Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pasar Karbon RI Lesu, Peluang Cuan Justru di Daerah?

Investor asing lebih tertarik pada konsep perdagangan karbon seperti yang dilakukan di Jambi dan Kalimantan Timur dengan membayar masyarakat untuk menjaga hutan

Rubrik: Carbon Trading | Diterbitkan: 03 March 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
Pasar Karbon RI Lesu, Peluang Cuan Justru di Daerah? Konferensi pers peluncuran Perdagangan Karbon Internasional di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 20 Januari 2025. (Foto: Kabarbursa/Hutama Prayoga)

KABARBURSA.COM - Perdagangan karbon Internasional sudah berlangsung selama satu bulan lebih sejak diluncurkan pada 20 Januari 2025. Namun, minat perusahaan internasional untuk berkontribusi menjadi pengguna perdagangan karbon masih cukup minim. Sementara data didominasi oleh perusahaan domestik yang melepas emisinya ke bursa karbon.

Dilansir dari data idxcarbon.co.id, perdagangan karbon selama Januari 2025 mencatat total volume transaksi mencapai 273.237 ton CO₂ ekuivalen. Angka ini memang lebih tinggi dibandingkan perdagangan karbon domestik pada Desember 2024 yang hanya mencatatkan 1.578 ton CO₂ ekuivalen.

Data itu juga memaparkan bahwa terjadi peningkatan jumlah proyek terdaftar di Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) yang sebelumnya tiga menjadi enam proyek. Total nilai transaksi karbon pada Januari 2025 mencapai Rp12,29 miliar, melampaui pencapaian Desember 2024 yang hanya sebesar Rp88,34 juta.

Aktivitas perdagangan juga semakin aktif dengan frekuensi transaksi meningkat menjadi 43 kali dari sebelumnya 16 kali. Rata-rata volume harian mencapai 14.381 ton CO₂ ekuivalen dengan nilai harian Rp646,98 juta.

Pasar karbon di Januari 2025 didominasi oleh perdagangan melalui pasar negosiasi, yang mencatat volume transaksi sebesar 271.259 ton CO₂ ekuivalen dengan total nilai Rp12,11 miliar. Sementara itu, pasar reguler hanya mencatatkan transaksi sebesar 1.562 ton CO₂ ekuivalen dengan nilai Rp148,84 juta, dan pasar marketplace memperdagangkan 416 ton CO₂ ekuivalen dengan nilai Rp25,37 juta. Tidak ada transaksi yang terjadi di pasar lelang selama periode ini.

Jumlah peserta juga mengalami peningkatan, dari 100 pada Desember 2024 lalu saat ini menjadi 107.

Beberapa proyek yang baru terdaftar di IDXCarbon pada Januari 2025 antara lain PLTGU Priok Blok 4 yang dimiliki oleh PT PLN Indonesia Power dengan volume emisi 763.653 ton CO₂, serta proyek konversi dari pembangkit single cycle menjadi combined cycle di PLTGU Grati Blok 2 yang memiliki volume emisi 407.390 ton CO₂. 

Namun pada Senin, 3 Maret 2025 hari ini, berdasarkan pantauan Kabarbursa.com, data perdagangan selama Februari 2025 belum keluar sehingga belum bisa dibandingkan.

Swedia Sukses Menerapkan Pajak Karbon

Salah satu negara yang cukup santer sukses menerapkan skema karbon ini adalah Swedia. 

Dilansir dari Jurnal Pajak Karbon 2022, Swedia sebagai negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia, telah membuktikan bahwa kebijakan ini dapat menekan emisi tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.

Swedia telah mengenakan pajak karbon sejak 1991 dengan tarif awal sebesar USD26 per ton CO₂ ekuivalen. Tarif ini terus meningkat hingga mencapai USD137 per ton CO₂ ekuivalen pada 2021, menjadikannya yang tertinggi di dunia. Penerapan pajak ini difokuskan pada sektor bahan bakar fosil, terutama transportasi dan pemanasan.

