Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pajak Karbon: Cara Kendali Emisi atau Celah Greenwashing?

Prinsip utama dalam ekonomi lingkungan adalah "polluters have to pay" atau pencemar harus membayar

Rubrik: Carbon Trading | Diterbitkan: 27 February 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Syahrianto
Pajak Karbon: Cara Kendali Emisi atau Celah Greenwashing? Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro sebagai narasumber dalam KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025 di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Pemerintah telah menetapkan pajak karbon atau carbon tax sebagai salah satu instrumen untuk menekan emisi gas rumah kaca. 

Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, menekankan bahwa prinsip utama dalam ekonomi lingkungan adalah "polluters have to pay" atau pencemar harus membayar. Karena itu pentingnya regulasi yang ketat agar mekanisme carbon offset tidak disalahgunakan menjadi praktik greenwashing.

Bambang mengapresiasi langkah pemerintah dalam menerapkan pajak karbon, terutama yang ditargetkan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri dengan tingkat emisi tinggi. 

"Ini adalah suatu kemajuan. Negara-negara seperti Singapura sudah lama menerapkan carbon tax dan fuel tax untuk mengontrol emisi mereka," ujarnya dalam Acara KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025, Rabu, 26 Februari 2025 di Le Meridien Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025

Menurutnya, perusahaan yang menghasilkan polusi harus membayar dengan berbagai cara, baik melalui pajak karbon, investasi dalam teknologi ramah lingkungan, maupun membeli kredit karbon sebagai bentuk kompensasi emisi. Namun, ia mengingatkan agar regulasi offset karbon tidak dibuat terlalu mudah dan murah.

"Kalau (carbon) offset ini terlalu murah, nanti perusahaan hanya akan menjalankan bisnis seperti biasa tanpa ada upaya nyata untuk mengurangi emisi. Ini yang sering disebut sebagai greenwashing," tegas Bambang.

Ia juga menyoroti peran Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam memastikan bahwa kredit karbon yang diperdagangkan memiliki kualitas yang terjamin dan mencerminkan nilai ekonomi serta kapasitas penyerapan CO2 yang jelas. 

"Sama seperti bursa saham yang tidak boleh diisi oleh saham abal-abal, bursa karbon juga harus memastikan hanya karbon berkualitas yang bisa diperdagangkan," katanya.

Lebih lanjut, Bambang menekankan bahwa setiap individu juga memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan. 

Oleh karena itu, ia menilai bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab untuk memastikan pengelolaan sampah berjalan dengan baik. Ia juga menyoroti pentingnya mendukung ekonomi sirkular agar sampah dapat diolah menjadi aset bernilai, bukan sekadar menumpuk menjadi bukit sampah.

"Kita semua adalah pencemar. Sampah yang kita hasilkan setiap hari adalah bukti nyata. Maka, kita harus membayar dengan cara memastikan pengelolaannya berjalan baik, termasuk mendukung circular economy agar sampah bisa diolah menjadi aset, bukan sekadar bukit sampah," pungkasnya.

Pasar Karbon di Indonesia Terus Berkembang

Pasar karbon di Indonesia terus berkembang, namun masih menghadapi tantangan dalam bentuk kurangnya insentif dan disinsentif bagi pelaku industri.

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, mengungkapkan dalam panel diskusi yang sama, bahwa keberhasilan ekosistem pasar karbon bergantung pada kebijakan yang mendukung serta kerja sama dengan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Menurutnya, pasar karbon tidak hanya bergantung pada Bursa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi juga melibatkan berbagai aspek regulasi lingkungan hidup, kebijakan pajak, serta standar teknis di tingkat lokal dan global. Ia menekankan bahwa untuk meningkatkan partisipasi perusahaan dalam perdagangan karbon, perlu ada kebijakan yang mendorong mereka untuk menurunkan emisi.

Denny mengungkapkan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia masih dalam tahap awal, sehingga perlu adanya kebijakan yang memberikan insentif bagi perusahaan yang menurunkan emisi serta disinsentif bagi yang tidak berpartisipasi.

“Misalkan, oke saya mau menurunkan emisi saya jadi nol, apa insentifnya buat saya? Atau, jika saya tidak bisa menurunkan emisi, apakah ada pajak atau sanksi yang dikenakan? Jika tidak ada, maka perusahaan tidak akan memiliki dorongan untuk ikut serta,” jelasnya usai Acara KabarBursa Ekonomic Insight di di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu 26 Februari 2025.

Saat ini, implementasi kebijakan perdagangan karbon masih dalam tahap perumusan oleh berbagai kementerian terkait. Beberapa sektor, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sudah mulai menjalankan pasar karbon wajib melalui program Kewajiban Pengurangan Netralitas Karbon (KPNT). Sementara itu, sektor industri juga sedang dalam tahap perencanaan dan diperkirakan akan memulai dalam beberapa tahun ke depan.

Potensi Pasar Karbon Indonesia di Tingkat Global

Indonesia telah mengambil langkah maju dalam perdagangan karbon dengan meluncurkan bursa karbon internasional pada 20 Januari 2025. Langkah ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pertama yang membuka perdagangan karbon secara global, meskipun masih terdapat tantangan dalam hal pengakuan dari negara lain.

“Negara lain bisa menggunakan unit karbon dari Indonesia, namun hingga saat ini masih belum ada mekanisme yang diterima secara global,” ungkap Denny.

Perdagangan karbon internasional masih menunggu kesepakatan antar pemerintah (G2G Agreement). Sebagai contoh, Singapura mengizinkan penggunaan 5% karbon kredit dari luar negeri, tetapi sebelum itu dapat dilakukan, perlu ada perjanjian resmi antara pemerintah Indonesia dan Singapura.

“Setelah penelusuran bursa karbon internasional kemarin, ada cukup banyak peminat dari negara luar. Namun, sistem perdagangan karbon global masih dalam tahap perumusan dan belum diadopsi secara luas,” tambahnya.

Roadmap dan Prospek Pasar Karbon Indonesia

Meski masih dalam tahap awal, pasar karbon Indonesia memiliki potensi besar dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, terutama dengan meningkatnya komitmen global terhadap net zero emissions. Perkembangan ini juga didukung oleh hasil pertemuan COP 29 di Azerbaijan yang baru-baru ini menetapkan mekanisme perdagangan karbon, meskipun belum sepenuhnya diimplementasikan secara global.

Denny optimis bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam mengembangkan ekosistem karbon yang berkelanjutan. “Indonesia telah mengambil langkah lebih dulu dibandingkan banyak negara lain, dan dalam jangka panjang, ini akan menjadi pasar yang sangat menarik,” ujarnya.

Menurut Denny, dengan tantangan yang masih harus diselesaikan, seperti insentif kebijakan dan pengakuan internasional, Indonesia terus membangun ekosistem pasar karbon yang lebih kuat, menjadikannya sebagai peluang besar bagi industri dan investasi di masa depan. (*)