KABARBURSA.COM - Pemilik INEOS dan miliarder asal Inggris Jim Ratcliffe, menyerukan pemerintah untuk segera mengurangi beban biaya lingkungan yang ditanggung oleh dunia usaha. Menurutnya, tekanan ini, ditambah dengan tingginya biaya energi, telah menjadi faktor utama yang mendorong arus investasi keluar dari Inggris.
Seruan tersebut muncul di tengah desakan publik agar pemerintah segera menemukan jalan untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara, berbagai industri padat energi seperti produsen baja, terus bergulat dengan beban biaya yang, menurut sektor industri, merupakan yang tertinggi di Eropa.
INEOS, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang petrokimia, mengungkapkan bahwa mereka menghadapi tagihan sebesar 15 juta poundsterling (sekitar USD20 juta) hanya untuk memenuhi kewajiban dalam skema Emissions Trading System (ETS) Inggris. Sistem ini mengenakan biaya kepada pembangkit listrik dan industri besar atas setiap ton karbon dioksida yang mereka hasilkan, sebagai bagian dari upaya nasional untuk menekan emisi dan mencapai target iklim yang ambisius.
Ratcliffe dalam pernyataannya mengungkapkan keprihatinan mendalam bahwa masalah ini tidak hanya menghantam INEOS, tetapi juga membebani para produsen di seluruh Inggris.
"Pajak karbon dan biaya energi yang berlebihan perlahan-lahan menggerogoti sektor manufaktur," ujarnya.
Dia memperingatkan bahwa tanpa perubahan signifikan, Inggris berisiko kehilangan salah satu sektor industrinya yang paling vital.
Beban berat tersebut telah memperlihatkan dampaknya. Petroineos, perusahaan patungan antara INEOS dan PetroChina International, tahun lalu mengumumkan bahwa kilang minyak Grangemouth di Skotlandia akan menghentikan operasinya pada 2025 karena kesulitan ekonomi. Penutupan tersebut diperkirakan akan menghilangkan sekitar 400 lapangan kerja, memperparah kondisi ketenagakerjaan di sektor energi Inggris.
Di bawah skema ETS Inggris, setiap perusahaan diwajibkan menyerahkan carbon allowances yang sebanding dengan total emisi yang mereka hasilkan, dengan batas akhir pada 30 April. Saat ini, kontrak karbon acuan Inggris diperdagangkan di sekitar 48 poundsterling (setara USD64) per metrik ton. Sebagai perbandingan, harga kontrak setara di pasar karbon Eropa lebih tinggi, yakni sekitar 65 euro (sekitar USD73,76) per ton.
Meskipun harga karbon Inggris sedikit lebih rendah dibanding Eropa, tantangan utama tetap pada kombinasi antara beban fiskal, tingginya biaya energi, dan kurangnya insentif investasi yang mendorong banyak perusahaan mempertimbangkan relokasi atau mengurangi operasi mereka. Ratcliffe menekankan bahwa tanpa langkah konkret dari pemerintah untuk menurunkan biaya dan mendukung sektor industri, Inggris akan kesulitan mempertahankan basis manufakturnya yang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Dalam konteks tekanan global untuk mencapai transisi energi hijau, Inggris kini dihadapkan pada dilema besar: bagaimana menyeimbangkan ambisi iklimnya dengan kebutuhan mendesak untuk mempertahankan daya saing ekonomi dan melindungi industri padat energi dari kehancuran.
Kinerja Baik EEX
Kabar lain datang dari European Energy Exchange (EEX). European Energy Exchange mencatatkan kinerja gemilang sepanjang tahun lalu, dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 16 persen, seiring melonjaknya volume perdagangan listrik di pasar Eropa, Amerika Utara, dan Jepang.
Pendapatan EEX pada tahun 2024 tercatat mencapai 669,9 juta euro (sekitar USD760 juta), naik dari 575,6 juta euro pada tahun sebelumnya. Laba bersih yang disesuaikan juga menunjukkan pertumbuhan solid sebesar 15 persen menjadi 241,9 juta euro.
CEO EEX Peter Reitz, mengungkapkan kebanggaannya terhadap lonjakan volume perdagangan yang signifikan di seluruh platform mereka dan menyatakan optimisme bahwa tahun ini EEX akan semakin memperkuat posisinya sebagai platform perdagangan listrik global terkemuka.
Salah satu pendorong utama kinerja cemerlang ini adalah lonjakan pendapatan dari derivatif listrik di Eropa yang melonjak 58 persen menjadi 194 juta euro. Sementara itu, pasar listrik spot di kawasan ini juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 18 persen menjadi 102,2 juta euro.
Dari sisi komoditas di Amerika Serikat, EEX membukukan pertumbuhan moderat sebesar 4 persen dengan pendapatan mencapai 41,3 juta euro, sedangkan dari derivatif gas alam di Eropa, pertumbuhan tercatat sebesar 5 persen menjadi 30,7 juta euro.
Momentum pertumbuhan ini berlanjut pada kuartal pertama 2025, di mana volume perdagangan listrik berjangka di Eropa tumbuh sebesar 29 persen, pasar listrik spot naik 10 persen, dan perdagangan gas spot melonjak 19 persen. Untuk menjawab kebutuhan pasar yang semakin dinamis, EEX juga meluncurkan berbagai produk baru, seperti kontrak berjangka listrik zonal Nordik dan kontrak berjangka tenaga surya puncak dari Senin hingga Minggu untuk pasar Spanyol.
Di tengah fokus ekspansi produk, EEX juga menyiapkan peluncuran kontrak berjangka baru untuk skema perdagangan emisi Eropa kedua (EU ETS2), yang dijadwalkan mulai 7 Juli 2025, meskipun masih menunggu persetujuan dari regulator. Langkah ini dinilai strategis untuk menangkap peluang baru dalam sektor pengelolaan emisi karbon, yang terus berkembang seiring ketatnya kebijakan iklim di Eropa.
Peter Reitz juga menyoroti tren penting dalam industri: pergeseran berkelanjutan dari perdagangan over-the-counter (OTC) menuju perdagangan melalui bursa yang tersentralisasi dan dikliring. Di pasar listrik inti Eropa, EEX kini menguasai pangsa pasar sebesar 80 hingga 90 persen, mempertegas dominasi mereka di kawasan ini.
Pergeseran ini, menurut Reitz, mencerminkan meningkatnya kebutuhan pasar terhadap transparansi, pengelolaan risiko yang lebih baik, dan kepercayaan terhadap mekanisme pasar yang terorganisasi.
Dengan fondasi pertumbuhan yang kuat, inovasi produk yang berkelanjutan, dan dominasi pasar yang semakin menguat, EEX kini berada dalam posisi yang sangat strategis untuk terus memimpin evolusi perdagangan energi global di tengah perubahan cepat lanskap energi dunia.(*)