Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

IMF: AI Dorong Ekonomi Global tapi Abaikan Emisi Karbon

Keuntungan ekonomi dari AI ini tidak akan merata dirasakan di seluruh dunia.

Rubrik: Carbon Trading | Diterbitkan: 23 April 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
IMF: AI Dorong Ekonomi Global tapi Abaikan Emisi Karbon Iustrasi pembahasan carbon trading dan emisi karbon dari penggunaan AI.

KABARBURSA.COM - Dana Moneter Internasional atau IMF, menyatakan bahwa kecerdasan buatan (AI) akan memberikan dorongan besar bagi perekonomian global, dengan memperkirakan pertumbuhan output global sebesar 0,5 persen per tahun antara 2025 hingga 2030. 

Angka ini dinilai cukup signifikan untuk mengimbangi dampak negatif dari peningkatan emisi karbon yang ditimbulkan oleh pusat data (data centre) yang dibutuhkan untuk mengoperasikan model-model AI.

Meski demikian, IMF mengingatkan bahwa keuntungan ekonomi dari AI ini tidak akan merata dirasakan di seluruh dunia. Oleh karena itu, IMF mendorong para pembuat kebijakan dan pelaku bisnis untuk meminimalkan biaya sosial yang timbul dan memastikan bahwa manfaat dari AI bisa dirasakan lebih luas oleh masyarakat.

Dalam laporan yang dirilis pada pertemuan musim semi IMF di Washington, disebutkan bahwa kawasan Virginia Utara di Amerika Serikat, yang menjadi pusat data terbesar di dunia, kini memiliki luas bangunan server yang setara dengan delapan gedung Empire State. IMF memperkirakan kebutuhan listrik global akibat penggunaan AI akan meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi sekitar 1.500 terawatt-jam (TWh) pada tahun 2030. 

Angka ini hampir setara dengan konsumsi listrik seluruh India saat ini dan 1,5 kali lebih besar dibandingkan proyeksi permintaan dari kendaraan listrik di periode yang sama.

Dampak emisi karbon dari pertumbuhan kebutuhan listrik ini sangat tergantung pada komitmen perusahaan teknologi untuk mengurangi emisi, misalnya melalui peningkatan penggunaan energi terbarukan di pusat-pusat data mereka. Jika energi yang digunakan tetap berbasis fosil, maka AI bisa memperburuk emisi global. 

Namun, IMF memperkirakan bahwa jika AI diadopsi secara luas dengan kebijakan energi saat ini, emisi gas rumah kaca global akan meningkat secara kumulatif sebesar 1,2 persen antara 2025 dan 2030. Jika diterapkan kebijakan energi yang lebih hijau, peningkatan ini bisa dibatasi hingga 1,3 gigaton.

Dengan menggunakan estimasi biaya sosial karbon sebesar 39 dolar AS per ton, biaya tambahan emisi ini diperkirakan berada di kisaran 50,7 hingga 66,3 miliar dolar AS. Meskipun angka tersebut terlihat besar, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan dari peningkatan PDB global sebesar 0,5% per tahun akibat pemanfaatan AI.

Para analis independen menyatakan bahwa dampak ekonomi dan lingkungan dari AI akan sangat tergantung pada bagaimana teknologi ini digunakan. Jika AI mampu mendorong efisiensi energi dan pola konsumsi yang lebih berkelanjutan, maka penggunaannya justru bisa menurunkan emisi karbon secara keseluruhan. 

Lembaga Riset Grantham Institute on Climate Change and the Environment bahkan menyebut bahwa AI bisa menjadi pemicu kemajuan dalam teknologi rendah karbon di sektor energi, pangan, dan transportasi.

Namun, lembaga tersebut juga menekankan bahwa kekuatan pasar saja tidak cukup untuk mengarahkan penggunaan AI ke arah aksi iklim. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan perusahaan energi harus mengambil peran aktif dalam memastikan AI digunakan secara sengaja, adil, dan berkelanjutan. Ini mencakup pendanaan untuk riset dan pengembangan serta kebijakan yang mampu mengurangi ketimpangan sosial akibat kemajuan teknologi AI.

