Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

IDX Carbon Bidik Pasar Jepang, Singapura dan Korsel

IDX Carbon bidik klien-klien dari negara Asia, di antaranya Singapura, Jepang dan Korea Selatan.

Rubrik: Carbon Trading | Diterbitkan: 22 April 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
IDX Carbon Bidik Pasar Jepang, Singapura dan Korsel Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik di Kantor BEI, Jakarta pada Selasa, 22 April 2025. (Foto: Kabar Burss/Desty Luthfiani)

KABARBURSA.COM – Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, menjelaskan Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon semakin aktif membidik pasar internasional dalam rangka memperluas jangkauan perdagangan karbon dari Indonesia ke pasar Asia.

Sejumlah negara potensial seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan menjadi target utama kerja sama lintas negara (G2G) untuk pengakuan unit karbon asal Indonesia di pasar global.

Menurut Jeffrey, transaksi karbon internasional sejauh ini sudah berlangsung melalui representasi negara asing di Indonesia, namun masih memerlukan penguatan kerja sama antar pemerintah.

“Sudah ada unit karbon dari Indonesia yang dibeli oleh pihak luar, namun untuk dapat diakui di negara asal mereka, perlu ada penguatan di level G2G,” ujar Jeffrey Hendrik di Gedung BEI, Jakarta, Selasa, 22 April 2025.

Ia menambahkan bahwa pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah memproses recommended agreement dengan sejumlah negara seperti Jepang dan Singapura. Langkah ini diperlukan agar setiap unit karbon yang tercatat di Indonesia dapat digunakan sebagai offset yang sah oleh negara mitra.

Selain memperkuat kerja sama antarnegara, bursa karbon juga mengambil langkah konkret untuk mempermudah akses investor asing melalui revisi peraturan onboarding. Salah satunya adalah penyederhanaan dokumen administrasi seperti penghapusan syarat Legal Entity Identifier (LEI) yang dinilai tidak relevan untuk transaksi karbon.

“Kami akan permudah persyaratan administrasi onboarding calon pengguna jasa dari luar negeri, tanpa mengurangi kualitas dari proses standar kualitas yang kami lakukan,” kata Jeffrey.

Ia membeberkan hingga saat ini, sektor pertambangan masih mendominasi pembelian unit karbon, baik dari dalam negeri maupun perwakilan asing. Meski begitu, bursa karbon terus melakukan sosialisasi agar lebih banyak sektor terlibat, termasuk perusahaan yang belum tergabung dalam program net zero incubator.

Dalam waktu dekat, IDX Carbon juga akan menyelipkan agenda promosi pasar karbon Indonesia dalam kunjungan ke negara-negara seperti Korea Selatan. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan sistem perdagangan karbon nasional dan membangun minat dari investor asing.

Saat ini, unit karbon yang tercatat di bursa karbon Indonesia masih dalam skema voluntary berupa Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK).

Jeffrey mengungkapkan bahwa pihaknya berharap unit karbon dari Program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Berbasis Proyek (PT BAEPU) juga segera bisa tercatat dan ditransaksikan.

“Harapan kami dalam waktu dekat PT BAEPU juga bisa ditransaksikan di bursa karbon, agar pilihan produk semakin lengkap,” ujar dia.

BEI Paparkan Prospek Bursa Karbon di Indonesia

Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menyatakan bahwa prospek perdagangan karbon di Indonesia menunjukkan tren yang menjanjikan. Hal ini seiring dengan semakin intensifnya dorongan terhadap investasi hijau di pasar global.

Pernyataan tersebut disampaikan Denny dalam forum diskusi KabarBursa Economic Insight 2025 bertajuk Greennomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition and Net Zero Emissions, yang berlangsung di Jakarta Pusat pada Rabu, 26 Februari 2025.

Dalam pemaparannya, Denny menyoroti bahwa nilai ekonomi karbon kini memainkan peran strategis dalam mendukung proyek-proyek hijau dan investasi berkelanjutan.

“Sebelum adanya nilai ekonomi karbon, proyek hijau hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan energi. Kini, mereka juga mendapat tambahan pendapatan dari penghematan emisi karbon yang dilakukan,” kata Denny.

Ia menyebutkan bahwa harga karbon di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar Rp58.000 per ton CO2. Dengan skema ini, proyek-proyek energi terbarukan seperti PLTA dan PLTB bisa mendapatkan pemasukan tambahan melalui penjualan kredit karbon.

Menurut Denny, sejak diluncurkan pertama kali pada 26 September 2013, perdagangan karbon di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dari hanya satu proyek di awal, kini telah ada tujuh proyek yang aktif, dengan total kredit karbon yang diterbitkan mencapai 3,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,5 juta ton telah berhasil dijual, menunjukkan tingginya minat dari pelaku pasar.

“Saat ini sudah terdaftar sekitar 107 perusahaan penyedia jasa yang terlibat dalam perdagangan karbon, serta lebih dari 1.100 entitas yang menggunakan skema carbon offset, termasuk 893 individu yang secara sukarela menyeimbangkan emisi karbon mereka,” ujarnya.

Denny tidak menjelaskan secara rinci siapa saja perusahaan yang telah ambil bagian dalam skema ini. Ia juga menambahkan bahwa tren offset karbon kini meluas ke berbagai kegiatan, termasuk seminar nasional hingga pernikahan.

Rata-rata emisi karbon individu di Indonesia mencapai sekitar 3 ton per tahun, dan melalui skema offset, masyarakat dapat membayar sekitar Rp450.000 per tahun untuk menyeimbangkan jejak karbon mereka.

Menurut Denny, tingginya antusiasme terhadap perdagangan karbon mencerminkan meningkatnya kesadaran pelaku industri dan masyarakat akan pentingnya prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Ke depan, sistem ini diharapkan menjadi salah satu instrumen utama untuk mendukung target netral karbon Indonesia.

BEI saat ini menyediakan dua mekanisme perdagangan karbon: perdagangan sektoral (sectoral trading) dan lintas sektor (cross-sectoral trading). Skema ini memungkinkan entitas yang memiliki surplus emisi untuk menjual kredit karbon ke entitas lain, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sistem perdagangan ini disusun dengan mengacu pada standar internasional.

Dalam forum yang sama, CEO Lanscape Indonesia, Agus Sari, menyampaikan bahwa saat ini investasi hijau di Indonesia sudah berada pada level kelayakan baik dari sisi ekonomi maupun keuangan.

“Subsidi sudah mulai tersebar secara lebih merata, tidak lagi terpusat pada sektor tertentu. Ini menandakan bahwa ekonomi hijau telah masuk ke dalam strategi bisnis jangka panjang,” ungkap Agus.

Ia mencontohkan negara bagian Texas di Amerika Serikat sebagai wilayah yang berhasil menerapkan pendekatan biaya dalam mengelola investasi hijau. “Dunia usaha melihat investasi hijau bukan lagi sekadar isu kebijakan, tetapi sebagai pertimbangan finansial. Jika pendekatan ini diadaptasi di Indonesia, transformasi ekonomi hijau akan lebih kuat,” imbuhnya.

Agus juga menekankan pentingnya insentif fiskal dan kebijakan yang berpihak pada transisi menuju ekonomi berkelanjutan. “Jika kita ingin pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen per tahun tercapai secara berkelanjutan, maka pengadopsian energi hijau harus menjadi keharusan, bukan pilihan,” tutupnya.(*)