Keberhasilan Swedia dalam menekan emisi karbon terlihat dari penurunan emisi sebesar 27 persen sejak awal penerapan hingga 2018. Uniknya, meskipun pajak karbon tinggi diterapkan, ekonomi Swedia tetap tumbuh, dengan PDB yang meningkat lebih dari 100 persen dalam periode yang sama.

Sementara, Indonesia mulai menerapkan pajak karbon pada 2022 lalu dengan mekanisme cap and tax yaitu kombinasi antara perdagangan karbon dan pajak karbon.

Kebijakan dimulai dengan penerapan di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Tarif pajak karbon yang diterapkan adalah sebesar Rp30 per kilogram CO₂ ekuivalen, atau sekitar USD2 per ton CO₂ ekuivalen, jauh lebih rendah dibandingkan Swedia.

Indonesia diklaim masih menghadapi tantangan besar dalam implementasi pajak karbon. Salah satu kendala utama adalah ketergantungan tinggi terhadap batu bara sebagai sumber energi utama. Selain itu, regulasi yang belum matang dan mekanisme perdagangan karbon yang masih berkembang membuat efektivitas pajak karbon di Indonesia belum optimal.

Perdagangan Karbon Internasional Masih Kurang Diminati

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, juga sempat mengatakan bahwa perdagangan karbon internasional di Indonesia yang masih kurang diminati.

Fabby menyoroti adanya masalah fundamental terkait kualitas sertifikat penurunan emisi yang dijual. Ia mengungkapkan bahwa banyak sertifikat yang berasal dari proyek-proyek yang sudah berjalan, seperti pembangkit energi yang sudah lama beroperasi, atau proyek-proyek yang lebih berkaitan dengan efisiensi energi, bukan energi terbarukan.

"Ini hanya upaya untuk rebranding saja. Nah terutama kalau untuk pembeli dari luar negeri tentunya mereka mempertimbangkan aspek transparansi dan kualitas dari sertifikat penurunan emisi yang dijual,"kata Fabby kepada Kabarbursa.com pada Kamis, 6 Februari 2025.

Menurutnya, meskipun perdagangan karbon ini telah diluncurkan dengan harapan dapat menarik perhatian pasar internasional, implementasinya belum memenuhi ekspektasi.

"Sertifikat yang dijual di pasar karbon ini sebagian besar berasal dari proyek yang sudah ada, seperti penggantian teknologi di pembangkit listrik, yang lebih ke efisiensi energi, bukan energi terbarukan," ucap dia.

Dia menilai sertifikat penurunan emisi yang dijual problematik, lantaran berasal dari proyek-proyek yang sudah ada. "Misal pada proyek PLTGU (pembangkit listrik tenaga gas dan uap) yang diklaim menurunkan emisinya. Tapi itu adalah penghematan dari penggantian teknologi," tutur dia.

Pembangkit energi terbarukan yang dijual di Bursa Karbon salah satunya adalah panas bumi, yang bukan pembangkit baru. Namun, sudah lama beroperasi. "Kalau dengan kualitas sertifikat penurunan emisi seperti itu yang dijual akan sulit menarik minat dari pembeli asing. Yang mereka mencari kualitas karbon penurunan emisi yang tinggi. Itu persoalan fundamentalnya.," ujar dia.

Dia mengklaim hal itu menurunkan kualitas dari produk karbon yang dijual, akhirnya menyulitkan Indonesia untuk menarik pembeli internasional yang menginginkan sertifikat penurunan emisi dengan kualitas tinggi. Tidak jelasnya integrasi pasar karbon dengan target penurunan emisi Indonesia juga menjadi perhatian. "Pasar karbon ini tidak terintegrasi dengan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Banyak perusahaan yang justru membeli untuk offset emisi mereka, bukan untuk tujuan mitigasi yang lebih besar," sambung dia.

Dia menyinggung contoh proyek yang diiklankan dalam perdagangan karbon yakni PLN. Padahal, PLN menjadi salah satu produsen penghasil emisi terbesar di Indonesia. "Nah harusnya kalau ada aksi mitigasi perubahan iklim itu untuk menurunkan emisinya PLN, menurunkan emisinya Indonesia. Bukan untuk dijual di pasar, di Bursa,"ungkap dia.

