrasi pasar karbon lintas negara bisa menjadi kenyataan—mendorong kerja sama iklim yang lebih kuat dan menurunkan beban biaya untuk konsumen serta pelaku industri di kedua sisi Channel.

Trump Gugat Negara Bagian

Sementara itu, di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump membuat gebrakan kontroversial di ranah kebijakan lingkungan dan energi dengan menggugat empat negara bagian yang dipimpin Partai Demokrat—New York, Vermont, Hawaii, dan Michigan. 

Departemen Kehakiman AS (DOJ) mengklaim bahwa undang-undang dan rencana gugatan hukum yang diluncurkan negara-negara bagian tersebut terhadap perusahaan minyak besar bersifat "membebani" dan "bermotif ideologis", serta mengancam kebijakan nasional terkait energi dan keamanan ekonomi.

Gugatan ini dipicu oleh langkah New York dan Vermont yang telah mengesahkan undang-undang “superfund” iklim, mewajibkan perusahaan minyak membayar miliaran dolar ke dalam dana khusus untuk menutupi kerusakan akibat perubahan iklim. 

New York sendiri menargetkan pengumpulan dana sebesar USD75 miliar, yang oleh DOJ disebut sebagai "skema pemerasan uang secara transparan" dari perusahaan luar negara bagian. Pemerintah federal menganggap upaya ini melanggar konstitusi karena mengintervensi peran nasional dalam mengatur emisi gas rumah kaca dan kebijakan luar negeri terkait iklim.

Gugatan DOJ ini mencerminkan janji kampanye Trump pada pemilu 2024 untuk menghentikan “gelombang litigasi sembrono dari kaum ekstremis lingkungan.” Presiden Trump juga telah menandatangani perintah eksekutif pada hari pertama menjabat kembali, yang mendeklarasikan darurat energi nasional, mempercepat perizinan proyek energi, mencabut perlindungan lingkungan, dan menarik AS dari perjanjian internasional perubahan iklim. 

Gugatan ini juga menekankan bahwa undang-undang dan tuntutan hukum iklim dari negara bagian dinilai menghambat rencana strategis pemerintah pusat dalam meningkatkan produksi energi dalam negeri.

Meski DOJ mengambil langkah hukum pre-emptive terhadap Michigan dan Hawaii, negara bagian tersebut tidak gentar. Bahkan pada hari yang sama saat gugatan diumumkan, Hawaii tetap meluncurkan gugatan di pengadilan negara bagian terhadap perusahaan minyak raksasa seperti BP, Chevron, ExxonMobil, dan Shell, menuduh mereka gagal memperingatkan publik akan dampak iklim dari produk bahan bakar fosil mereka. 

Sementara itu, Jaksa Agung Michigan Dana Nessel, menyebut gugatan DOJ sebagai “frivolous” dan berjanji akan tetap mengajukan gugatan terhadap perusahaan minyak besar yang ia sebut sebagai "pendonor utama Presiden".

Langkah ini menjadi bagian dari pertempuran hukum yang lebih besar antara pemerintah federal yang konservatif dan negara bagian yang progresif, yang telah memuncak selama beberapa tahun terakhir. 

Gugatan iklim dari negara bagian terhadap perusahaan minyak sebagian besar masih berada di tahap awal, setelah melalui sengketa panjang mengenai yurisdiksi—apakah gugatan tersebut dapat diajukan di pengadilan negara bagian alih-alih federal. 

Mahkamah Agung AS baru-baru ini menolak permintaan 19 negara bagian yang dipimpin Partai Republik untuk memblokir lima negara bagian Demokrat melanjutkan gugatan iklim mereka.

Sementara itu, undang-undang "superfund" iklim New York dan Vermont juga tengah menghadapi tantangan hukum terpisah dari negara-negara bagian yang dipimpin Republik dan Kamar Dagang AS. 

Dalam pernyataannya, Jaksa Agung New York Letitia James membela hukum tersebut sebagai alat penting untuk memastikan perusahaan penyebab krisis iklim bertanggung jawab atas dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Di tengah ketegangan ini, muncul pertanyaan besar tentang masa depan kebijakan iklim dan energi AS. Gugatan-gugatan ini bukan hanya soal tanggung jawab hukum terhadap krisis iklim, tetapi juga cermin tarik-menarik ideologi antara perlindungan lingkungan dan ketahanan energi nasional.

Ketika perusahaan minyak besar menjadi sorotan karena peran mereka dalam krisis iklim global, perdebatan hukum ini bisa menjadi preseden penting dalam lanskap hukum dan kebijakan iklim di Amerika Serikat.(*)