Secara keseluruhan, laporan ini menyoroti peluang besar AI dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi global, namun di saat yang sama juga menegaskan perlunya tindakan nyata untuk mengelola risiko sosial dan lingkungan yang menyertainya.

Hubungan Harmonis AI dan Perdagangan Karbon

Dalam era transisi menuju ekonomi rendah karbon, perdagangan karbon menjadi instrumen penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara global. Perdagangan ini memungkinkan entitas yang menghasilkan emisi di bawah batas yang ditentukan untuk menjual kelebihan “kredit karbon” kepada entitas lain yang melebihi batas tersebut. 

Namun, untuk mencapai efisiensi dan transparansi optimal dalam mekanisme ini, teknologi modern seperti Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) dapat memainkan peran yang sangat krusial.

AI hadir sebagai alat transformasional dalam sistem perdagangan karbon dengan kemampuannya untuk mengolah dan menganalisis data secara cepat dan cermat. Salah satu manfaat utamanya terletak pada akurasi perhitungan jejak karbon. 

Menggunakan algoritma canggih, AI dapat mengintegrasikan data dari berbagai sumber—termasuk laporan internal perusahaan, informasi dari pemasok, serta basis data eksternal—untuk menghasilkan estimasi emisi karbon yang lebih presisi. Hal ini membantu perusahaan memenuhi kewajiban pelaporan karbon dengan lebih efisien dan transparan.

Selain itu, penentuan harga kredit karbon yang selama ini seringkali dipengaruhi oleh spekulasi pasar, dapat dilakukan secara lebih objektif melalui pemrosesan data oleh AI. Dengan mempertimbangkan variabel seperti permintaan dan penawaran pasar, kondisi proyek, dan tren regulasi, AI mampu memberikan prediksi harga yang lebih akurat dan dinamis. Ini memberi kepercayaan lebih besar kepada pelaku pasar dalam mengambil keputusan investasi yang berbasis data.

Kemampuan pemantauan emisi secara real-time juga menjadi keunggulan lain dari integrasi AI dalam perdagangan karbon. Sensor yang terhubung dengan sistem berbasis AI dapat secara langsung mengidentifikasi sumber emisi dan memantau progres pengurangan emisi seiring waktu. Hal ini memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dan efisien, serta mendorong kepatuhan terhadap kebijakan lingkungan.

Dalam hal transaksi, AI juga dapat merevolusi cara kerja pasar karbon. Teknologi ini memungkinkan pencocokan otomatis antara pembeli dan penjual kredit karbon, berdasarkan preferensi, volume, dan harga. Proses matching yang cerdas ini tidak hanya menekan biaya transaksi tetapi juga meningkatkan likuiditas dan kecepatan dalam perdagangan.

Lebih jauh lagi, AI memiliki kemampuan untuk menganalisis data besar yang terkait dengan dinamika perdagangan karbon global. Dari analisis ini, AI dapat mengidentifikasi tren dan pola yang tersembunyi, memberikan wawasan strategis kepada regulator maupun pelaku pasar. 

Dengan informasi ini, pemerintah dan lembaga terkait dapat merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan adaptif terhadap perubahan pasar.

Bagi Indonesia, pemanfaatan AI dalam perdagangan karbon bukan hanya soal efisiensi dan transparansi, tetapi juga menjadi peluang strategis untuk mengambil posisi yang lebih kuat dalam pasar karbon internasional. Dengan kombinasi antara potensi sumber daya alam dan teknologi digital, Indonesia dapat memimpin dalam perdagangan kredit karbon berbasis AI, mencapai target iklim nasional, serta berkontribusi secara signifikan dalam upaya global menanggulangi krisis iklim.

Melalui langkah ini, integrasi antara teknologi dan keberlanjutan tidak lagi menjadi konsep masa depan, melainkan kenyataan yang sedang dibangun hari ini.(*)