Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BI: Utang Luar Negeri Indonesia Turun Per Februari 2025

Per Februari 2025, ULN Indonesia tercatat sebesar 427,2 miliar dolar AS,

Rubrik: Carbon Trading | Diterbitkan: 18 April 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Yunila Wati
BI: Utang Luar Negeri Indonesia Turun Per Februari 2025 Ilustrasi utang luar negeri Indonesia. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) menyampaikan Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2025 mengalami penurunan. 

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, per Februari 2025, ULN Indonesia tercatat sebesar 427,2 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada Januari 2025 sebesar 427,9 miliar dolar AS.

"Secara tahunan, ULN Indonesia tumbuh 4,7 persen (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan 5,3 persen pada Januari 2025," ujar dia dalam keterangan tertulis dikutip, Jumat, 18 April 2025.

Ramdan menerangkan, kondisi  tersebut berasal dari perlambatan pertumbuhan ULN sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN sektor swasta. 

"Posisi ULN Februari 2025 juga dipengaruhi oleh faktor penguatan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah," tuturnya. 

Sementara itu, posisi ULN pemerintah juga menurun. Pada Februari 2025, posisi ULN pemerintah tercatat senilai 204,7 miliar dolar AS, turun dibandingkan bulan Januari 2025 yang  sebesar 204,8 miliar dolar AS. 

"Secara tahunan, ULN pemerintah tumbuh 5,1 persen (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada Januari 2025 sebesar 5,3 persen (yoy)," ungkap Ramdan. 

Menurut Ramdan, perkembangan posisi ULN pemerintah dipengaruhi oleh perpindahan penempatan dana investor nonresiden dari Surat Berharga Negara (SBN) domestik ke instrumen investasi lain seiring dengan tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. 

Dia menegaskan, pemerintah terus berkomitmen untuk menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara pruden dan terukur untuk mendapatkan pembiayaan yang paling efisien dan optimal. 

"Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung belanja pemerintah dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," tandasnya. 

Berdasarkan sektor ekonomi, dijelaskan Ramdan, ULN pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (22,6 perse dari total ULN pemerintah); Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (17,8 persen); Jasa Pendidikan (16,6 persen); Konstruksi (12,1 persen); Transportasi dan Pergudangan (8,7 persen); serta Jasa Keuangan dan Asuransi (8,2 persen). 

"Posisi ULN pemerintah tetap terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah," katanya. 

Di sisi lain, ULN swasta melanjutkan kontraksi pertumbuhan. Pada Februari 2025 ULN swasta tercatat stabil pada di kisaran 194,8 miliar dolar AS. 

Secara tahunan, kata Ramdan, ULN swasta mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,6 persen (yoy), lebih dalam dari kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 1,3 persen (yoy).

"Perkembangan ULN swasta tersebut bersumber baik dari lembaga keuangan (financial corporations) maupun perusahaan bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations), yang ​masing-masing terkontraksi sebesar 2,2 persen (yoy) dan 1,5 persen (yoy)," ungkapnya.

Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas, dan Udara Dingin; serta Pertambangan dan Penggalian, dengan pangsa mencapai 79,6 persen dari total ULN swasta. 

"ULN swasta juga tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,5 persen terhadap total ULN swasta," terangnya. 

Adapun, Ramdan menyatakan struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Menurutnya, hal ini tergambar dari penurunan rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 30,2 persen pada Februari 2025, dari 30,3 persen pada Januari 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 84,7 persen dari total ULN. 

Ramdan melanjutkan BI dan Pemerintah akan terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Hal ini merupakan dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat. 

"Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," pungkasnya. 

Ekonom Ingatkan Fungsi Moneter Jangan Hanya Stabilkan Rupiah

Sementara itu, BI terus memperkuat operasi moneternya dengan pendekatan absorptif, menyerap likuiditas dari perekonomian melalui berbagai instrumen, terutama Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Menurut data hingga 31 Maret 2025, posisi operasi moneter bersifat absorpsi mencapai Rp922,58 triliun, dengan SRBI mendominasi sebesar Rp891,13 triliun.

Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa kecenderungan kebijakan moneter BI selama lebih dari dua dekade terakhir memang lebih banyak didominasi oleh pendekatan yang menyerap likuiditas. 

Ia menilai bahwa hal ini tercermin dari nilai neto operasi moneter yang terus bersifat absorptif, serta jumlah instrumen penyerap yang lebih banyak dibandingkan dengan yang bersifat injeksi.

"Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi," terang dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 16 April 2025.

Ia mencatat bahwa tren tersebut tidak hanya terjadi dalam jangka panjang, tetapi juga semakin menguat dalam lima tahun terakhir. Pada akhir 2019, posisi operasi moneter yang menyerap likuiditas tercatat sebesar Rp297,49 triliun. 

Namun angka ini melonjak hampir tiga kali lipat menjadi Rp945,56 triliun di akhir 2024. Hingga 31 Maret 2025, posisinya tetap tinggi, yakni Rp922,58 triliun.

"Kondisi terkini pun masih berposisi absorpsi yang bernilai besar, mencapai Rp922,58 triliun per 31 Maret 2025," tambahnya.​

Dia mengatakan sejumlah instrumen moneter yang dulu digunakan kini tidak lagi beroperasi atau memiliki nilai yang sangat kecil. Di sisi lain, instrumen seperti SRBI justru tumbuh menjadi tumpuan utama kebijakan moneter BI. Popularitas SRBI pun meningkat, bahkan berhasil menarik minat investor asing yang kini menguasai sekitar 25 persen dari total kepemilikan.

SRBI sendiri merupakan surat berharga jangka pendek berdenominasi rupiah yang diterbitkan BI dengan underlying asset berupa surat berharga milik BI. Saat ini SRBI beredar dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan.

Namun, meskipun SRBI dinilai cukup efektif dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Awalil menilai ada risiko jika BI terlalu bertumpu pada strategi absorpsi. Ia mengingatkan bahwa kebijakan moneter seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya stabilisasi, tetapi juga harus mampu menjadi motor penggerak pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan menginjeksi likuiditas sangat penting dijaga agar fungsi moneter tetap relevan dalam menjawab tantangan perekonomian ke depan. 

Ia menyebut bahwa BI perlu mengkaji ulang orientasi kebijakan yang terlalu menekankan pada stabilitas, agar tidak mengorbankan peluang untuk memperkuat sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.

“Bank Indonesia semestinya tetap menjaga keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan yang menginjeksi likuiditas, agar fungsi moneter tidak hanya stabilisasi, tapi juga mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi,” terangnya.(*)