Faby mengaku heran entitas penghasil emisi terbesar di Indonesia, yang harus menurunkan emisi gas rumah kaca. Malah berjualan sertifikat penurunan emisi lewat bursa karbon. Poin-poin ini dinilai yang diperhatikan perusahaan internasional.

Tanggapan BEI soal perdagangan karbon minim pembeli.

Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik tanggapi isu bursa karbon kurang diminati, Dia menegaskan BEI telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan minat pasar, baik dari dalam maupun luar negeri.

"Kami akan terus melakukan kegiatan promosi yang sifatnya business-to-business (B2B) untuk menggali potensi pembeli kredit karbon, baik dari dalam negeri maupun internasional. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menarik minat lebih luas dari investor global dan meningkatkan transaksi di bursa karbon Indonesia," kata Jeffrey di Gedung BEI pada Senin, 24 Februari 2025 sore.

Menurut dia, sejak diluncurkannya perdagangan karbon internasional pada 20 Januari 2025, BEI telah membuka komunikasi dengan berbagai calon pembeli dari luar negeri. Jeffrey menyampaikan bahwa pada awal Maret mendatang, tim Bursa Efek Indonesia bersama Indonesia Carbon Exchange (IDXCarbon) akan mengadakan diskusi di Singapura dengan calon pembeli dan komunitas perdagangan karbon di kawasan tersebut.

"Kami juga sudah memiliki rencana bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan roadshow ke beberapa negara. Ini sesuai dengan arahan Menteri Lingkungan Hidup pada saat peluncuran perdagangan internasional bursa karbon kemarin," ujar dia.

Selain itu, Jeffrey menyebutkan bahwa pemerintah juga terus membangun komunikasi bilateral melalui mekanisme Government-to-Government (G2G) untuk memastikan adanya pengakuan transaksi karbon secara internasional.

Asing Masuk di Perdagangan Karbon Daerah

Provinsi Jambi ternyata sudah menerapkan konsep perdagangan karbon internasional terlebih dahulu. Namun, konsepnya berbeda dengan yang diterapkan di Bursa Karbon. Dilansir dari akun resmi jambiprov.go.id, pengurangan emisi dilakukan dengan program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) yang diimplementasikan di Jambi.

Mereka meneken kontrak perdagangan karbon dengan BioCF-ISFL, salah satu program dari Bank Dunia yang bertujuan untuk mendukung pengelolaan lahan hutan secara berkelanjutan dengan pendekatan yang holistik. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Singkatnya, masyarakat dibayar untuk menjaga hutannya. 

Jambi dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program karena provinsi ini memiliki kekayaan hutan yang menjadi salah satu penopang utama ekosistem Sumatera. Namun, lahan di provinsi ini juga menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) akibat deforestasi dan degradasi hutan.

Pada semester pertama 2024, tercatat 268.630 hektare lahan di Jambi sudah dikelola dengan pendekatan yang berorientasi pada pengurangan emisi. Pada semester I 2024, terdapat 11 perusahaan dari sektor perkebunan yang telah berkomitmen untuk mendukung program pengurangan emisi di Provinsi Jambi.

Program BioCF-ISFL di Provinsi Jambi memiliki potensi nilai kontrak hingga USD70 juta. Pembayaran ini berbasis hasil (Result Based Payments) dan akan diberikan jika Provinsi Jambi berhasil menurunkan emisi sebesar 14 juta ton CO₂ ekuivalen selama periode lima tahun, yaitu dari tahun 2023 hingga 2026.

Selain di Jambi, perdagangan karbon semacam ini juga diterapkan di Kalimantan Timur dengan nama Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF CF).

Dilansir dari kaltimprov.go.id kompensasi dana karbon dari negara-negara donor disalurkan melalui World Bank atau Bank Dunia. Kaltim mendapat tugas menurunkan emisi karbon sebesar 22 juta ton CO2eq dengan harga per ton USD5. Dengan begitu, Kaltim akan mendapat total dana kompensasi sebesar USD110 juta atau setara Rp1,6 triliun. Pada termin pertama, Bank Dunia telah menyalurkan pembayaran sebesar USD20,9 juta atau setara Rp313 miliar. (*)