KABARBURSA.COM - Optimisme terhadap ekonomi hijau dan perdagangan karbon begitu terasa dalam forum KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025 bertema Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions yang digelar di Jakarta Pusat pada Rabu, 26 Februari 2025. Para pembicara, mulai dari Penasihat Khusus Presiden Prabowo Subianto hingga perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI), hakulyakin Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam transisi menuju ekonomi hijau lewat perdagangan karbon.
“Di permukaan memang kelihatannya suram, tapi justru sekarang banyak pihak semakin tertarik mengeksplorasi potensi investasi hijau, termasuk di Indonesia,” ujar Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam sesi panel diskusi bertopik Green Finance Strategies in Indonesia.
Mantan Menteri Keuangan era Presiden Joko Widodo ini percaya perdagangan karbon adalah salah satu peluang besar Indonesia untuk menarik investasi asing dan mempercepat target net zero emission 2060.
BEI pun menyatakan kesiapannya dalam mengembangkan perdagangan karbon melalui platform IDXCarbon. Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI, Ignatius Denny Wicaksono, mengatakan perdagangan karbon kini mengalami perkembangan pesat. Saat ini, kata Denny, harga karbon di Indonesia ditaksir sekitar Rp58.000 per ton CO₂. Dengan mekanisme ini, proyek hijau seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) bisa memperoleh tambahan pendapatan dari penjualan kredit karbon
“Sekarang, selain dari produksi energi, proyek (perusahaan) juga mendapatkan tambahan pendapatan dari penghematan emisi karbon yang mereka lakukan," kata Denny dalam acara diskusi yang sama.
Menurut data BEI, sejak bursa karbon diluncurkan pada 26 September 2023, jumlah proyek yang masuk ke mekanisme perdagangan ini telah berkembang pesat. Dari yang awalnya hanya satu proyek, kini terdapat tujuh proyek dengan total 3,1 juta ton karbon kredit yang telah diterbitkan, di mana sekitar 1,5 juta ton telah terjual. Animo terhadap perdagangan karbon juga meluas, termasuk ke sektor swasta dan individu yang mulai menggunakan skema carbon offset untuk menyeimbangkan emisi mereka.
“Sudah ada sekitar 107 perusahaan jasa yang ikut serta dalam perdagangan karbon, dan lebih dari 1.100 entitas yang telah menggunakan skema carbon offset, di mana 893 di antaranya adalah individu yang secara sukarela mengompensasi emisi karbon mereka," tuturnya. Denny tidak merinci nama-nama perusahaan yang telah berkontribusi dalam perdagangan karbon.
Namun, apakah optimisme ini sejalan dengan realitas perdagangan karbon global?
Carbon Brief: Perdagangan Karbon Bisa Jadi Alat Greenwashing
Laporan tersebut mengungkap dua pertiga dari 50 perusahaan terbesar dunia yang memiliki target net zero mengandalkan skema perdagangan karbon. Shell, Volkswagen, dan Chevron menjadi tiga perusahaan dengan penggunaan kredit karbon terbesar, masing-masing membeli 9,9 juta, 9,6 juta, dan 6 juta unit kredit karbon antara 2020-2022.
Yang menarik, Indonesia disebut sebagai salah satu penyedia offset karbon terbesar di dunia, bersama China dan Kolombia. Sebanyak 9,2 juta kredit karbon berasal dari proyek di Indonesia dengan proyek Katingan di Kalimantan menjadi penyedia terbesar (5,4 juta kredit).
Namun, efektivitas proyek-proyek ini dalam mengurangi emisi masih dipertanyakan. Setengah dari kredit karbon yang digunakan perusahaan besar berasal dari proyek REDD+ atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation yang banyak dikritik karena sering melebih-lebihkan dampak reduksi emisinya.
“Banyak proyek yang gagal memberikan dampak nyata. Perdagangan ini telah menjadi alternatif murah bagi pengurangan emisi yang sebenarnya, memberikan izin bagi perusahaan besar untuk tetap mencemari lingkungan,” catat laporan tersebut yang ditulis oleh Koresponden Carbon Brief, Josh Gabbatiss, dikutip dari carbonbrief.org di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025.
Carbon Brief juga menyoroti potensi “neokolonialisme hijau” dalam skema perdagangan karbon. Banyak proyek offset di negara berkembang seperti Indonesia dikelola oleh perusahaan asing, sementara keuntungan utama dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar dari negara maju. Sementara itu, negara-negara penyedia kredit karbon seperti Indonesia tetap menghadapi masalah lingkungan yang serius, misalnya deforestasi dan bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim.
Laporan tersebut juga mengungkap hanya 8 persen dari kredit karbon yang digunakan perusahaan besar berasal dari proyek yang benar-benar menghilangkan karbon dari atmosfer, seperti penanaman pohon. Sisanya berasal dari skema pengurangan atau pencegahan emisi yang sering kali memiliki efektivitas yang meragukan.
“Tren ini mencerminkan pergeseran dari pengurangan emisi yang sebenarnya ke mekanisme perdagangan yang lebih menguntungkan secara finansial, tetapi kurang efektif secara lingkungan,” kata laporan itu.
Selain itu, transparansi juga menjadi masalah utama dalam perdagangan karbon global. Setengah dari transaksi di pasar karbon global tidak dipublikasikan identitas pembelinya. Hal ini membuat sulit untuk menelusuri siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas pengurangan emisi.
Apakah IDXCarbon Akan Menghindari Jebakan yang Sama?
Carbon Brief menemukan mayoritas kredit karbon yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar berasal dari negara berkembang, sementara keuntungan utama tetap berada di negara maju. Jika hal yang sama terjadi di IDXCarbon, maka kredibilitas mekanisme ini bisa dipertanyakan.
“Sebagian besar perusahaan yang dianalisis—totalnya ada 41—berbasis di negara maju, sementara sisanya hampir seluruhnya berasal dari China. Namun, dari 37,8 juta kredit karbon yang mereka gunakan, sebanyak 35,2 juta berasal dari proyek-proyek di negara berkembang, terutama di Indonesia, China, dan Kolombia. (Sisanya mencakup 2 juta kredit dari negara maju serta sekitar 520 ribu kredit yang asal negaranya tidak dapat diidentifikasi.),” tulis laporan Carbon Brief.
Di sisi lain, tren offset karbon juga mulai merambah berbagai sektor di Indonesia, seperti seminar nasional hingga acara pernikahan. Denny menyebut rata-rata emisi karbon masyarakat Indonesia mencapai 3 ton per tahun. Melalui skema carbon offset, individu bisa membayar sekitar Rp450.000 per tahun untuk menyeimbangkan emisinya.
Namun, apakah mekanisme ini benar-benar berdampak pada pengurangan emisi atau justru hanya menjadi celah bisnis yang menguntungkan bagi perusahaan tertentu?
Dari diskusi di KEI 2025, terlihat perdagangan karbon dianggap sebagai peluang besar bagi Indonesia. Namun, laporan Carbon Brief mengingatkan bahwa tanpa regulasi ketat dan transparansi yang jelas, mekanisme ini bisa lebih banyak memberikan manfaat bagi perusahaan besar ketimbang bagi lingkungan.
Indonesia kini dihadapkan pada dua pilihan, yakni menjadikan perdagangan karbon sebagai alat transisi energi yang nyata, atau membiarkannya menjadi instrumen greenwashing yang hanya menguntungkan segelintir pihak.(*)